Penelusuran
Sidayu dan Jejak Kanjeng Sepuh
Sejarah
Singkat Sidayu
Sidayu
atau Sedayu, kota ini dikenal di Jawa Timur sebagai salah satu kota kecamatan
di Gresik. Kawasan Sidayu berlokasi 24 km dari pusat kota Gresik dan berada di
jalur utama pantai utara Jawa atau Pos Daendels. Kondisi jalanan Sidayu pada
masa lampau masih berupa jalan setapak, sesuai apa yang digambarkan oleh
Pramudya Ananta Toer. Sidayu berkembang menjadi salah satu bagian penting dalam
jalur Pos Daendels di Jawa Timur. Jauh sebelum pemerintah kolonial Hindia
Belanda, Sidayu adalah salah satu kawasan pelabuhan ramai sejak zaman imporium
kuno[i].
Kawasan pesisir Sidayu lama sendiri dulunya dekat dengan delta sungai Bengawan
Solo sebelum akhirnya dipindah ke kawasan sekarang akibat sering terkena banjir
besar saat musim penghujan[ii].
Sidayu
lama banyak dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai kawasan di dunia,
menurut uraian para pengunjung Portugis & Belanda yang pertama, kebanyakan
kota pelabuhan Jawa pada abad ke XVI dan awal abad ke XVII diperkuat dengan
kubu-kubu pertahanan, pagar bertiang atau tembok; Demikian diceritakan tentang
Demak, Jepara, Cirebon, Banten, Pati, Tuban, Sidayu, Gresik, Surabaya[iii],
Arosbaya (Madura), Wirasaba dan Pasuruan;Sesudah abad XVI diperbaiki dan
diperluas[iv].
Menurut Tome Pires, Pate Zainall penguasa Gresik memiliki kerabat yang lebih
tua maupun sahabat para penguasa Islam[v] di
Sidayu, Jepara (Pate Unus), dan Demak (Pate Rodim)[vi].
Badri Yatim mengatakan bahwa banyak orang kafir di sepanjang pesisir utara
pulau Jawa, namun banyak pedagang atau saudagar muslim dari : Persia, Arab,
Gujarat, Bengali, dan Melayu; Mereka mulau berdagang, menjadi kaya, dan
mendirikan pemukiman[vii].
Saat Islam
mulai masuk ke kawasan pesisir utara Jawa pada abad ke – 15, pola perkotaan di
pulau Jawa mulai bergeser dari kota pedalaman (agraris) menjadi kota pesisir
yang berorientasi perdagangan komoditas ekspor. Hal tersebut didukung dengan
adanya kemajuan teknologi navigasi pelayaran dan dibukanya terusan Suez. Pola
tata kota Sidayu merupakan pola kota Islam dimana adanya sebuah alun-alun,
keraton, masjid, hingga pasar[viii].
Penguasa tinggal di sebuah keraton serta penduduk tinggal di beberapa kampung
yang dihuni oleh beragam etnis.
Saat
memasuki masa pemerintah kolonial hindia Belanda, Sidayu menjadi sebuah
Kadipaten yang berdiri sendiri sejak tahun 1675 M, dipimpin oleh seorang
Adipati dibawah pimpinan Residen Surabaya. Sidayu telah dipimpin oleh 10 adipati
diantaranya :
- Raden Kromodjojo
- Adipati Probolinggo
- Raden Kanjeng Sowargo
- Raden Kanjeng Sido Ngawen
- Raden Kanjeng Sido Banten
- Kanjeng Kudus
- Kanjeng Djoko
- Kanjeng Sepuh
- Kanjeng Pangeran
- Kanjeng Badru
Silsilah Kanjeng Sepuh Sidayu Sumber : https://www.inigresik.com/2015/06/silsilah-kanjeng-sepuh-sidayu-pangeran-Haryo-Suryodiningrat.html |
Salah satu adipati terkenal yang membangun Sidayu sampai
saat ini adalah Adipati Kanjeng Kyai Sepuh (Kyai Panembahan Haryo
Soeryodiningrat). Beliau memerintah sejak tahun 1816 – 1855 M, ia dikenal
sebagai ahli strategi dan pelindung rakyat. Berdasarkan silsilahnya, beliau
merupakan keturunan dari Mangkunegara III di Solo, Jawa Tengah dan masih
memiliki silsilah dengan raja Amangkurat I[ix].
Makam Amangkurat I sendiri kini berada di Kabupaten Tegal, Jawa Barat.
Amangkurat I dikenal menurunkan para tokoh ulama dan mubaligh ulung seantero
Jawa.
Saat memasuki
masa pemerintahan Daendels, Sidayu mulai dibangun jalur pos berupa jalan
setapak sehingga membuat posisi alun-alun bergeser mengikuti pola jalan. Sidayu
adalah satu-satunya kota yang bertolak belakang terhdap tata kota Islam di Jawa
setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. posisi alun-alun sekarang berada di
sebelah timur jalan pos Daendels Gresik – Sidayu – Tuban. posisi masjid
agung berada di sebelah utara alun-alun
sedangkan pasar berada di sebelah timur laut/selatan dari alun-alun. Posisi
tempat peribadatan atau keraton berada di sebelah utara dari alun-alun. Sebelah
timur alun-alun adalah gedung Kawedanan Sidayu, atau lebih tepatnya pusat
pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sidayu.
Jejak
Peninggalan Adipati Kanjeng Sepuh
Penjelajahan kali ini, saya ditemani oleh komunitas Timur
Lawu dan beberapa peserta lainnya dalam kegiatan “Jelajah Lamongan dan Sidayu”
selama kurang lebih dua hari. Bekas peninggalan Kanjeng Sepuh dan pendahulunya
rupanya cukup mudah ditemukan di kawasan pusat kota diantaranya :
- Pasujudan Kanjeng Sepuh di sebelah utara SMP 1 Sidayu
- Bekas Sekolah Rakyat atau Sekolah angka loro, kini menjadi SD 1 Sidayu
- Beberapa rumah bergaya Eropa peninggalan orang Eropa, dimiliki oleh mantan juragan sarang burung walet
- Masjid Kanjeng Sepuh Sidayu, ada makam sahabat Residen van den Poel
- Gedung eks Kawedanan Sidayu, kini menjadi dinas pendidikan Sidayu sebelum dipusatkan ke kota Gresik
- GOR Raden Kromo Widjojo
- Kuburan Islam di sebelah tenggara telaga Kanjeng Sepuh
- Telaga Kanjeng Sepuh
- Ada beberapa makam orang Tionghoa maupun tokoh penyebar Islam Sidayu di beberapa kawasan Sidayu dan sekitarnya
Tempat pertama yang dikunjungi adalah gedung eks
Kawedanan Sidayu[x],
bangunannya sendiri memiliki gaya arsitektur Eropa, ini ditandai dengan adanya
pintu dan jendela besar. Gedung ini digunakan dalam rangka kegiatan
pemerintahan Kawedanan yang dipimpin oleh seorang Adipati di Sidayu. Beberapa
bagian dalam gedung ini masih tampak asli, hanya saja bagian luar sudah
ditambahkan dengan tiang baru. Gedung ini sekarang ditempati oleh eks dinas
pendidikan Sidayu sebelum dipindahkan ke dinas pendidikan Gresik.
Gedung eks Kawedanan Sidayu dari Depan Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Pintu Besar seperti Rumah Eropa pada Umumnya Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Bergeser ke arah utara kita dapat menemukan bekas pasujudan Kanjeng Sepuh Sidayu, bangunan ini merupakan bekas tempat peribadatan Kanjeng Sepuh. Kondisinya kini cukup memprihatinkan. Bangunan ini diduga merupakan sebuah langgar atau masjid khusus untuk keluarga kanjeng Sepuh, bentuk fisik dari keraton Sidayu sudah tidak ada. Bangunan ini sekarang berada dalam perlindungan dan pengawasan BPCB Jawa Timur.
Bangunan Pasujudan dari depan, kondisi terakhir seperti ini Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Tampak dari depan, sudah diberi kanopi pelindung Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Kawasan Sidayu sendiri juga tidak luput dari program politik Etis yang dicetuskan oleh van Deventer yaitu di bidang pendidikan[xi]. Disisi lain, konsep pendidikan yang dibawa oleh Tan Malaka cukup unik yaitu : 1. Pendidikan memberikan senjata cukup buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb), 2. Memberi haknya murid-murid berupa kesukaaan hidup dengan jalan pergaulan atau vereniging, 3. Menunjukkan kewajiban kelak terhadap berjuta-juta kaum kromo atau wong cilik[xii]. Keberadaan salah satu bekas sekolah rakyat di Sidayu sendiri masih ada dan salah satu bangunan lamanya dalam kondisi tidak terawat. SD 1 Sidayu dulunya merupakan bekas sekolah rakyat atau menurut masyarakat setempat disebut sebagai sekolah angka loro[xiii]. Uniknya lagi, banyak ditemukan siswa dari etnis Tionghoa. Masyarakat Tionghoa di Sidayu banyak bekerja sebagai pedagang[xiv], eksistensi mereka sudah ada sejak berdirinya pemukiman pedagang di kawasan Sidayu, Tuban, maupun Gresik.
Bangunan lama gedung SD 1 Sidayu Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Kondisi di dalam gedung lama, tampak meja lama yang menyatu dengan kursi Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Buku Induk Murid SD 1 Sidayu, kondisinya mulai rusak Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Beberapa nama siswa Tionghoa di SD 1 Sidayu Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Setelah
selesai berkeliling kawasan SD 1 Sidayu, kami melanjutkan perjalanan ke bekas
makam Islam di sebelah timur telaga Kanjeng Sepuh. Makam ini diduga merupakan
bekas makam umum bercorak Islam baru setelah runtuhnya Majapahit, kondisi
terakhir cukup mengenaskan dan hanya ada satu nisan yang terawat dengan baik[xv].
Rata-rata kondisi nisan sudah tidak dapat dibaca lagi akibat minimnya perawatan
dan kurangnya kesadaran masyarakat setempat terhadap kompleks pemakaman tersebut.
Salah satu makam dengan kondisi cukup bagus Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Satu makam yang masih terawat dengan baik Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Kondisi makam yang sudah rusak terkena cuaca dan minim perawatan Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Kami
kemudian melanjutkan perjalanan ke telaga Kanjeng Sepuh, dibangun oleh Kanjeng
Sepuh dalam rangka memenuhi kebutuhan air bersih di kawasan Sidayu dan
sekitarnya. Menurut penuturan salah satu “kuncen” kantor eks Kawedanan Sidayu,
telaga ini dulunya banyak ditemukan burung bangau bersarang di tempat ini,
airnya sendiri juga tidak pernah surut meskipun saat musim kemarau. Keberadaan
telaga di kawasan Sidayu yang notabene merupakan karst atau bukit kapur rupanya
cukup memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat Sidayu dan sekitarnya saat
belum masuknya teknologi sanitasi dan perbaikan kampung yang digaungkan oleh
tokoh bernama W.F Tillema[xvi].
Telaga Kanjeng Sepuh, sumber airnya tidak pernah habis meskipun di musim kemarau Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Setelah
selesai menjelajahi kawasan Telaga dan makan siang, kami bergegas menuju tujuan
akhir masjid kanjeng Sepuh Sidayu. Saya menyempatkan waktu untuk mengunjungi
kantor pos Sidayu maupun bekas rumah bergaya Eropa[xvii]
milik salah satu juragan Walet dari Desa Bunderan. Sidayu sendiri dikenal
sebagai sentra penghasil sarang burung walet terbaik se Jawa Timur, jauh
sebelum kedatangan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Beberapa bangunan ada
yang sudah beralih fungsi menjadi minimarket dan ada juga yang dibiarkan
menjadi rumah saja, hak kepemilikan sendiri sudah beralih ke pihak ketiga.
Bekas kantor pegadaian Sidayu yang memiliki angka tahun 1920 rupanya sudah
dihancurkan dan berganti menjadi minimarket. Beberapa rumah lama yang dapat
ditemukan berada di sebelah barat alun-alun di sebelah selatan jalur Daendels,
beberapa diantaranya ada di sebelah selatan jalur Daendels menuju arah Gresik
dan Surabaya dan dibiarkan saja tanpa perawatan lebih lanjut.
Rumah berangka tahun 1928, di depan gedung ini rumah berangka tahun 1898 Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Bekas kantor pegadaian Sidayu yang kini menjadi minimarket Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Kantor Pos Sidayu, dibangun pada masa era Daendels abad ke 18 Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Rumah bergaya Eropa milik juragan walet Sidayu, kini sudah berpindah tangan ke pihak ketiga Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Satu yang menjadi catatan penulis adalah keberadaan komunitas masyarakat Tionghoa di kawasan Sidayu[xviii], mereka bermukim di sekitar kawasan pasar Sidayu dan memiliki rumah bergaya langgam Tionghoa. Keberadaan mereka saat ini sudah mulai jarang ditemukan akibat kebijakan pemerintah orde baru dalam identitas Tionghoa[xix]. Banyak dari mereka bermigrasi ke Surabaya maupun tempat lain saat gejolak tahun 1965[xx]. Beberapa keberadaan makam Tionghoa atau bongpay berada di desa Pereng dan desa Ngawen.
Masjid Kanjeng Sepuh Sidayu, tampak dari belakang masjid Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Penjelajahan
kali ini ditutup dengan mengunjungi salah satu bangunan masjid karya Kanjeng
Sepuh Sidayu. Masjid ini memiliki gaya arsitektur Jawa dengan atap bertumpang
tiga, serta menjadi pusat peribadatan umat muslim di Sidayu dan sekitarnya pada
waktu itu. Keberadaan makam[xxi]
di tempat ibadah merupakan simbol pengingat kematian sekaligus makam pendiri
maupun tokoh Islam berpengaruh di suatu wilayah[xxii].
Serambi masjid Kanjeng Sepuh pada masa lalu digunakan sebagai tempat mengatur
strategi politik hingga kegiatan keagamaan. Snouck Hungronje menjelaskan bahwa
fungsi serambi masjid pada masa kolonial menjadi ruang pengadilan bagi
sengketa-sengketa yang peradilannya dikuasai hukum agama seperti hukum
perkawinan, kekeluargaan dan waris[xxiii].
Makam di belakang masjid Kanjeng Sepuh Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Pintu masuk Masjid Kanjeng Sepuh Sidayu Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Corak makam di sebelah barat masjid ini adalah Islam baru, beberapa diantaranya dipengaruhi oleh corak Majapahit yang ditandai dengan simbol surya Majapahit. Makam Kanjeng Sepuh sendiri berada di bagian paling barat masjid, ada satu makam berbahasa Belanda, seorang sahabat karib dari Residen van den Poel bernama Raden Ario Tjokro Adi Negoro. Makam-makam ini sering dikunjungi oleh para peziarah, terutama pada malam Jum’at legi. Ada yang sekedar mendoakan hingga "ngalap berkah" agar mendapatkan kemudahan dalam urusannya.
Salah satu makam berbahasa Arab Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Makam Kanjeng Gresik Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Makam sahabat Residen van den Poel dalam bahasa Belanda Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Makam panjang di belakang masjid Kanjeng Sepuh Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Simpulan
Perjalanan kami akhiri pada pukul 1 siang, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Surabaya. Penelusuran kali ini rupanya cukup memberikan kesan luar biasa, Gresik notabene merupakan pusat pemerintahan kolonial sedangkan Sidayu sejak lama memiliki posisi strategis baik dalam hal maritim maupun sejak dibangunnya jalur pos Daendels pada abad ke - 18. Raden Kromodjojo memulai perannya sebagai Adipati Sidayu dan mencapai puncak kejayaan ketika diperintah oleh Kanjeng Sepuh. Tata kotanya memang bercorak keraton namun bertolak belakang tata letaknya akibat dibangun jalur pos.
Sumbangsih Kanjeng Sepuh rupanya cukup membuat Sidayu terkenal hingga saat ini, tidak hanya sebagai jalur pos, kawasan ini juga dipusatkan sebagai kegiatan syiar keislaman. Ini dibuktikan dengan keseriusan Kanjeng Sepuh membangun infrastruktur hingga masjid Kanjeng Sepuh, tak lupa juga berdiri banyak pesantren di kawasan Sidayu dan sekitarnya. Satu hal yang menjadi catatan penulis adalah keberadaan masyarakat Tionghoa di Sidayu, sampai saat ini belum ditemukan keberadaan klenteng besar seperti halnya di Gresik. Sayang sekali penulis tidak mengunjungi langsung beberapa makam Tionghoa yang berumur ratusan tahun.
Akhir kata, semoga menjadi pembelajaran kita bersama dan menjadi pekerjaan rumah berbagai pihak dalam menjaga warisan cagar budaya baik lokal maupun kolonial yang ada di kawasan Sidayu dan sekitarnya. Perjalanan saya kali ini ditutup dengan pemandangan gudang garam tradisional sepanjang jalan raya Sidayu - Gresik. Garam pantai utara Jawa sudah menjadi komoditas ekspor pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak VOC berkuasa dan memonopoli garam. Garam pantai selatan rupanya juga menjadi perlawanan ketika garam VOC merajai pasaran lokal hingga mancanegara.
Gudang garam milik PT Garam Sumber : Dokumentasi Pribadi |
[i] Pada abad ke 13 – 15, terjadi peningkatan perniagaan besar di Asia Tenggara
terutama Jawa. Banyak pedagang dari India, Kamboja, Cina, Vietnam (Yawara),
Campa, India Selatamn, Bengali, dan Siam. Masa tersebut adalah awal mula
munculnya dia kawasan baru yaitu pemerintahan dan perdagangan. Lihat, Denys
Lombard, 2005, Nusa Jawa Silang Budaya
Jilid 2 : Jaringan Asia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[ii] Menurut Anderson, kota-kota di Jawa pada zaman prakolonial ibarat nyala
bola lampu di malam hari. Pada hahekatnya tidak mempunyai batas administratif
yang tetap, tergantung pada penguasanya. Penguasa Jawa pada masa tersebut masih
menganut kota mandala peninggalan Hindu-Budha, pusat kota dan pemerintahan
adalah keraton sedangkan kawasan pesisir dan bandar pelabuhan haya dijadikan
sebagai pusat perdagangan saja. Rully Damayanti & Handinoto, 2005, Kawasan Pusat Kota dalam Sejarah
Perkembangan Kota di Jawa, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Universitas
Petra Surabaya, Volume 33 No 1, halaman : 34 – 42.
[iii] Mataram adalah kerajaan hindu agraris, Surabaya mungkin benteng pertahanan
terakhir sisa-sisa kekuatan Demak di Jawa Timur. Lihat Muhamamd Misbachuddin,
2009, Konflik Antara Kerajaan Isam di
Pesisir vs Islam Pedalaman Tahun 1620 – 1636, Skripsi, Fakultas Ushluhuddin
Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, halaman : 2.
[iv] H.J de Graaf dan T.H Pigeaud, 1986, Kerajaan
Islam Pertama di Jawa : Peralihan dari Majapahit ke Mataram (Kajian Sejarah
Politik Abad ke 15 – 16), Grafitii Pers : Jakarta, halaman : 79
[v] Para penguasa Islam memiliki koneksi dengan para wali, mereka memiliki
jaringan sosial yang luas dengan sesama wali, para penguasa, dan pedagang kaya
di kota-kota pelabuhan di daerah pesisir utara Jawa. Nengah Bawa Atmaja, 2010, Genealogi Keruntuhan Majapahit, Pustaka
Pelajar : Yogyakarta, halaman : 4.
[viii]
Menurut Daldjoeni, tata ruang kota-kota di Jawa pada
umumnya memiliki kesamaan satu dengan lainnya, tidak lepas dari budaya Jawa
yang melekat sebagai identitas masyarakat Jawa. Daldjoeni, 2014, Geografi Kota dan Desa, Ombak :
Yogyakarta, halaman : 18-19.
[ix] Amangkurat I atau Raden Mas Sayyidin adalah anak dari hasil perkawinan
antara Sultan Agung dengan Ratu Batang, Prameswari yang kedua atau Ratu Wetan
(keturunan Ki Juru Mertani), lahir tahun 1619 M. Tahun 1634 M ia kemudian
dikawinkan dengan putri Pangeran Pekik bernama Ratu Kulon, lalu lahir anak
bernama Raden Mas Rahmat. Lihat Rochmat Gatot Santoso & Harianti, 2016, Kebijakan Politik & Sosial Ekonomi di
Kerajaan Mataram Islam pada Masa Pemerintahan Amangkurat I (1646 – 1677),
Jurnal, Magister Pendidikan Sejarah Fakultas Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta, halaman : 6-7.
[xi] Tulisan van Deventer mengenai pendidikan dimuat dalam majalah de Gids pada
tahun 1899 yang berjudul Een Eereschold
yang berarti hutang budi. Namun pada kenyataannya, pelaksaaan sekolah pada masa
politik etis bersifat diskriminatif, dipisahkan sesuai strata sosial dan ras.
Sartono Kartodirdjo, 1976, Sejarah
Nasional Jilid VI, Balai Pustaka : Jakarta, halaman : 14.
[xii] Tan Malaka, 2011, Serikat Islam
Semarang dan Onderwijs : Sebuah Karya Tan Malaka tahun 1921, Pustaka Kaji :
Jakarta, halaman : 22.
[xiii] Menurut G.H von Faber, Sekolah angka loro mempersiapkan berbagai macam pegawai rendah untuk kantor
pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta. Masa studi sekolah ini adalah 3-5
tahun dengan bahasa pengantar Melayu dan Belanda. Lihat Gusti Muhammad Prayudi
dan Dewi Salindiri, 2015, Pendidikan pada
Masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Surabaya Tahun 1901 – 1942, Jurnal
Publika Budaya, Vol 1, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sosial Universitas Negeri
Jember.
[xiv] Selain pedagang, masyarakat Tionghoa juga menyediakan jasa hotel maupun
turisme pada masa kolonial Hindia Belanda. Lihat Achmad Sungayadi, Peran Kaum Tionghoa dalam Turisme Kolonial
di Hindia Belanda, Jurnal, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia.
[xv] Arsitektur makam berkaitan dengan konsep masyarakat tentang kematian,
arsitektur makam makam merupakan indikator tingkat kemajuan suatu masyarakat
atau peradaban. Parlindungan Siregar, Seni
Arsitektur Makam pada Masjid-masjid Kuno Jakarta : Pendekatan Arkeologi.
Jurnal, Jurusan Seni Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, halaman : 5.
[xvi] Beliau merupakan lulusan apoteker di negeri Belanda pada tahun 1894 dan
tinggal di Semarang dari tahun 1896 – 1914. Pemilik perusahaan air botol Hygeia dan Semarangsche Apoteek. Kampungweek
adalah karya beliau mengenai arti penting kesehatan penduduk pribumi baik
pedesaan maupun masyarakat urban.
[xvii] Orang-oran Eropa membuat rumahnya dengan mengadopsi iklim tropis dan gaya
arsitektur setempat di Hindia Belanda. Lihat Djoko Sukiman, 2011, Kebudayaan Indis,
Komunitas Bambu : Depok.
[xviii] Banyak kota-kota di Jawa diberi nama dalam bahasa Cina, namun tidak
berkaitan dengan kata asli setempat. Contoh : Banten atau Xiagang, Tangerang atau Wendeng,
Jakarta atau Yecheng, Demak atau Linmu, Gresik atau Cecun, Surabaya atau Sishu,
dan Pasuruan atau Yanwang. Denys
Lombard, 2005, Nusa Jawa Silang Budaya
Jilid 2 : Jaringan Asia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman : 244.
[xix] Pemerintah orde baru mengeluarkan instruksi presiden No. 14 tahun 1967
mengenai pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat masyarakat Tionghoa
dalam segala bidang kehidupan. Ririn Darani, Kebijakan Negara dan Sentimen Anti-Cina : Perspektif Historis,
Jurnal, Pendidikan Sejarah Fakulas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri
Yogyakarta, halaman : 8.
[xx] Pada masa demokrasi terpimpin (1959 – 1965), pemerintah melakukan tindakan
represif, panglima militer setempat
mengeluarkan peraturan bahwa orang Tionghoa tidak boleh tinggal di desa
dan melarang kegiatan ekonomi hingga berujung kepada peraturan PP No. 10
November 1959 dan melahirkan sistem benteng. Leo Suryadinata, 2002, Negara dan
Etnis Tionghoa : Kasus Indonesia, LP3ES : Jakarta, halaman : 90.
[xxi] Makam di Jawa Tengah dan Timur persis di depan mihrab, makam di Jakarta
ditempatkan pada posisi serong kiri atau kanan mihrab. Parlindungan Siregar,
Seni Arsitektur Makam pada Masjid-masjid
Kuno Jakarta : Pendekatan Arkeologi. Jurnal, Jurusan Seni Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, halaman : 10
[xxii] Dalam konsepsi adat, makam Islam disebut keramat apabila berlaku kepada
makam penguasa atau tokoh berpengaruh dan didukung adanya kontinuitas
kebudayaan megalitik dengan Islam. Sartono Kartodirdjo menjelaskan menhir dalam
alam kepercayaan masyarakat megalithik berfingsi sebagai medium penghormatan,
menjadi tahta, kedatangan roh, sekaligus lambang dari orang-orang yang
diperingati. Wuri Handaka, 2014, Tradisi
Menhir pada Makam-makam Kuno Raja-raja di Wilayah Hitu, Jurnal Balai
Arkeologi Maluku.
[xxiii] Ashadi, 2012, Perkembangan Arsitektur
Masjid Walisongo di Jawa : Perubahan Ruang & Bentuk. Jurnal Nalars,
Volume 11, No 2, Juli, halaman : 151.
menarik!
BalasHapus