Resume Buku : "Bakar Pecinan" Konflik Pribumi melawan Tionghoa
di Kudus Tahun 1918
Oleh : Yuwana Galih Nugrahatama
S.S
Buku Bakar Pecinan karya Masyhuri, Skripsi Sarjana Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Konflik antaretnis
merupakan salah satu hal yang bisa ditemukan di sebuah negara majemuk, termasuk
Hindia Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Latar belakang
terjadinya konflik biasanya akibat masalah kesenjangan ekonomi, keagamaan,
maupun kepentingan politik, tak luput juga politik pecah belah atau devide et impera untuk mengatur
kekuasaan penguasa lokal agar dapat menguasai kekayaan alam hingga legitimasi
kekuasaan. Penulisan sejarah lokal menurut Sartono Kartodirdjo merupakan langkah
strategis dalam menentukan penulisan sejarah Nasional.
Resume
kali ini, mengangkat mengenai konflik antaretnis yang terjadi di
kota Kudus tahun 1918 karya Masyhuri, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia yang berfokus kepada sejarah sosial ekonomi di Indonesia. Akar konflik
yang terjadi di kudus tahun 1918 merupakan gabungan antara sentimen keagamaan
yang dibawa oleh organisasi Sarekat Islam Kudus dengan golongan Tionghoa yang
memiliki bisnis rokok kretek di kota Kudus, disamping masyarakat pribumi yang
diwakili oleh para Haji juga mempunyai usaha rokok kretek seperti “Nitisemito”.
Pertumbuhan industri kretek di kota Kudus pada awal abad ke – 20 antara pengusaha
pribumi dan Tionghoa dijelaskan secara jelas di dalam karya Lance Castles yang berjudul
Religion, Politics and Economic Behaviour
in Java : The Kudus Cigarette Industry (1967). Ada juga karya Tan Boen Kiem
mengenai Perosoehan di Koedoes tahun
1920 namun tanpa penjelasan kritis mengenai peristiwa tersebut. Karya Sartono
Kartodirdjo berjudul Protest Movement in
Rural Java (1973) juga menjadi referensi dalam mencari tahu akar pergerakan
protes petani Jawa.
Kota
Kudus dalam sejarah perkembangannya merupakan salah satu kota muslim yang
berkembang pesat semenjak berdirinya kerajaan Islam Demak di pulau Jawa. Morfologi
kota-kota muslim di Indonesia menurut Uka Tjandrasasmita mengadopsi morfologi
tata kota pada masa Hindu – Budha, struktur masyarakat di kota pesisir tampak
pada banyaknya pemukiman pedagang asing yang berasal dari beberapa kawasan di
Asia seperti : India, Gujarat, Persia, Arab, hingga kawasan Timur Jauh. Kota Kudus juga memiliki tata kota keraton Jawa yang
memiliki alun-alun, adanya masjid Kudus sebagai Simbol keagamaan, dan
keberadaan pasar sebagai simbo ekonomi. Salah satu tokoh yang berperan
membangun kota Kudus adalah Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq, disamping adanya
tokoh mubaligh Tionghoa bernama Kyai Telingsing.
Peta Kudus Tahun 1915 Sumber : maps.leiden.edu |
Memasuki
abad ke – 18, Kudus mulai dibawah pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya empat kawedanan
yaitu : Kudus Kota, Cendono, Undaan, dan Tenggeles. Struktur masyarakat Kudus
sendiri terdiri atas : Eropa, Timur Asing atau oosterlingen (Arab dan Tionghoa), dan bumiputera. Kondisi semacam
ini adalah gambaran kebijakan pemerintah kolonial dalam mengatur pemukiman
berdasarkan ras atau suku bangsa, yaitu passen
stelsel dan wijken stelsel tahun
1870 di beberapa kota pesisir maupun pedalaman. Struktur penduduk pada masa pendudukan
Jepang berubah seketika dan menempatkan masyarakat Eropa berada di paling
bawah.
Golongan
Eropa di Kudus memegang kekuasaan dalam bidang politik dan ekonomi paling atas,
golongan timur asing banyak menempati kegiatan perekonomian baik Arab dan Tionghoa
di pusat kota. Kawasan pesisir merupakan penghubung antara kawasan pedalaman
baik melalui sungai hingga jalan setapak, untuk nantinya dikirim melalui bandar
pelabuhan di kota Semarang. Golongan pribumi sendiri ada yang menjadi elit
lokal seperti priyayi, elit agama seperti kyai hingga wong cilik yang bekerja sebagai buruh hingga petani. Mayoritas kepercayaan
yang dianut oleh masyarakat Kudus adalah Islam, disamping kepercayaan lainnya.
Gambaran politik pada masa abad ke – 20 di Kudus dimulai
dengan berdirinya organisasi Budi Utomo maupun Sarekat Islam. Namun, organisasi
Sarekat Islam justru berkembang pesat akibat sentimen keagamaan yang kuat, disamping
kepentingan ekonomi berupa persaingan antara pengusaha kretek pribumi dengan
pengusaha Tionghoa. Sarekat Islam Kudus didirikan oleh beberapa pengusaha
kretek dan bantuan Bupati Kudus K.R.A.A Cokronagoro dan Patih Wedono Kota Marto
Sudirdjo, jumlah keanggotaan awal sebesar 557 orang. Tahun 1918, jabatan ini dipegang
oleh H. Jufri salah satu pengusaha kretek di Kudus.
Salah satu rumah kembar milik Nitisemito, Raja Kretek Kudus sumber : https://jejakbocahilang.wordpress.com/2015/03/14/kisah-nyaris-terlupakan-raja-kretek-nitisemito/ |
Omah Kapal kondisi Utuh milik keluarga Nitisemito Sumber : seputarkudus.com/2013/08/nitisemito-radja-rokok-kretek-asal_4213.html |
Kondisi terakhir Omah Kapal Sumber : seputarkudus.com/2013/08/nitisemito-radja-rokok-kretek-asal_4213.html |
Awalnya SI Kudus bergerak untuk memajukan kualitas hidup
secara spiritual maupun material, namun dalam perkembangannya hanya berfokus
kepada bidang agama saja dan tidak aktif di bidang ekonomi. SI Kudus juga berperan
membangun madrasah pertama tahun 1915
bernama Muawanattul Muslim dan tahun
1918 melakukan pemugaran kompleks masjid Menara Kudus. Sampai pada tahun 1918,
masyarakat Islam di Kudus terbagi menjadi dua kelompok yaitu : mereka yang
tergabung ke dalam SI Kudus maupun mereka yang berfokus kepada organisasi lain
semisal Perkumpulan Kaum Buruh dan Tani atau PKBT. PKBT berisi eks anggota Komite
Balatentara Kandjeng Nabi Muhammad seperti Surorejo dan Zaid Muhammad dan
terpengaruh oleh aksi Semaun di Sarekat Islam Semarang.
Sepak terjang PKBT cukup radikal di Kudus, salah satunya
adalah propaganda anti kapitalis di kalangan penduduk pribumi seperti :
penghapusan lumbung-lumbung desa, membagi harta lumbung desa, penghapusan
retribusi pasar. Namun disisi lain, ada kelompok pengusaha lokal yang memiliki
pengaruh besar dalam bidang ekonomi, sosial, maupun agama. Mereka adalah pengusaha
kretek : Kyai Nurhadi, H. Ali Sadikin, H. Jufri, dan H. Rahmad. PKBT sendiri hanya
berfokus kepada perbaikan nasib rakyat dan kemandirian perekonomian rakyat
melalui jalan revolusioner.
Prasangka menuju prahara tahun 1918 sebenarnya berasal
dari masalah persaingan usaha rokok kretek antara pribumi dan Tionghoa. Hal ini
dibuktikan dengan adanya pemalsuan merk oleh oknum Tionghoa yang menyamarkan merk
dagangnya menjadi Haji. Disisi lain, pengusaha Tionghoa terkenal memiliki jaringan
kuat sesama etnis. Pengusaha kretek lokal juga memiliki keuntungan dalam
jaringan, lebih tepatnya menjadi jajaran pengurus Sarekat Islam Kudus.
Prahra tahun 1918 pecah ketika adanya provokasi yang
dilakukan oleh oknum Tionghoa berpakaian Haji saat pawai sebagai usaha untuk menolak
penyakit Influenza yang melanda kota Kudus, pawai melewati masjid menara Kudus
dan melewati perkampungan Tionghoa di Kudus Kulon dekat masjid Menara. Menurut
catatan Tan Boen Kim, Pawai ini disponsori oleh beberapa pengusaha kretek
Tionghoa. Arak-arakan mengarak Toa Pek
Kong keliling, beberapa penampilan diisi oleh orang Tionghoa yang memakai
pakaian adat, ada juga yang memakai pakaian haji namun ditemani dua perempuan
yang berpakaian nakal dengan naik pedati.
Minaret en Moskee van Koedoes 1920Menara masjid Kudus tahun 1920 Sumber : Troopenmuseum.nl |
Situasi menjadi tak kondusif saat memasuki kawasan
kompleks masjid Menara Kudus, pawai orang Tionghoa menabrak sebuah gerobak
dorong yang sedang mengangkut batu untuk perbaikan masjid dari Kali Gelis
hingga akhirnya menabrak akibat tidak ada yang saling mengalah satu sama lain. Pada
saat yang sama, kerumunan orang yang menonton pawai mulai berdatangan. Keributan
memuncak ketika H. Sanusi dipukuli oleh seorang Tionghoa. Serentak kerumunan
pribumi mulai bertertiak hingga meneriakkan “Jaa Rasulullah Sabil”. Kamis tanggal 31 Oktober 1918 merupakan
malam mencekam dimana beberapa oknum dan penjarah mulai menyerang pemukiman dan
toko-toko milik Tionghoa walaupun jalan damai sudah diupayakan oleh keuda belah
pihak. Teriakan “Ayo wong Islam maju,
Omahe dibongkar, pateni wong Cino”. Massa yang menyerang pemukiman dan
toko-toko berjumlah 1.500 – 2.000 orang dengan segala macam persenjataan
Tak hanya merusak rumah dan toko milik Tionghoa, beberapa
rumah milik orang pribumi yang terletak di daerah kerusuhan juga ikut terbakar
dan dijarah oleh oknum tak bertanggung awab. Akhirnya konflik berakhir ketika
pemimpin massa Islam menjadi tenang dan mulai menolong para korban kerusuhan,
ada juga masyarakat Eropa ikut mencegah perusakan namun dicegah oleh kontroleur. Polisi Pemerintah mulai
datang dan sebagian dari mereka yang merampok dan menjarah melarikan diri di
kawasan pemukiman Tionghoa. Akibat dari kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa
melarikan diri ke tempat lain, terutama Semarang. Masyarakat Tionghoa di kota
lain bahu membahu mendirikan sebuah posko bernama Kudus Fonds di kota-kota seperti Semarang, Batavia, Surabaya, dan
lain-lain. Kerugian material akibat kerusuhan ini mencapai ratusan ribu golden.
Konlfik di Kudus antara golongan pribumi dan golongan
Tionghoa merujuk kepada suatu konflik kompleks, berawal dari persaingan ekonomi
dan sosial hingga berakhir kepada sentimen etnis maupun keagamaan. Pada peristiwa
di Kudus ini, faktor sentimen keagamaan menjadi titik singgung bertemunya
berbagai faktor yang secara bersamaan dan meledak ke permukaan seperti halnya
erupsi gunung berapi. Kemajemukan merupakan sebuah karunia sekaligus sebuah
masalah apabila tidak ditangani dengan baik oleh sebuah pemerintah suatu negara
maupun bangsa. Satu pernyataan yang pantas diingat adalah : Ilmu Pengetahuan
tanpa Agama adalah pincang, Agama tanpa Ilmu Pengetahuan adalah Buta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar