Kamis, 27 Desember 2018

Konflik Pribumi melawan Tionghoa di Kudus Tahun 1918


Resume Buku : "Bakar Pecinan" Konflik Pribumi melawan Tionghoa di Kudus Tahun 1918
Oleh : Yuwana Galih Nugrahatama S.S

Buku Bakar Pecinan karya Masyhuri, Skripsi Sarjana
Sumber : Dokumentasi Pribadi
 
            Konflik antaretnis merupakan salah satu hal yang bisa ditemukan di sebuah negara majemuk, termasuk Hindia Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Latar belakang terjadinya konflik biasanya akibat masalah kesenjangan ekonomi, keagamaan, maupun kepentingan politik, tak luput juga politik pecah belah atau devide et impera untuk mengatur kekuasaan penguasa lokal agar dapat menguasai kekayaan alam hingga legitimasi kekuasaan. Penulisan sejarah lokal menurut Sartono Kartodirdjo merupakan langkah strategis dalam menentukan penulisan sejarah Nasional.
            Resume kali ini, mengangkat mengenai konflik antaretnis yang terjadi di kota Kudus tahun 1918 karya Masyhuri, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang berfokus kepada sejarah sosial ekonomi di Indonesia. Akar konflik yang terjadi di kudus tahun 1918 merupakan gabungan antara sentimen keagamaan yang dibawa oleh organisasi Sarekat Islam Kudus dengan golongan Tionghoa yang memiliki bisnis rokok kretek di kota Kudus, disamping masyarakat pribumi yang diwakili oleh para Haji juga mempunyai usaha rokok kretek seperti “Nitisemito”. Pertumbuhan industri kretek di kota Kudus pada awal abad ke – 20 antara pengusaha pribumi dan Tionghoa dijelaskan secara jelas di dalam karya Lance Castles yang berjudul Religion, Politics and Economic Behaviour in Java : The Kudus Cigarette Industry (1967). Ada juga karya Tan Boen Kiem mengenai Perosoehan di Koedoes tahun 1920 namun tanpa penjelasan kritis mengenai peristiwa tersebut. Karya Sartono Kartodirdjo berjudul Protest Movement in Rural Java (1973) juga menjadi referensi dalam mencari tahu akar pergerakan protes petani Jawa.
            Kota Kudus dalam sejarah perkembangannya merupakan salah satu kota muslim yang berkembang pesat semenjak berdirinya kerajaan Islam Demak di pulau Jawa. Morfologi kota-kota muslim di Indonesia menurut Uka Tjandrasasmita mengadopsi morfologi tata kota pada masa Hindu – Budha, struktur masyarakat di kota pesisir tampak pada banyaknya pemukiman pedagang asing yang berasal dari beberapa kawasan di Asia seperti : India, Gujarat, Persia, Arab, hingga kawasan Timur Jauh. Kota Kudus  juga memiliki tata kota keraton Jawa yang memiliki alun-alun, adanya masjid Kudus sebagai Simbol keagamaan, dan keberadaan pasar sebagai simbo ekonomi. Salah satu tokoh yang berperan membangun kota Kudus adalah Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq, disamping adanya tokoh mubaligh Tionghoa bernama Kyai Telingsing.

Peta Kudus Tahun 1915
Sumber : maps.leiden.edu

            Memasuki abad ke – 18, Kudus mulai dibawah pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya empat kawedanan yaitu : Kudus Kota, Cendono, Undaan, dan Tenggeles. Struktur masyarakat Kudus sendiri terdiri atas : Eropa, Timur Asing atau oosterlingen (Arab dan Tionghoa), dan bumiputera. Kondisi semacam ini adalah gambaran kebijakan pemerintah kolonial dalam mengatur pemukiman berdasarkan ras atau suku bangsa, yaitu passen stelsel dan wijken stelsel tahun 1870 di beberapa kota pesisir maupun pedalaman. Struktur penduduk pada masa pendudukan Jepang berubah seketika dan menempatkan masyarakat Eropa berada di paling bawah.
            Golongan Eropa di Kudus memegang kekuasaan dalam bidang politik dan ekonomi paling atas, golongan timur asing banyak menempati kegiatan perekonomian baik Arab dan Tionghoa di pusat kota. Kawasan pesisir merupakan penghubung antara kawasan pedalaman baik melalui sungai hingga jalan setapak, untuk nantinya dikirim melalui bandar pelabuhan di kota Semarang. Golongan pribumi sendiri ada yang menjadi elit lokal seperti priyayi, elit agama seperti kyai hingga wong cilik yang bekerja sebagai buruh hingga petani. Mayoritas kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kudus adalah Islam, disamping kepercayaan lainnya.
                Gambaran politik pada masa abad ke – 20 di Kudus dimulai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo maupun Sarekat Islam. Namun, organisasi Sarekat Islam justru berkembang pesat akibat sentimen keagamaan yang kuat, disamping kepentingan ekonomi berupa persaingan antara pengusaha kretek pribumi dengan pengusaha Tionghoa. Sarekat Islam Kudus didirikan oleh beberapa pengusaha kretek dan bantuan Bupati Kudus K.R.A.A Cokronagoro dan Patih Wedono Kota Marto Sudirdjo, jumlah keanggotaan awal sebesar 557 orang. Tahun 1918, jabatan ini dipegang oleh H. Jufri salah satu pengusaha kretek di Kudus.
Salah satu rumah kembar milik Nitisemito, Raja Kretek Kudus
sumber : https://jejakbocahilang.wordpress.com/2015/03/14/kisah-nyaris-terlupakan-raja-kretek-nitisemito/

Omah Kapal kondisi Utuh milik keluarga Nitisemito
Sumber : seputarkudus.com/2013/08/nitisemito-radja-rokok-kretek-asal_4213.html

Kondisi terakhir Omah Kapal
Sumber : seputarkudus.com/2013/08/nitisemito-radja-rokok-kretek-asal_4213.html
Awalnya SI Kudus bergerak untuk memajukan kualitas hidup secara spiritual maupun material, namun dalam perkembangannya hanya berfokus kepada bidang agama saja dan tidak aktif di bidang ekonomi. SI Kudus juga berperan membangun madrasah pertama tahun 1915 bernama Muawanattul Muslim dan tahun 1918 melakukan pemugaran kompleks masjid Menara Kudus. Sampai pada tahun 1918, masyarakat Islam di Kudus terbagi menjadi dua kelompok yaitu : mereka yang tergabung ke dalam SI Kudus maupun mereka yang berfokus kepada organisasi lain semisal Perkumpulan Kaum Buruh dan Tani atau PKBT. PKBT berisi eks anggota Komite Balatentara Kandjeng Nabi Muhammad seperti Surorejo dan Zaid Muhammad dan terpengaruh oleh aksi Semaun di Sarekat Islam Semarang.
Sepak terjang PKBT cukup radikal di Kudus, salah satunya adalah propaganda anti kapitalis di kalangan penduduk pribumi seperti : penghapusan lumbung-lumbung desa, membagi harta lumbung desa, penghapusan retribusi pasar. Namun disisi lain, ada kelompok pengusaha lokal yang memiliki pengaruh besar dalam bidang ekonomi, sosial, maupun agama. Mereka adalah pengusaha kretek : Kyai Nurhadi, H. Ali Sadikin, H. Jufri, dan H. Rahmad. PKBT sendiri hanya berfokus kepada perbaikan nasib rakyat dan kemandirian perekonomian rakyat melalui jalan revolusioner.
Prasangka menuju prahara tahun 1918 sebenarnya berasal dari masalah persaingan usaha rokok kretek antara pribumi dan Tionghoa. Hal ini dibuktikan dengan adanya pemalsuan merk oleh oknum Tionghoa yang menyamarkan merk dagangnya menjadi Haji. Disisi lain, pengusaha Tionghoa terkenal memiliki jaringan kuat sesama etnis. Pengusaha kretek lokal juga memiliki keuntungan dalam jaringan, lebih tepatnya menjadi jajaran pengurus Sarekat Islam Kudus.
Prahra tahun 1918 pecah ketika adanya provokasi yang dilakukan oleh oknum Tionghoa berpakaian Haji saat pawai sebagai usaha untuk menolak penyakit Influenza yang melanda kota Kudus, pawai melewati masjid menara Kudus dan melewati perkampungan Tionghoa di Kudus Kulon dekat masjid Menara. Menurut catatan Tan Boen Kim, Pawai ini disponsori oleh beberapa pengusaha kretek Tionghoa. Arak-arakan mengarak Toa Pek Kong keliling, beberapa penampilan diisi oleh orang Tionghoa yang memakai pakaian adat, ada juga yang memakai pakaian haji namun ditemani dua perempuan yang berpakaian nakal dengan naik pedati.

Minaret en Moskee van Koedoes 1920Menara masjid Kudus tahun 1920
Sumber : Troopenmuseum.nl
 
Situasi menjadi tak kondusif saat memasuki kawasan kompleks masjid Menara Kudus, pawai orang Tionghoa menabrak sebuah gerobak dorong yang sedang mengangkut batu untuk perbaikan masjid dari Kali Gelis hingga akhirnya menabrak akibat tidak ada yang saling mengalah satu sama lain. Pada saat yang sama, kerumunan orang yang menonton pawai mulai berdatangan. Keributan memuncak ketika H. Sanusi dipukuli oleh seorang Tionghoa. Serentak kerumunan pribumi mulai bertertiak hingga meneriakkan “Jaa Rasulullah Sabil”. Kamis tanggal 31 Oktober 1918 merupakan malam mencekam dimana beberapa oknum dan penjarah mulai menyerang pemukiman dan toko-toko milik Tionghoa walaupun jalan damai sudah diupayakan oleh keuda belah pihak. Teriakan “Ayo wong Islam maju, Omahe dibongkar, pateni wong Cino”. Massa yang menyerang pemukiman dan toko-toko berjumlah 1.500 – 2.000 orang dengan segala macam persenjataan
Tak hanya merusak rumah dan toko milik Tionghoa, beberapa rumah milik orang pribumi yang terletak di daerah kerusuhan juga ikut terbakar dan dijarah oleh oknum tak bertanggung awab. Akhirnya konflik berakhir ketika pemimpin massa Islam menjadi tenang dan mulai menolong para korban kerusuhan, ada juga masyarakat Eropa ikut mencegah perusakan namun dicegah oleh kontroleur. Polisi Pemerintah mulai datang dan sebagian dari mereka yang merampok dan menjarah melarikan diri di kawasan pemukiman Tionghoa. Akibat dari kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa melarikan diri ke tempat lain, terutama Semarang. Masyarakat Tionghoa di kota lain bahu membahu mendirikan sebuah posko bernama Kudus Fonds di kota-kota seperti Semarang, Batavia, Surabaya, dan lain-lain. Kerugian material akibat kerusuhan ini mencapai ratusan ribu golden.
Konlfik di Kudus antara golongan pribumi dan golongan Tionghoa merujuk kepada suatu konflik kompleks, berawal dari persaingan ekonomi dan sosial hingga berakhir kepada sentimen etnis maupun keagamaan. Pada peristiwa di Kudus ini, faktor sentimen keagamaan menjadi titik singgung bertemunya berbagai faktor yang secara bersamaan dan meledak ke permukaan seperti halnya erupsi gunung berapi. Kemajemukan merupakan sebuah karunia sekaligus sebuah masalah apabila tidak ditangani dengan baik oleh sebuah pemerintah suatu negara maupun bangsa. Satu pernyataan yang pantas diingat adalah : Ilmu Pengetahuan tanpa Agama adalah pincang, Agama tanpa Ilmu Pengetahuan adalah Buta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar