Senin, 04 Juni 2018

Sejarah Masjid Layur Semarang


Sejarah Masjid Menara Kampung Melayu
Pendahuluan
            Perkembangan Islam di Nusantara tidak lepas dari peran penting kaum pedagang dari kawasan Timur Jauh. Islam dibawa oleh para pedagang dari kawasan Hadramaut atau Yaman dengan membawa beragam jenis barang kualitas ekspor[i]. Mereka juga mendirikan sebuah pemukiman[ii]  di kawasan pesisir hingga memiliki akses langsung dengan penguasa setempat. Alhasil, Islam mulai berkembang melalui saluran perkawinan dan perjanjian politik dengan penguasa setempat. Islam di Jawa berkembang pesat sejak runtuhnya kekuasaan kerajaan Majapahit[iii].
            Kawasan pesisir pantai utara Jawa dikenal memiliki corak Islam puritan serta memiliki pusat perekonomian dan perdagangan di kawasan pelabuhan. Kawasan pesisir utara jawa dibagi menjadi dua bagian yaitu pesisir kulon dan pesisir wetan. Pesisir kulon (Cirebon, Tegal, Pekalongan) bercorak kebudayaan borjuis sedangkan pesisir wetan (Demak, Kudus, Rembang, Tuban hingga Gresik) memiliki corak kebudayaan islam pesisir sesungguhnya[iv].
Kota Semarang adalah bandar pelabuhan strategis bagi pedagang dari kawasan timur jauh seperti : India, Gujarat, Arab, Persia, hingga Tiongkok[v]. Kehadiran orang Eropa abad ke – 18 membuat Semarang berkembang menjadi kota metropolitan[vi]. Pengaturan pemukiman di kota Semarang diatur dengan hak istimewa yaitu exhorbitante yang dimiliki oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dalam peraturan regering reglement tahun 1851 diatur mengenai pemukiman masyarakat Eropa, timur asing atau oosterlingen, dan pribumi.
Kota Semarang adalah salah satu dari bagian kota-kota kolonial dan memiliki karakteristik sebagai kota triparit[vii], kota triparit memiliki 3 unsur yaitu masyarakat pribumi dengan kampung-kampung, orang timur asing (Tionghoa/Arab) dengan rumah dan toko-tokonya, sedangkan unsur Barat diwakili oleh benteng dan rumah bergaya arsitektur kolonial maupun indis. Undang-undang desentralisasi atau desentralisatiwet pada tahun 1903 serta baru dilaksanakan pada tahun 1905 bertujuan untuk memberikan perubahan dalam strata pemerintahan berupa pembangunan pusat pemerintahan kotamadya atau gementee.

Peta Kota Semarang tahun 1935
Sumber : maps.leiden.edu
Pemukiman Arab Semarang dikenal sebagai pemilik modal yang cukup besar serta kekayaan yang jumlahnya melimpah hingga sampai kepada keturunan selanjutnya[viii]. Mayoritas adalah pengusaha yang bergerak di bidang tekstil maupun industri lainnya, disamping para pengusaha keturunan Tionghoa[ix]. Tahun 1819, koloni ini sudah memiliki kepala koloni atau disebut sebagai “Kapiten”. Masyarakat Arab di Semarang bermukim di kawasan Layur yang berdekatan dengan Kali Semarang.
Kali Semarang dulunya digunakan sebagai pintu masuk menuju Semarang melalui jalur laut, hal tersebut dapat dibuktikan dengan keberadaan menara syahbandar atau Sleko untuk mengatur hilir mudik kapal yang masuk maupun keluar dari dan menuju kota Semarang. Perkembangan Kali Semarang sebagai kawasan bandar dagang adalah awal mula perkembangan kota Semarang modern hingga saat ini seperti halnya Kali Mas dan Pegirian di kota Surabaya.


Menara Syahbandar di Jalan Sleko, proses revitalisasi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Di kawasan tersebut, sebanyak 1743 etnis Tionghoa pernah melakukan pemberontakan kepada orang Belanda sedangkan masyarakat Arab mendirikan sebuah masjid bergaya Hadrami dan lokal didirikan di kawasan Layur. Kawasan Layur sendiri mayoritas ditempati oleh masyarakat Arab disamping adanya etnis Tionghoa yang memiliki gudang besar penyimpanan barang di pinggir Kalikoping. Sebelumnya, gudang penyimpanan ini adalah milik VOC untuk menyimpan produk komoditas ekspor.
Hal tersebut membuat pemerintah kolonial Belanda mendirikan sebuah perusahaan penyedia jasa ekspedisi muatan kapal di kawasan kota lama Semarang bernama NV Bouw Matschappij. Perusahaan ini kemudian menjadi milik pemerintah Republik Indonesia sejak terkena kebijakan nasionalisasi tahun 1962 dan menjadi PT Pelni. Sedangkan perusahaan penyedia armada kapal yaitu Stoomvart Matschappij Nederland (SMN) memiliki kantor perwakilan di kawasan kota lama Semarang dan kini menjadi gedung PT Jakarta Dlloyld (Persero).
Pembangunan Masjid Menara Layur Semarang
Masjid ini menjadi bagian penting perkembangan kawasan Layur sebagai awal mula berdirinya kota Semarang modern saat ini[x]. Masjid ini berada di kawasan kota lama Semarang dan berada 1 kilometer dari stasiun Semarang Tawang milik NIS. Masyarakat Arab banyak menetap di kawasan Arabische Kamp karena kebijakan passen stelsel dan wijken stelsel. Pembangunan masjid ini dipelopori oleh saudagar Arab untuk kepentingan keagamaan maupun politik[xi].


Masjid Layur Semarang di kawasan Kampung Melayu
Sumber : Dokumentasi pribadi
            Masjid ini berdiri sejak kedatangan gelombang eksodus etnis Hadramaut pada abad ke – 18 dan menetap di kawasan Layur yang berdekatan dengan kali Semarang. Masjid ini bercorak geometrik dengan cat warna-warni yang didominasi oleh cat hijau muda. Bagian kanan dan kiri masjid masih terdapat bangunan tua dengan ukuran besar. Ornamen dinding yang menghiasi masjid memiliki percampuran dari Jawa, Melayu dan Arab[xii]. Nilai Jawa diwakili oleh bangunan masjid tumpang tiga[xiii] sedangkan ornamen dinding memiliki corak Melayu dan Arab. Sedangkan menara yang berada di kompleks masjid bergaya Hadrami awalnya digunakan sebagai mercusuar pengatur hilir mudik kapal yang masuk dan keluar melewati Kali Semarang yang berada tepat di belakang masjid.




Mercusuar yang kini digunakan sebagai menara masjid
Sumber : Dokumentasi Pribadi
            Beberapa rumah di kawasan jalan Layur memiliki corak seperti rumah bergaya Melayu, Banjar dan masih banyak lagi. Hal tersebut membuktikan bahwa kampung ini dahulunya adalah kawasan perekonomian dan menjadi tempat bertemunya beragam jenis pedagang baik dari Nusantara maupun kawasan jauh. Beragam jenis bangunan di tempat ini sebagian sudah beralih fungsi menjadi tempat tinggal maupun gudang penyimpanan. Kini, kawasan ini rawan sekali banjir rob yang berasal dari Laut Jawa hingga membuat jumlah penduduk Arab di kawasan ini berkurang drastis dan pindah ke tempat yang lebih aman seperti Tegal, Pekalongan, Gresik, hingga Surabaya.
 

Salah satu sudut jalan di Kampung Melayu Layur
Sumber : Dokumentasi Pribadi
            Warisan besar yang diberikan oleh VOC dan pemerintah kolonial Belanda hingga saat ini adalah pusat perekonomian yang berada di pesisir pantai atau disebut sebagai pelabuhan. Titik pelabuhan ini kemudian saling berkesinambungan satu sama lain untuk mengembangkan sebuah kota pantai maupun hinterland. Perkembangan kota pesisir besar seperti : Jakarta, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Padang adalah segelintir pusat kota pantai yang berubah menjadi kota pesisir modern dengan corak budaya borjuis. Regulasi maritim yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda membuat Semarang berkembang menjadi salah satu bandar pelabuhan penting di Hindia Belanda sejak abad ke – 16[xiv].



[i] Islam disebarkan melalui tiga metode yaitu : oleh para pedagang muslim yang melakukan kunjungan dagang, para dai atau pendakawah dari jazirah Arab maupun orang suci. Komunitas muslim di Asia Tenggara tumbuh setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit seperti : Pasai, Malaka, Aceh, Minangkabau, dan Jawa. Azyumardi Azra, 1989, Perspektif Islam di Asia Tenggara, Yayasan Obor Indonesia : Jakarta.
[ii] Dalam persebaran penduduk, biasanya orang-orang Timur Asing lebih suka mengelompok di suatu tempat tertentu yaitu dekat dengan tempat strategis seperti kawasan pesisir pantai. Daerah kota pelabuhan seperti Surabaya dan Semarang paling tidak terdapat kampung Pecinan, kampung Arab, dan kampung Melayu. Handinoto, Perkembangan Kota, halaman : 48.
[iii] Menurut Tome Pires, runtuhnya pusat kekusaan Majapahit tidak semata-mata akibat berkembangnya komunitas muslim di kawasan pesisir, melainkan adanya penyerangan kerajaan Kediri oleh dinasti Girindrahwardhana.
[iv] Islam pesisir memiliki sifat puritan atau murni, hal tersebut berbanding terbalik dengan Islam di kawasan pedalaman yang memilki sifat akulturasi dan asimilasi terhadap kebudayaan lokal. Menurut Pigeaud, Surabaya adalah gerbang masuknya paham baru mengenai Islam yang dibawa oleh kaum cendekiawan dari Timur Tengah, Asia Barat, maupun Afrika. Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka : Jakarta.
[v] Catatan Fa Hian dari Tiongkok membuktikan bahwa pada tahun 399 – 414 masehi, orang Tionghoa telah mengunjungi Jawa dalam perjalanan ke Hindia. Lihat Benny G. Setiono, 2003, Tionghoa dalam Pusaran Politik. Elkasa : Jakarta, halaman : 18 -19.
[vi] Menurut Mc Gee, keberadaan kota yang terletak di daerah pesisir pantai maupun sungai sangat penting sebagai arus ekspor dan impor barang bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Lihat T.G Mc Gee. 1967, The Southeast Asian City : A Social Geography of the Primates Cities of Southeast Asia, University of California : California.
[vii] Konsep Triparit merupakan bagian dari kota bawah, sebuah kawasan yang dikelilingi tembok kota dan kanal untuk mengelilingi kota. Lihat Freek Colombijn (eds), 2005, Kota Lama, Kota Baru : Sejarah Kota-kota di Indonesia, Ombak : Yogyakarta, halaman 148.
[viii] Van den Berg, 1989, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, INIS : Jakarta.
[ix] Produk Mataram Islam yang laku keras di kawasan pantai utara Jawa adalah kain Belengan (Batik warna biru) dan kain lurik/ginggang. Anton Haryono, 2015, Mewarisi Tradisi Menemukan Solusi : Industri Rakyat Daerah Yogyakarta Masa Kolonial (1830 – 1930 an). Universitas Sanata Dharma Press : Yogyakarta, Halaman : 64.
[x] Masjid adalah lingkaran makna yang mempersatukan konfigurasi budaya umat Islam, mempersatukan aspek-aspek budaya dan ekonomi menjadi satuan yang koheren. Kuntowijoyo, 2006, Budaya dan Masyarakat, Tiara Wacana : Yogyakarta, halaman : 135.
[xi] Menurut Ibnu Khaldun, adanya penyelidikan mengenai dua jenis masjid di kota yaitu : masjid besar di bawah kontrol penguasa sedangkan masjid kecil di bawah pengelolaan masyarakat biasa untuk sholat dan pertemuan akbar. Pada masa pergerakan nasional, masjid Ampel Surabaya adalah salah satu masjid yang digunakan untuk kepentingan politik dalam rangkan mobilisasi massa Sarekat Islam maupun masyarakat umum dalam melawan kebijakan politik pemerintah kolonial Hinda Belanda. John L. Esposito, 2000, Enskiklopedia Oxford Dunia Islam Modern. Mizan : Bandung, halaman : 353
[xii] Islam telah mempunyai sifat keterbukaan sejak semula dan selalu toleran terhadap adat kebiasaan lama suatu daerah hingga menyebabkan munculnya berbagai corak baru dalam mengembangkan ciri khas daerah perkembangan tersebut, salah satuya dalam menambah kekayaan arsitektur Islam. Abdul Rochim, 1983, Masjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Angkasa : Bandung, halaman : 17.
[xiii] Menurut W.F Stutterheim, ia menganggap bahwa bangunan masjid beratap tumpang atau bertingkat adalag pengaruh dari seni bangunan di Bali untuk tempat pertarungan sabung ayam.
[xiv] Lihat Anthony Reid, 2011, Asia dalam Kurun Waktu Niaga Jilid 1-2, Yayasan Obor Indonesia : Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar