Rabu, 28 Maret 2018

Pengaruh Persia dalam Proses Islamisasi di Nusantara


Pengaruh Persia dalam Proses Islamisasi di Nusantara

            Peradaban Nusantara berkaitan erat dengan peradaban agama, hal ini dibuktikan dengan peninggalan budaya batu besar atau “Megalithikum” seperti : menhir, dolmen, sarkofagus dan punden berundak. Peradaban ini juga berkaitan erat dengan perkakas yang berhubungan dengan aktivitas manusia dari sejak zaman Paleolithikum, hal tersebut dapat dibuktikan dengan keberadaan sampah kerang di pinggir pantai atau disebut kjokken modinger. Perkakas manusia juga sudah digunakan semenjak mengenal sistem nomaden hingga bercocok tanam.
            P. Mus dalam L’ inde vue de I’est Cultes Indiens etidigenies au champa menyatakan bahwa cakupan wilayah peradaban Nusantara cukup luas yaitu : mencakup India, Indocina, Indonesia, dan beberapa wilayah di kawasan lautan pasifik seperti Polinesia, Micronesia, maupun Fiji. Faktor lingkungan yang tak menentu menimbulkan munculnya beberapa bentuk kebudayaan dan kepercayaan terhadap nenek moyang sejak zaman batu tua. Salah satu agama atau kepercayaan kuno yang dianut mayoritas peradaban Nusantara adalah agama Kapitayan. Agama ini berasal dari Jawa[i], tumbuh dan berkembang berdasarkan faktor lingkungan sejak dari zaman Paleolithikum hingga zaman besi. Secara sederhana, Kapitayan digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sesembahan utama yang disebut Sang Hyang Taya[ii]. Ajaran ini juga sama sekali tidak terpengaruh secara signifikan oleh kebudayaan Dongson yang membawa kebudayaan perunggu dan besi ke Nusantara[iii], bisa dikatakan hampir sebagian besar wilayah di kawasan Asia Tenggara sama-sama menganut ajaran Kapitayan walaupun dengan nama yang berbeda.

Proses Masuknya Islam ke Nusantara
            Sebelum Islam masuk, kepercayaan lokal dan Hindu-Budha sangat mendominasi hingga keruntuhan kerajaan Majapahit pada abad ke – 15. Islam pada waktu tersebut hanya memiliki posisi kecil dalam sebuah stuktur masyarakat kuno, hal tersebut dibuktikan dengan keberadaan kerajaan kecil maupun pemukiman pedagang dari kawasan luar yang menetap di pesisir pantai. Islam yang berkembang dan masuk ke Nusantara mayoritas menggunakan jalur perdagangan dan perkawinan sebagai sarana dakwah yang menguntungkan daripada mengangkat senjata.
            Sumber dari Barat seperti Dr Snouck Hungronje dalam De Islamin Nederlandsche-Indie Seri II No 9 dari Groote Godsdiensten menyebutkan bahwa tatkala Islam sudah ada di Nusantara, raja Mongol Hidagu menghancurkan Baghdad berserta perpustakaan Islam tahun 1258 Masehi, setengah abad sebelum kejadian tersebut Islam sudah berkembang di kawasan Nusantara termasuk di Pasai[iv]. Catatan dari beberapa penjelajah sepeerti Ibnu Batuta membuktikan adanya keberadaan kerajaan Islam di Sumatera Utara bernama Pase. Marcopolo seorang penjelajah dari Barat menjelaskan : Tahun 1292 ia berlayar dari pelabuhan Cina Selatan selama beberapa bulan sebelum sampai di Sumatra. Setelah beliau sampai, ia menemukan suatu kampung di Aceh Timur berisi pedagang-pedagang Islam dari berbagai tempat. Tempat tersebut kemudian disebut orang Barat sebagai Ferlec atau kerajaan Perlak. Kawasan Barus (Farsur) yang dianggap biadab atau alien heidensch oleh penjelajah Barat ternyata menemukan bukti bahwa Islam sudah masuk terlebih dahulu di kawasan ini. sekarang kawasan Barus ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya dan penghasil barus alami terbaik sejak zaman kerajaan Pasai.
         Islamisasi di Nusantara pertama kali dilakukan oleh para saudagar dari kawasan Timur Tengah. Menurut S.Q Fatimi, orang-orang Muslim pembawa Islam ke Nusantara berasal dari kawasan Benggala[v], Maghribi, Hadramaut, maupun Persia (Iran). Komunitas pedagang muslim dari kawasan tersebut kemudian mendirikan pemukiman di kawasan tersebut[vi]. Supremasi sebuah kerajaan di suatu kawasan juga berperan penting dalam proses islamisasi di kawasan tersebut. Menurut Rickleff, pola pembentukan budaya dan islamisasi di kerajaan Pasai bermula dari kekuasaan Supra Desa menuju negara terpusat.
       Dalam hikayat raja-raja Pase menjelaskan mengenai kerajaan Pasai sebagai berikut : Syekh Ismail dari Mekkah datang untuk masuk ke Sumatra untuk mengislamkan daerah Marah Silu, kemudian daerah tersebut berhasil diislamkan dan dikenal seorang raja mahsyur bergelar Syah yaitu Malikul Saleh sebagai raja pertama di Pase. Menurut Marcopolo hingga Ibnu Batutah, proses islamisasi di tanah Sumatra dan Jawa terjadi sejak tahun 1292 hingga 1416. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa, raja-raja Islam di Jawa dalam membangun sebuah keraton umumnya dilandasi oleh konsep kosmologi yang berlansgung sejak zaman pra Islam, konsep tersebut berupa keseimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Di dalam usaha menyelaraskan dunia kerajaan harus memiliki sebuah gunung buatan sebagai pusat jagad raya[vii].

Pengaruh Persia dalam Proses Islamisasi di Nusantara
            Peradaban Nusantara dibentuk dari keberagaman etnis, ras, agama dan budaya yang sudah berlangsung sejak ratusan ribu tahun lalu. Hal tersebut berlaku dalam corak Islam yang masuk ke kawasan Nusantara sejak zaman kerajaan Hindu-Budha. Salah satu bangsa yang cukup berpengaruh dalam corak keislaman di Nusantara adalah bangsa Persia. Pengaruh bangsa Persia dan India sangat dominan dalam mempengaruhi corak kehidupan masyarakat sekarang baik dalam bidang bahasa, sistem pengajaran Al Qur’an hingga sastra Islam berupa hikayat dalam bahasa Persia.

Bidang Bahasa
Sistem Pengajaran Al-Qur’an
Karya Terjemahan Bahasa Persia
Kanduri (kanduri)
Fathah : jabar
Qissa i Emir Hamza (Hikayat Amir Hamzah), mengisahkan kepahlawan Hamzah bin Abdul Muthalib, pama Nabi Muhammas SAW
Astana (istana)
Kasrah : jer / zher
Qissah Wassiyah al-Mustafa Il Imam Ali (Hikayat Nabi Mengajar Ali)
Bandar (pelabuhan)
Dhammah : pes / fyes
Qissah Amir Al- Mu’minin Hasan wa Husein (Hikayat Hasan dan Husein)
Bedebah
Huruf syin
Wafat Nameh (Hikayat Nabi Wafat
Biadab, bandar


Diwan (dewan)


Gandum, bius


Jadah (anak haram)


Syahbandar


Pahlawan


Kismis, medan


Takhta, firman



Menurut S.Q Fatimi dalam Islam Comes To Malaysia mencatat bahwa abad ke – 10 Masehi terjadi migrasi[viii] keluarga Persia ke Nusantara, diantaranya :
  1.  Keluarga Lor di Jawa, yang mendirikan desa Leran di Gresik, Jawa Timur
  2. Keluarga Jawani yang berada di Pasai, Sumatra Utara. Keluarga ini adalah penyusun “Khat Jawi” atau tulisan Jawi yang dinisbatkan kepada keluarga Jawani[ix]
  3. Keluarga Syiah, tinggal di Sumatra Timur yang kemudian daerah tersebut dinamakan sebagai negeri Siak
  4. Keluarga Rumai di Puak Saban Karah, Sumatra.

Masyarakat Persia yang memiliki madzhab Syiah banyak bermukim di kawasan tersebut kemudian meninggal dunia meninggalkan batu nisan bertuliskan Arab yang ditujukan untuk menghormati Imam Syiah Husein bin Ali bin Abi Thalib. S.Q Fatimi menjelaskan bahwa jenis tulisan Kufi pada nisan di makam sekitar makam Fatimah Binti Maimun[x] di Gresik berisi doa dari golongan Syiah.
          Ada beberapa pendapat mengenai masuknya Islam di Nusanatara yang lebih tua dari perkiraan abad ke 12 Masehi. Professor Abu Bakar Atjeh menunjukkan lwewat catatan H,M Zainuddin dalam kitab Tarikh Aceh mengatakan : “Bahwa beberapa nama penyair pertama yang lebih dahulu datang di Pase bersama armada kapal yang dipimpin oleh seseorang bernama Zahid. Ia adalah komandan armada Persia yang terdiri dari 33 buah kapal dari perjalanan ke Tiongkok, beberapa kapalnya singgah di pesisir tanah Aceh (Andalas Utara) dalam abad pertama Islam (82 H = 717 Masehi)[xi].
       Daftar dari Tengku M. Yunus Jamil dalam pekan kebudayaan Aceh di Kutaraja Tahun 1958 mengenai silsilah raja-raja Perlak. Seorang Sayid Quraisi menikahi putri Perlak hingga menurukan keturunan enam raja pertama Perlak yang semuanya memiliki gelar Syah. Dr. KH J. Cowan dalam karangannya A Persian Inscription In North Sumatra menetapkan bahwa adanya kuburan seorang ulama Iran besar yaitu Hasan Kahir bin Al Amir Ali Istrabadi meninggal dunia pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 833 H. Beberapa tokoh wali seperti Syaikh Subakir berasal dari Persia, sedangkan Maulana Malik Ibrahim adalah wali dari Iran asal Kashan[xii]. Namun, disisi lain sejumlah tradisi Jawa tidak menyebutkan Maulana Malik Ibrahim sebagai salah satu dari anggota Wali Songo[xiii].

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah 
  1. Islam masuk ke Nusantara dari Aceh[xiv]
  2. Penyiar Islam tidak hanya dari Gujarat, adanya mubaligh-mubaligh Islam dari bangsa Arab termasuk Persia
  3. Madzhab pertama yang dipeluk di Aceh adalah Syiah dan Syafi’i.
Disisi lain, Belanda mempunyai alasan mengenai kontribusi orang Gujarat dari India dalam proses Islamisasi di Nusantara sebagai berikut :
  1. Hubungan dagang yang sudah berkembang sejak zaman kerajaan Salakanegara hingga Kerajaan Sriwijaya
  2. Gujarat adalah pelabuhan penting
  3. Batu-batu nisan yang didatangkan dari Gujarat
  4. Nama-nama raja dengan gelar Syah dari Persia atau India
  5. Akulturasi budaya India dan Nusantara yang berlangsung harmonis tanpa merusak kebudayaan setempat
  6. Madzhab Syiah dan ajaran Wahdahtul Wujud dalam ilmu tasawuf.

Keberadaan pada pedagang Iran dan India seringkali berdagang ke kawasan jauh, salah satunya di pasar-pasar Banten Lama[xv]. Kawasan tersebut banyak terdapat pedagang Iran dan Khorasan menjual batu-batu berharga maupun obat[xvi].

Raja-raja Keturunan Syiah di Nusantara
            Van den Berg dalam bukunya “Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara” dijelaskan bahwa hasil dari proses kegiatan syiar keislaman adalah dari orang Arab golongan Sayyid maupun Syekh. Sayed Alwi bin Tahir Al-Haddad memberi komentar dalam kitabnya berjudul ”Perkembangan Islam di Timur Jauh”, ia menjelaskan bahwa agama Islam awalnya berkembang di daerah Sumatra kemudian menyebar hingga ke kawasan Malabar dan Koromandel. Banyak dari mereka adalah keturunan Sayyid atau Alawi yang memiliki garis keturunan langsung dari Rasulullah SAW.
       Dalam sejarah Serawak dikatakan bahwa Sultan Barakat berasal dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ‘A History of Serawak under Two Whit Rajabhs’. Selain Serawak, riwayat raja-raja di sekitar Mindanaou (Filiphina) dan Pontiakan masih terdapat silsilah dari keturunan Suku Al-Gadri. Mereka adalah keturunan Syarif Ali Zainal Abidin yang pindah dari Hadramaut ke Johor, dan berkembang di kawasan tersebut hingga sekarang.
            Sebagian raja keturunan Syiah di Nusantara juga banyak karena menyebutkan gelar Al-Malik atau Raja, seperti yang ada dalam kuburan Al-Malik Al-Kamil dalam Tahun 607 H atau 1210 Masehi. Al Haddad dalan terjemahan Indonesia oleh Dhiya Shabab mengataan bahwa sesudah Sultan Malik Asshaleh ini memerintah, anaknya yaitu Sultan Muhammad Al-Zahir dan seterusnya hingga anaknya bernama Sultan Ahmad bin Muhammad al-Zahir.
         Kuburan-kuburan di Aceh banyak ditemukan di Aceh, Meunasah, Blang Me, Pase, Samudra dan lain-lain. Al-Haddad berpendapat bahwa keluarga-keluarga seperti diatas inilah merupakan asal-usul raja-raja Brunei, Cermin Lama, Serawak, dan negeri-negeri lainnya yang takluk kepada kerajaan Islam Pase. Selain di Aceh, nama raja-raja yang disusun dalam sejarah pemerintahan Aceh terdapat juga gelar Sayyid dan Syarif seperti misalnya Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1702 M), Syarif Lam Tui (1702 – 1903 M), dan Syarif Syaiful Alam (1815 – 1820 M) juga tertera nama golongan ahlul bait yang ikut memerintah.
         Salah satu contohnya adalah di Palembang dengan silsilah yang panjang seperti Tuan Fakih Jamaluddin yang dimakamkan di Talang Sura (1161 M). Nama lengkap beliau adalah Syaikh Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad seterusnya hingga Sayyidina Hisain. Dalam silsilah keturunannya, ia mempunyai tujuh orang anak salah satunya adalah Zainul Akbar. Zainul Akbar adalah orang yang menurunkan raja-raja Kasultanan Palembang hingga dua tokoh walisongo seperti Prabu Satmata (Sunan Giri) yang berkedudukan di Giri Kedaton, Gresik dan Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang berkedudukan di kampung Ampel, Surabaya.
       Banyak orang Persia keturunan Ahlul Bait yang bercampur dengan darah raja-raja di Nusantara baik di Malaysia hingga Nusantara, baik kerajaan di Borneo, Sulawesi, Maluku[xvii] hingga ke Jawa. Tokoh Wali Songo yang dianggap sakral banyak memiliki garis keturunan yang bersumber langsung dari keturunan Rasulullah SAW, ditambah lagi dengan sultan dari zaman kerajaan Mataram Islam saat masa pemerintahan Sultan Agung.


[i] Pulau Jawa adalah sebuah negeri yang sangat besar, negeri yang dimulai dari Cirebin (Choroboam) hingga Blambangan (Bulambaum). Tom Pires, 2015, Suma Oriental Karya Tom Pires : Perjalanan dari Laut Merah ke Cina, Ombak : Yogyakarta. Halaman : 242.
[ii] Agus Sunyoto, 2016, Atlas Walisongo, Pustaka Mizan : Bandung, halaman : 14
[iii] Ibid, halaman : 19
[iv] Abu Bakar Atjeh, 2017, Sejarah Syiah di Nusantara, Sega Arsy : Bandung, halaman : 18
[v] Menurut Van Leur, perdagangan di India lebih dahulu bila dibandingkan dengan perdagangan di Cina, hal ini diperkuat dengan berkembangnya pelabuhan di pantai India sebelum pantai di Cina Selatan.
[vi] Hasil penelitian dari Alan Gilbert dan Joseph Gugler membuktikan bahwa mayoritas migran yang ditanya selalu menjawab bahwa prospek ekonomi perkotaan lebih baik dibandingkan dengan pedesaan. Alan Gilbert & Joseph Gugler, 1996, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, Tiara Wacana : Yogyakarta, halaman : 60.
[vii] R. Von Heine Geldorn, 1982, Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara, Terjemahan Deliar Noor. CV Rajawali Press : jakarta, halaman : 7.
[viii] Menurut van Leur dalam buku Indonesia Trade and Society, migrasi kaum pendatang sangat bergama salah satunya dalah kolonialisasi oleh keompok yang lebih besar, atau gelombang migrasi yang disebut sebagai eksodus. Perdagangan adalah alat tawar menawar politik kepada puenguasa setempat tanpa adanya perlawanan sama sekali sehingga berhasil memunculkan pemukiman yang memiliki kekuataan administrasi dan hukum yang kuat. Disisi lain, hubungan dagang maupun politik dengan para pedagang asing dari kawasan timur jauh sangat berperan penting dalam proses gelombang eksodus dari kawasan tertentu. Restu Gunawan dkk, 1999, Ternate sebagai Bandar Jalur Sutera, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia : Jakarta, halaman : 6.
[ix] Agus Sunyoto, 2016,  Atlas Walisongo, Pustaka Mizan : Bandung, halaman : 50 - 51
[x] Batu Nisan tersebut ditulis dalma bahasa Persia lama, Fatimah binti Maimun dalam tahun 475 H atau 1082 – 1083 Masehi.
[xi] Abu Bakar Atjeh, Sejarah Syiah di Nusantara, Sega Arsy : Bandung, halaman : 40
[xii] Ibid, halaman : 64
[xiii] RA Kern menyebtukan bahwa prasasti pada makam Maulana Malik Ibrahim tidak hanya seornag Persia aja, melainkan peganag yang terhormat yang bisa dilihat dari bentuk makamnya yang indah. Lihat Titis Eddi Aryani, 1995, Historiografi Indonesia : Sebuah Pengantar. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, halaman : 63.
[xiv] Dahulu, Aceh adalah bentuk dari eksistensi kerajaan Islam Lamuri, akhir abad ke – 15 pusat kerajaan Lamuri kemudian dipindahkan ke Meukuta Alam yang berada di Banda Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah, Kesultanan Aceh Darussalam berhasil menjadi pusat peradaban Islam di Asia Tenggara pada abad ke  - 16. Zaenuddin H.M, 2014, Asal-Usul Kota-koya di Indonesia Tempoe Doeloe, Change Publisher : Jakarta, halaman : 14-15.
[xv] Area perdagangan dan produksi berada di luar benteng kota dan berdekatan dengan kawasan pelabuhan. Claude Gulliot, Banten : Sejarah Peradaban Abad ke X – XVII. Kepustakaan Populer Gramedia : Jakarta, halaman 224.
[xvi] Terjadinya ledakan permintaan akan hasil bumi Asia Tenggara khususnya terjadi akibat dari masa kemakmuran atau toleransi perdagangan di Cina, yang berpengaruh terhadap stok tanaman obat. Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Waktu Niaga 1450 – 1680 : Jaringan Perdagangan Global, Yayasan Obor Indonesia : Jakarta, halaman : 14.
[xvii] Menurut tradisi lockal pada abad ke XIV yang diceritakan oleh Molomatje penguasa Ternate kedua belas (1350 – 1357), ia telah bersahabat dengan seorang Arab yang memberikan pelayaran kapal. Di Tidore ada penguasa muslim bernama Hasan Shah, pada masa pemerintahan Zainal Abidin ia mengirimkan banyak pedagang Islam yang belajar ke pesantren Giri (Prabu Satmata/Sunan Giri). Restu Gunawan dkk, 1999, Ternate sebagai Bandar Jalur Sutera, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia : Jakarta, halaman : 23.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar