Kamis, 27 Desember 2018

Konflik Pribumi melawan Tionghoa di Kudus Tahun 1918


Resume Buku : "Bakar Pecinan" Konflik Pribumi melawan Tionghoa di Kudus Tahun 1918
Oleh : Yuwana Galih Nugrahatama S.S

Buku Bakar Pecinan karya Masyhuri, Skripsi Sarjana
Sumber : Dokumentasi Pribadi
 
            Konflik antaretnis merupakan salah satu hal yang bisa ditemukan di sebuah negara majemuk, termasuk Hindia Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Latar belakang terjadinya konflik biasanya akibat masalah kesenjangan ekonomi, keagamaan, maupun kepentingan politik, tak luput juga politik pecah belah atau devide et impera untuk mengatur kekuasaan penguasa lokal agar dapat menguasai kekayaan alam hingga legitimasi kekuasaan. Penulisan sejarah lokal menurut Sartono Kartodirdjo merupakan langkah strategis dalam menentukan penulisan sejarah Nasional.
            Resume kali ini, mengangkat mengenai konflik antaretnis yang terjadi di kota Kudus tahun 1918 karya Masyhuri, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang berfokus kepada sejarah sosial ekonomi di Indonesia. Akar konflik yang terjadi di kudus tahun 1918 merupakan gabungan antara sentimen keagamaan yang dibawa oleh organisasi Sarekat Islam Kudus dengan golongan Tionghoa yang memiliki bisnis rokok kretek di kota Kudus, disamping masyarakat pribumi yang diwakili oleh para Haji juga mempunyai usaha rokok kretek seperti “Nitisemito”. Pertumbuhan industri kretek di kota Kudus pada awal abad ke – 20 antara pengusaha pribumi dan Tionghoa dijelaskan secara jelas di dalam karya Lance Castles yang berjudul Religion, Politics and Economic Behaviour in Java : The Kudus Cigarette Industry (1967). Ada juga karya Tan Boen Kiem mengenai Perosoehan di Koedoes tahun 1920 namun tanpa penjelasan kritis mengenai peristiwa tersebut. Karya Sartono Kartodirdjo berjudul Protest Movement in Rural Java (1973) juga menjadi referensi dalam mencari tahu akar pergerakan protes petani Jawa.
            Kota Kudus dalam sejarah perkembangannya merupakan salah satu kota muslim yang berkembang pesat semenjak berdirinya kerajaan Islam Demak di pulau Jawa. Morfologi kota-kota muslim di Indonesia menurut Uka Tjandrasasmita mengadopsi morfologi tata kota pada masa Hindu – Budha, struktur masyarakat di kota pesisir tampak pada banyaknya pemukiman pedagang asing yang berasal dari beberapa kawasan di Asia seperti : India, Gujarat, Persia, Arab, hingga kawasan Timur Jauh. Kota Kudus  juga memiliki tata kota keraton Jawa yang memiliki alun-alun, adanya masjid Kudus sebagai Simbol keagamaan, dan keberadaan pasar sebagai simbo ekonomi. Salah satu tokoh yang berperan membangun kota Kudus adalah Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq, disamping adanya tokoh mubaligh Tionghoa bernama Kyai Telingsing.

Peta Kudus Tahun 1915
Sumber : maps.leiden.edu

            Memasuki abad ke – 18, Kudus mulai dibawah pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya empat kawedanan yaitu : Kudus Kota, Cendono, Undaan, dan Tenggeles. Struktur masyarakat Kudus sendiri terdiri atas : Eropa, Timur Asing atau oosterlingen (Arab dan Tionghoa), dan bumiputera. Kondisi semacam ini adalah gambaran kebijakan pemerintah kolonial dalam mengatur pemukiman berdasarkan ras atau suku bangsa, yaitu passen stelsel dan wijken stelsel tahun 1870 di beberapa kota pesisir maupun pedalaman. Struktur penduduk pada masa pendudukan Jepang berubah seketika dan menempatkan masyarakat Eropa berada di paling bawah.
            Golongan Eropa di Kudus memegang kekuasaan dalam bidang politik dan ekonomi paling atas, golongan timur asing banyak menempati kegiatan perekonomian baik Arab dan Tionghoa di pusat kota. Kawasan pesisir merupakan penghubung antara kawasan pedalaman baik melalui sungai hingga jalan setapak, untuk nantinya dikirim melalui bandar pelabuhan di kota Semarang. Golongan pribumi sendiri ada yang menjadi elit lokal seperti priyayi, elit agama seperti kyai hingga wong cilik yang bekerja sebagai buruh hingga petani. Mayoritas kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kudus adalah Islam, disamping kepercayaan lainnya.
                Gambaran politik pada masa abad ke – 20 di Kudus dimulai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo maupun Sarekat Islam. Namun, organisasi Sarekat Islam justru berkembang pesat akibat sentimen keagamaan yang kuat, disamping kepentingan ekonomi berupa persaingan antara pengusaha kretek pribumi dengan pengusaha Tionghoa. Sarekat Islam Kudus didirikan oleh beberapa pengusaha kretek dan bantuan Bupati Kudus K.R.A.A Cokronagoro dan Patih Wedono Kota Marto Sudirdjo, jumlah keanggotaan awal sebesar 557 orang. Tahun 1918, jabatan ini dipegang oleh H. Jufri salah satu pengusaha kretek di Kudus.
Salah satu rumah kembar milik Nitisemito, Raja Kretek Kudus
sumber : https://jejakbocahilang.wordpress.com/2015/03/14/kisah-nyaris-terlupakan-raja-kretek-nitisemito/

Omah Kapal kondisi Utuh milik keluarga Nitisemito
Sumber : seputarkudus.com/2013/08/nitisemito-radja-rokok-kretek-asal_4213.html

Kondisi terakhir Omah Kapal
Sumber : seputarkudus.com/2013/08/nitisemito-radja-rokok-kretek-asal_4213.html
Awalnya SI Kudus bergerak untuk memajukan kualitas hidup secara spiritual maupun material, namun dalam perkembangannya hanya berfokus kepada bidang agama saja dan tidak aktif di bidang ekonomi. SI Kudus juga berperan membangun madrasah pertama tahun 1915 bernama Muawanattul Muslim dan tahun 1918 melakukan pemugaran kompleks masjid Menara Kudus. Sampai pada tahun 1918, masyarakat Islam di Kudus terbagi menjadi dua kelompok yaitu : mereka yang tergabung ke dalam SI Kudus maupun mereka yang berfokus kepada organisasi lain semisal Perkumpulan Kaum Buruh dan Tani atau PKBT. PKBT berisi eks anggota Komite Balatentara Kandjeng Nabi Muhammad seperti Surorejo dan Zaid Muhammad dan terpengaruh oleh aksi Semaun di Sarekat Islam Semarang.
Sepak terjang PKBT cukup radikal di Kudus, salah satunya adalah propaganda anti kapitalis di kalangan penduduk pribumi seperti : penghapusan lumbung-lumbung desa, membagi harta lumbung desa, penghapusan retribusi pasar. Namun disisi lain, ada kelompok pengusaha lokal yang memiliki pengaruh besar dalam bidang ekonomi, sosial, maupun agama. Mereka adalah pengusaha kretek : Kyai Nurhadi, H. Ali Sadikin, H. Jufri, dan H. Rahmad. PKBT sendiri hanya berfokus kepada perbaikan nasib rakyat dan kemandirian perekonomian rakyat melalui jalan revolusioner.
Prasangka menuju prahara tahun 1918 sebenarnya berasal dari masalah persaingan usaha rokok kretek antara pribumi dan Tionghoa. Hal ini dibuktikan dengan adanya pemalsuan merk oleh oknum Tionghoa yang menyamarkan merk dagangnya menjadi Haji. Disisi lain, pengusaha Tionghoa terkenal memiliki jaringan kuat sesama etnis. Pengusaha kretek lokal juga memiliki keuntungan dalam jaringan, lebih tepatnya menjadi jajaran pengurus Sarekat Islam Kudus.
Prahra tahun 1918 pecah ketika adanya provokasi yang dilakukan oleh oknum Tionghoa berpakaian Haji saat pawai sebagai usaha untuk menolak penyakit Influenza yang melanda kota Kudus, pawai melewati masjid menara Kudus dan melewati perkampungan Tionghoa di Kudus Kulon dekat masjid Menara. Menurut catatan Tan Boen Kim, Pawai ini disponsori oleh beberapa pengusaha kretek Tionghoa. Arak-arakan mengarak Toa Pek Kong keliling, beberapa penampilan diisi oleh orang Tionghoa yang memakai pakaian adat, ada juga yang memakai pakaian haji namun ditemani dua perempuan yang berpakaian nakal dengan naik pedati.

Minaret en Moskee van Koedoes 1920Menara masjid Kudus tahun 1920
Sumber : Troopenmuseum.nl
 
Situasi menjadi tak kondusif saat memasuki kawasan kompleks masjid Menara Kudus, pawai orang Tionghoa menabrak sebuah gerobak dorong yang sedang mengangkut batu untuk perbaikan masjid dari Kali Gelis hingga akhirnya menabrak akibat tidak ada yang saling mengalah satu sama lain. Pada saat yang sama, kerumunan orang yang menonton pawai mulai berdatangan. Keributan memuncak ketika H. Sanusi dipukuli oleh seorang Tionghoa. Serentak kerumunan pribumi mulai bertertiak hingga meneriakkan “Jaa Rasulullah Sabil”. Kamis tanggal 31 Oktober 1918 merupakan malam mencekam dimana beberapa oknum dan penjarah mulai menyerang pemukiman dan toko-toko milik Tionghoa walaupun jalan damai sudah diupayakan oleh keuda belah pihak. Teriakan “Ayo wong Islam maju, Omahe dibongkar, pateni wong Cino”. Massa yang menyerang pemukiman dan toko-toko berjumlah 1.500 – 2.000 orang dengan segala macam persenjataan
Tak hanya merusak rumah dan toko milik Tionghoa, beberapa rumah milik orang pribumi yang terletak di daerah kerusuhan juga ikut terbakar dan dijarah oleh oknum tak bertanggung awab. Akhirnya konflik berakhir ketika pemimpin massa Islam menjadi tenang dan mulai menolong para korban kerusuhan, ada juga masyarakat Eropa ikut mencegah perusakan namun dicegah oleh kontroleur. Polisi Pemerintah mulai datang dan sebagian dari mereka yang merampok dan menjarah melarikan diri di kawasan pemukiman Tionghoa. Akibat dari kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa melarikan diri ke tempat lain, terutama Semarang. Masyarakat Tionghoa di kota lain bahu membahu mendirikan sebuah posko bernama Kudus Fonds di kota-kota seperti Semarang, Batavia, Surabaya, dan lain-lain. Kerugian material akibat kerusuhan ini mencapai ratusan ribu golden.
Konlfik di Kudus antara golongan pribumi dan golongan Tionghoa merujuk kepada suatu konflik kompleks, berawal dari persaingan ekonomi dan sosial hingga berakhir kepada sentimen etnis maupun keagamaan. Pada peristiwa di Kudus ini, faktor sentimen keagamaan menjadi titik singgung bertemunya berbagai faktor yang secara bersamaan dan meledak ke permukaan seperti halnya erupsi gunung berapi. Kemajemukan merupakan sebuah karunia sekaligus sebuah masalah apabila tidak ditangani dengan baik oleh sebuah pemerintah suatu negara maupun bangsa. Satu pernyataan yang pantas diingat adalah : Ilmu Pengetahuan tanpa Agama adalah pincang, Agama tanpa Ilmu Pengetahuan adalah Buta.

Kamis, 06 Desember 2018

Sidayu: Jalan Pos Daendels hingga Kanjeng Sepuh


Penelusuran Sidayu dan Jejak Kanjeng Sepuh

Sejarah Singkat Sidayu
            Sidayu atau Sedayu, kota ini dikenal di Jawa Timur sebagai salah satu kota kecamatan di Gresik. Kawasan Sidayu berlokasi 24 km dari pusat kota Gresik dan berada di jalur utama pantai utara Jawa atau Pos Daendels. Kondisi jalanan Sidayu pada masa lampau masih berupa jalan setapak, sesuai apa yang digambarkan oleh Pramudya Ananta Toer. Sidayu berkembang menjadi salah satu bagian penting dalam jalur Pos Daendels di Jawa Timur. Jauh sebelum pemerintah kolonial Hindia Belanda, Sidayu adalah salah satu kawasan pelabuhan ramai sejak zaman imporium kuno[i]. Kawasan pesisir Sidayu lama sendiri dulunya dekat dengan delta sungai Bengawan Solo sebelum akhirnya dipindah ke kawasan sekarang akibat sering terkena banjir besar saat musim penghujan[ii].
            Sidayu lama banyak dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai kawasan di dunia, menurut uraian para pengunjung Portugis & Belanda yang pertama, kebanyakan kota pelabuhan Jawa pada abad ke XVI dan awal abad ke XVII diperkuat dengan kubu-kubu pertahanan, pagar bertiang atau tembok; Demikian diceritakan tentang Demak, Jepara, Cirebon, Banten, Pati, Tuban, Sidayu, Gresik, Surabaya[iii], Arosbaya (Madura), Wirasaba dan Pasuruan;Sesudah abad XVI diperbaiki dan diperluas[iv]. Menurut Tome Pires, Pate Zainall penguasa Gresik memiliki kerabat yang lebih tua maupun sahabat para penguasa Islam[v] di Sidayu, Jepara (Pate Unus), dan Demak (Pate Rodim)[vi]. Badri Yatim mengatakan bahwa banyak orang kafir di sepanjang pesisir utara pulau Jawa, namun banyak pedagang atau saudagar muslim dari : Persia, Arab, Gujarat, Bengali, dan Melayu; Mereka mulau berdagang, menjadi kaya, dan mendirikan pemukiman[vii].
            Saat Islam mulai masuk ke kawasan pesisir utara Jawa pada abad ke – 15, pola perkotaan di pulau Jawa mulai bergeser dari kota pedalaman (agraris) menjadi kota pesisir yang berorientasi perdagangan komoditas ekspor. Hal tersebut didukung dengan adanya kemajuan teknologi navigasi pelayaran dan dibukanya terusan Suez. Pola tata kota Sidayu merupakan pola kota Islam dimana adanya sebuah alun-alun, keraton, masjid, hingga pasar[viii]. Penguasa tinggal di sebuah keraton serta penduduk tinggal di beberapa kampung yang dihuni oleh beragam etnis.
            Saat memasuki masa pemerintah kolonial hindia Belanda, Sidayu menjadi sebuah Kadipaten yang berdiri sendiri sejak tahun 1675 M, dipimpin oleh seorang Adipati dibawah pimpinan Residen Surabaya. Sidayu telah dipimpin oleh 10 adipati diantaranya :
  1. Raden Kromodjojo
  2. Adipati Probolinggo
  3. Raden Kanjeng Sowargo
  4. Raden Kanjeng Sido Ngawen
  5. Raden Kanjeng Sido Banten
  6. Kanjeng Kudus
  7. Kanjeng Djoko
  8. Kanjeng Sepuh
  9. Kanjeng Pangeran
  10. Kanjeng Badru
Silsilah Kanjeng Sepuh Sidayu
Sumber : https://www.inigresik.com/2015/06/silsilah-kanjeng-sepuh-sidayu-pangeran-Haryo-Suryodiningrat.html


Salah satu adipati terkenal yang membangun Sidayu sampai saat ini adalah Adipati Kanjeng Kyai Sepuh (Kyai Panembahan Haryo Soeryodiningrat). Beliau memerintah sejak tahun 1816 – 1855 M, ia dikenal sebagai ahli strategi dan pelindung rakyat. Berdasarkan silsilahnya, beliau merupakan keturunan dari Mangkunegara III di Solo, Jawa Tengah dan masih memiliki silsilah dengan raja Amangkurat I[ix]. Makam Amangkurat I sendiri kini berada di Kabupaten Tegal, Jawa Barat. Amangkurat I dikenal menurunkan para tokoh ulama dan mubaligh ulung seantero Jawa.
            Saat memasuki masa pemerintahan Daendels, Sidayu mulai dibangun jalur pos berupa jalan setapak sehingga membuat posisi alun-alun bergeser mengikuti pola jalan. Sidayu adalah satu-satunya kota yang bertolak belakang terhdap tata kota Islam di Jawa setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. posisi alun-alun sekarang berada di sebelah timur jalan pos Daendels Gresik – Sidayu – Tuban. posisi masjid agung  berada di sebelah utara alun-alun sedangkan pasar berada di sebelah timur laut/selatan dari alun-alun. Posisi tempat peribadatan atau keraton berada di sebelah utara dari alun-alun. Sebelah timur alun-alun adalah gedung Kawedanan Sidayu, atau lebih tepatnya pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sidayu.

Jejak Peninggalan Adipati Kanjeng Sepuh
            Penjelajahan kali ini, saya ditemani oleh komunitas Timur Lawu dan beberapa peserta lainnya dalam kegiatan “Jelajah Lamongan dan Sidayu” selama kurang lebih dua hari. Bekas peninggalan Kanjeng Sepuh dan pendahulunya rupanya cukup mudah ditemukan di kawasan pusat kota diantaranya :
  1. Pasujudan Kanjeng Sepuh di sebelah utara SMP 1 Sidayu
  2. Bekas Sekolah Rakyat atau Sekolah angka loro, kini menjadi SD 1 Sidayu
  3. Beberapa rumah bergaya Eropa peninggalan orang Eropa, dimiliki oleh mantan juragan sarang burung walet
  4. Masjid Kanjeng Sepuh Sidayu, ada makam sahabat Residen van den Poel
  5. Gedung eks Kawedanan Sidayu, kini menjadi dinas pendidikan Sidayu sebelum dipusatkan ke kota Gresik
  6. GOR Raden Kromo Widjojo
  7.  Kuburan Islam di sebelah tenggara telaga Kanjeng Sepuh
  8. Telaga Kanjeng Sepuh
  9. Ada beberapa makam orang Tionghoa maupun tokoh penyebar Islam Sidayu di beberapa kawasan Sidayu dan sekitarnya

Tempat pertama yang dikunjungi adalah gedung eks Kawedanan Sidayu[x], bangunannya sendiri memiliki gaya arsitektur Eropa, ini ditandai dengan adanya pintu dan jendela besar. Gedung ini digunakan dalam rangka kegiatan pemerintahan Kawedanan yang dipimpin oleh seorang Adipati di Sidayu. Beberapa bagian dalam gedung ini masih tampak asli, hanya saja bagian luar sudah ditambahkan dengan tiang baru. Gedung ini sekarang ditempati oleh eks dinas pendidikan Sidayu sebelum dipindahkan ke dinas pendidikan Gresik.

Gedung eks Kawedanan Sidayu dari Depan
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Pintu Besar seperti Rumah Eropa pada Umumnya
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Bergeser ke arah utara kita dapat menemukan bekas pasujudan Kanjeng Sepuh Sidayu, bangunan ini merupakan bekas tempat peribadatan Kanjeng Sepuh. Kondisinya kini cukup memprihatinkan. Bangunan ini diduga merupakan sebuah langgar atau masjid khusus untuk keluarga kanjeng Sepuh, bentuk fisik dari keraton Sidayu sudah tidak ada. Bangunan ini sekarang berada dalam perlindungan dan pengawasan BPCB Jawa Timur.
Bangunan Pasujudan dari depan, kondisi terakhir seperti ini
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Tampak dari depan, sudah diberi kanopi pelindung
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Kawasan Sidayu sendiri juga tidak luput dari program politik Etis yang dicetuskan oleh van Deventer yaitu di bidang pendidikan[xi]. Disisi lain, konsep pendidikan yang dibawa oleh Tan Malaka cukup unik yaitu : 1. Pendidikan memberikan senjata cukup buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb), 2. Memberi haknya murid-murid berupa kesukaaan hidup dengan jalan pergaulan atau vereniging, 3. Menunjukkan kewajiban kelak terhadap berjuta-juta kaum kromo atau wong cilik[xii]. Keberadaan salah satu bekas sekolah rakyat di Sidayu sendiri masih ada dan salah satu bangunan lamanya dalam kondisi tidak terawat. SD 1 Sidayu dulunya merupakan bekas sekolah rakyat atau menurut masyarakat setempat disebut sebagai sekolah angka loro[xiii]. Uniknya lagi, banyak ditemukan siswa dari etnis Tionghoa. Masyarakat Tionghoa di Sidayu banyak bekerja sebagai pedagang[xiv], eksistensi mereka sudah ada sejak berdirinya pemukiman pedagang di kawasan Sidayu, Tuban, maupun Gresik.
 
Bangunan lama gedung SD 1 Sidayu
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Kondisi di dalam gedung lama, tampak meja lama yang menyatu dengan kursi
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Buku Induk Murid SD 1 Sidayu, kondisinya mulai rusak
Sumber : Dokumentasi Pribadi



Beberapa nama siswa Tionghoa di SD 1 Sidayu
Sumber : Dokumentasi Pribadi


            Setelah selesai berkeliling kawasan SD 1 Sidayu, kami melanjutkan perjalanan ke bekas makam Islam di sebelah timur telaga Kanjeng Sepuh. Makam ini diduga merupakan bekas makam umum bercorak Islam baru setelah runtuhnya Majapahit, kondisi terakhir cukup mengenaskan dan hanya ada satu nisan yang terawat dengan baik[xv]. Rata-rata kondisi nisan sudah tidak dapat dibaca lagi akibat minimnya perawatan dan kurangnya kesadaran masyarakat setempat terhadap kompleks pemakaman tersebut.

Kondisi kompleks pemakaman, sisanya rusak
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Salah satu makam dengan kondisi cukup bagus
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Satu makam yang masih terawat dengan baik
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Kondisi makam yang sudah rusak terkena cuaca dan minim perawatan
Sumber : Dokumentasi Pribadi




            Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke telaga Kanjeng Sepuh, dibangun oleh Kanjeng Sepuh dalam rangka memenuhi kebutuhan air bersih di kawasan Sidayu dan sekitarnya. Menurut penuturan salah satu “kuncen” kantor eks Kawedanan Sidayu, telaga ini dulunya banyak ditemukan burung bangau bersarang di tempat ini, airnya sendiri juga tidak pernah surut meskipun saat musim kemarau. Keberadaan telaga di kawasan Sidayu yang notabene merupakan karst atau bukit kapur rupanya cukup memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat Sidayu dan sekitarnya saat belum masuknya teknologi sanitasi dan perbaikan kampung yang digaungkan oleh tokoh bernama W.F Tillema[xvi].
Telaga Kanjeng Sepuh, sumber airnya tidak pernah habis meskipun di musim kemarau
Sumber : Dokumentasi Pribadi

            Setelah selesai menjelajahi kawasan Telaga dan makan siang, kami bergegas menuju tujuan akhir masjid kanjeng Sepuh Sidayu. Saya menyempatkan waktu untuk mengunjungi kantor pos Sidayu maupun bekas rumah bergaya Eropa[xvii] milik salah satu juragan Walet dari Desa Bunderan. Sidayu sendiri dikenal sebagai sentra penghasil sarang burung walet terbaik se Jawa Timur, jauh sebelum kedatangan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Beberapa bangunan ada yang sudah beralih fungsi menjadi minimarket dan ada juga yang dibiarkan menjadi rumah saja, hak kepemilikan sendiri sudah beralih ke pihak ketiga. Bekas kantor pegadaian Sidayu yang memiliki angka tahun 1920 rupanya sudah dihancurkan dan berganti menjadi minimarket. Beberapa rumah lama yang dapat ditemukan berada di sebelah barat alun-alun di sebelah selatan jalur Daendels, beberapa diantaranya ada di sebelah selatan jalur Daendels menuju arah Gresik dan Surabaya dan dibiarkan saja tanpa perawatan lebih lanjut.

Rumah berangka tahun 1928, di depan gedung ini rumah berangka tahun 1898
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Bekas kantor pegadaian Sidayu yang kini menjadi minimarket
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Kantor Pos Sidayu, dibangun pada masa era Daendels abad ke 18
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Rumah bergaya Eropa milik juragan walet Sidayu, kini sudah berpindah tangan ke pihak ketiga
Sumber : Dokumentasi Pribadi

            Satu yang menjadi catatan penulis adalah keberadaan komunitas masyarakat Tionghoa di kawasan Sidayu[xviii], mereka bermukim di sekitar kawasan pasar Sidayu dan memiliki rumah bergaya langgam Tionghoa. Keberadaan mereka saat ini sudah mulai jarang ditemukan akibat kebijakan pemerintah orde baru dalam identitas Tionghoa[xix]. Banyak dari mereka bermigrasi ke Surabaya maupun tempat lain saat gejolak tahun 1965[xx]. Beberapa keberadaan makam Tionghoa atau bongpay berada di desa Pereng dan desa Ngawen.
Masjid Kanjeng Sepuh Sidayu, tampak dari belakang masjid
Sumber : Dokumentasi Pribadi

            Penjelajahan kali ini ditutup dengan mengunjungi salah satu bangunan masjid karya Kanjeng Sepuh Sidayu. Masjid ini memiliki gaya arsitektur Jawa dengan atap bertumpang tiga, serta menjadi pusat peribadatan umat muslim di Sidayu dan sekitarnya pada waktu itu. Keberadaan makam[xxi] di tempat ibadah merupakan simbol pengingat kematian sekaligus makam pendiri maupun tokoh Islam berpengaruh di suatu wilayah[xxii]. Serambi masjid Kanjeng Sepuh pada masa lalu digunakan sebagai tempat mengatur strategi politik hingga kegiatan keagamaan. Snouck Hungronje menjelaskan bahwa fungsi serambi masjid pada masa kolonial menjadi ruang pengadilan bagi sengketa-sengketa yang peradilannya dikuasai hukum agama seperti hukum perkawinan, kekeluargaan dan waris[xxiii].

Makam di belakang masjid Kanjeng Sepuh
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Pintu masuk Masjid Kanjeng Sepuh Sidayu
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Corak makam di sebelah barat masjid ini adalah Islam baru, beberapa diantaranya dipengaruhi oleh corak Majapahit yang ditandai dengan simbol surya Majapahit.
Makam Kanjeng Sepuh sendiri berada di bagian paling barat masjid, ada satu makam berbahasa Belanda, seorang sahabat karib dari Residen van den Poel bernama Raden Ario Tjokro Adi Negoro. Makam-makam ini sering dikunjungi oleh para peziarah, terutama pada malam Jum’at legi. Ada yang sekedar mendoakan hingga "ngalap berkah" agar mendapatkan kemudahan dalam urusannya.
Salah satu makam berbahasa Arab
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Makam Kanjeng Gresik
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Makam sahabat Residen van den Poel dalam bahasa Belanda
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Makam panjang di belakang masjid Kanjeng Sepuh
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Simpulan
Perjalanan kami akhiri pada pukul 1 siang, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Surabaya. Penelusuran kali ini rupanya cukup memberikan kesan luar biasa, Gresik notabene merupakan pusat pemerintahan kolonial sedangkan Sidayu sejak lama memiliki posisi strategis baik dalam hal maritim maupun sejak dibangunnya jalur pos Daendels pada abad ke - 18. Raden Kromodjojo memulai perannya sebagai Adipati Sidayu dan mencapai puncak kejayaan ketika diperintah oleh Kanjeng Sepuh. Tata kotanya memang bercorak keraton namun bertolak belakang tata letaknya akibat dibangun jalur pos.

Sumbangsih Kanjeng Sepuh rupanya cukup membuat Sidayu terkenal hingga saat ini, tidak hanya sebagai jalur pos, kawasan ini juga dipusatkan sebagai kegiatan syiar keislaman. Ini dibuktikan dengan keseriusan Kanjeng Sepuh membangun infrastruktur hingga masjid Kanjeng Sepuh, tak lupa juga berdiri banyak pesantren di kawasan Sidayu dan sekitarnya. Satu hal yang menjadi catatan penulis adalah keberadaan masyarakat Tionghoa di Sidayu, sampai saat ini belum ditemukan keberadaan klenteng besar seperti halnya di Gresik. Sayang sekali penulis tidak mengunjungi langsung beberapa makam Tionghoa yang berumur ratusan tahun.

Akhir kata, semoga menjadi pembelajaran kita bersama dan menjadi pekerjaan rumah berbagai pihak dalam menjaga warisan cagar budaya baik lokal maupun kolonial yang ada di kawasan Sidayu dan sekitarnya. Perjalanan saya kali ini ditutup dengan pemandangan gudang garam tradisional sepanjang jalan raya Sidayu - Gresik. Garam pantai utara Jawa sudah menjadi komoditas ekspor pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak VOC berkuasa dan memonopoli garam. Garam pantai selatan rupanya juga menjadi perlawanan ketika garam VOC merajai pasaran lokal hingga mancanegara.


Gudang garam milik PT Garam
Sumber : Dokumentasi Pribadi



[i] Pada abad ke 13 – 15, terjadi peningkatan perniagaan besar di Asia Tenggara terutama Jawa. Banyak pedagang dari India, Kamboja, Cina, Vietnam (Yawara), Campa, India Selatamn, Bengali, dan Siam. Masa tersebut adalah awal mula munculnya dia kawasan baru yaitu pemerintahan dan perdagangan. Lihat, Denys Lombard, 2005, Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2 : Jaringan Asia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[ii] Menurut Anderson, kota-kota di Jawa pada zaman prakolonial ibarat nyala bola lampu di malam hari. Pada hahekatnya tidak mempunyai batas administratif yang tetap, tergantung pada penguasanya. Penguasa Jawa pada masa tersebut masih menganut kota mandala peninggalan Hindu-Budha, pusat kota dan pemerintahan adalah keraton sedangkan kawasan pesisir dan bandar pelabuhan haya dijadikan sebagai pusat perdagangan saja. Rully Damayanti & Handinoto, 2005, Kawasan Pusat Kota dalam Sejarah Perkembangan Kota di Jawa, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Universitas Petra Surabaya, Volume 33 No 1, halaman : 34 – 42.
[iii] Mataram adalah kerajaan hindu agraris, Surabaya mungkin benteng pertahanan terakhir sisa-sisa kekuatan Demak di Jawa Timur. Lihat Muhamamd Misbachuddin, 2009, Konflik Antara Kerajaan Isam di Pesisir vs Islam Pedalaman Tahun 1620 – 1636, Skripsi, Fakultas Ushluhuddin Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, halaman : 2.
[iv] H.J de Graaf dan T.H Pigeaud, 1986, Kerajaan Islam Pertama di Jawa : Peralihan dari Majapahit ke Mataram (Kajian Sejarah Politik Abad ke 15 – 16), Grafitii Pers : Jakarta, halaman : 79
[v] Para penguasa Islam memiliki koneksi dengan para wali, mereka memiliki jaringan sosial yang luas dengan sesama wali, para penguasa, dan pedagang kaya di kota-kota pelabuhan di daerah pesisir utara Jawa. Nengah Bawa Atmaja, 2010, Genealogi Keruntuhan Majapahit, Pustaka Pelajar : Yogyakarta, halaman : 4.
[vi] Ibid, halaman : 161
[vii] Badri Yatim, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Grafindo Press : Jakarta, halaman : 198
[viii] Menurut Daldjoeni, tata ruang kota-kota di Jawa pada umumnya memiliki kesamaan satu dengan lainnya, tidak lepas dari budaya Jawa yang melekat sebagai identitas masyarakat Jawa. Daldjoeni, 2014, Geografi Kota dan Desa, Ombak : Yogyakarta, halaman : 18-19.
[ix] Amangkurat I atau Raden Mas Sayyidin adalah anak dari hasil perkawinan antara Sultan Agung dengan Ratu Batang, Prameswari yang kedua atau Ratu Wetan (keturunan Ki Juru Mertani), lahir tahun 1619 M. Tahun 1634 M ia kemudian dikawinkan dengan putri Pangeran Pekik bernama Ratu Kulon, lalu lahir anak bernama Raden Mas Rahmat. Lihat Rochmat Gatot Santoso & Harianti, 2016, Kebijakan Politik & Sosial Ekonomi di Kerajaan Mataram Islam pada Masa Pemerintahan Amangkurat I (1646 – 1677), Jurnal, Magister Pendidikan Sejarah Fakultas Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, halaman : 6-7.
[x] Kawedanan Sidayu membawahi 5 kecamatan yaitu : Sidayu, Dukut, Bungah, Ujung Pangkah, dan Pajek.
[xi] Tulisan van Deventer mengenai pendidikan dimuat dalam majalah de Gids pada tahun 1899 yang berjudul Een Eereschold yang berarti hutang budi. Namun pada kenyataannya, pelaksaaan sekolah pada masa politik etis bersifat diskriminatif, dipisahkan sesuai strata sosial dan ras. Sartono Kartodirdjo, 1976, Sejarah Nasional Jilid VI, Balai Pustaka : Jakarta, halaman : 14.
[xii] Tan Malaka, 2011, Serikat Islam Semarang dan Onderwijs : Sebuah Karya Tan Malaka tahun 1921, Pustaka Kaji : Jakarta, halaman : 22.
[xiii] Menurut G.H von Faber, Sekolah angka loro mempersiapkan berbagai macam pegawai rendah untuk kantor pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta. Masa studi sekolah ini adalah 3-5 tahun dengan bahasa pengantar Melayu dan Belanda. Lihat Gusti Muhammad Prayudi dan Dewi Salindiri, 2015, Pendidikan pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Surabaya Tahun 1901 – 1942, Jurnal Publika Budaya, Vol 1, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sosial Universitas Negeri Jember.
[xiv] Selain pedagang, masyarakat Tionghoa juga menyediakan jasa hotel maupun turisme pada masa kolonial Hindia Belanda. Lihat Achmad Sungayadi, Peran Kaum Tionghoa dalam Turisme Kolonial di Hindia Belanda, Jurnal, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
[xv] Arsitektur makam berkaitan dengan konsep masyarakat tentang kematian, arsitektur makam makam merupakan indikator tingkat kemajuan suatu masyarakat atau peradaban. Parlindungan Siregar, Seni Arsitektur Makam pada Masjid-masjid Kuno Jakarta : Pendekatan Arkeologi. Jurnal, Jurusan Seni Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, halaman : 5.
[xvi] Beliau merupakan lulusan apoteker di negeri Belanda pada tahun 1894 dan tinggal di Semarang dari tahun 1896 – 1914. Pemilik perusahaan air botol Hygeia dan Semarangsche Apoteek. Kampungweek adalah karya beliau mengenai arti penting kesehatan penduduk pribumi baik pedesaan maupun masyarakat urban.
[xvii] Orang-oran Eropa membuat rumahnya dengan mengadopsi iklim tropis dan gaya arsitektur setempat di Hindia Belanda. Lihat Djoko Sukiman, 2011, Kebudayaan Indis, Komunitas Bambu : Depok.
[xviii] Banyak kota-kota di Jawa diberi nama dalam bahasa Cina, namun tidak berkaitan dengan kata asli setempat. Contoh : Banten atau Xiagang, Tangerang atau Wendeng, Jakarta atau Yecheng, Demak atau Linmu, Gresik atau Cecun, Surabaya atau Sishu, dan Pasuruan atau Yanwang. Denys Lombard, 2005, Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2 : Jaringan Asia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman : 244.
[xix] Pemerintah orde baru mengeluarkan instruksi presiden No. 14 tahun 1967 mengenai pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat masyarakat Tionghoa dalam segala bidang kehidupan. Ririn Darani, Kebijakan Negara dan Sentimen Anti-Cina : Perspektif Historis, Jurnal, Pendidikan Sejarah Fakulas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta, halaman : 8.
[xx] Pada masa demokrasi terpimpin (1959 – 1965), pemerintah melakukan tindakan represif, panglima militer setempat  mengeluarkan peraturan bahwa orang Tionghoa tidak boleh tinggal di desa dan melarang kegiatan ekonomi hingga berujung kepada peraturan PP No. 10 November 1959 dan melahirkan sistem benteng. Leo Suryadinata, 2002, Negara dan Etnis Tionghoa : Kasus Indonesia, LP3ES : Jakarta, halaman : 90.
[xxi] Makam di Jawa Tengah dan Timur persis di depan mihrab, makam di Jakarta ditempatkan pada posisi serong kiri atau kanan mihrab. Parlindungan Siregar, Seni Arsitektur Makam pada Masjid-masjid Kuno Jakarta : Pendekatan Arkeologi. Jurnal, Jurusan Seni Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, halaman : 10
[xxii] Dalam konsepsi adat, makam Islam disebut keramat apabila berlaku kepada makam penguasa atau tokoh berpengaruh dan didukung adanya kontinuitas kebudayaan megalitik dengan Islam. Sartono Kartodirdjo menjelaskan menhir dalam alam kepercayaan masyarakat megalithik berfingsi sebagai medium penghormatan, menjadi tahta, kedatangan roh, sekaligus lambang dari orang-orang yang diperingati. Wuri Handaka, 2014, Tradisi Menhir pada Makam-makam Kuno Raja-raja di Wilayah Hitu, Jurnal Balai Arkeologi Maluku.
[xxiii] Ashadi, 2012, Perkembangan Arsitektur Masjid Walisongo di Jawa : Perubahan Ruang & Bentuk. Jurnal Nalars, Volume 11, No 2, Juli, halaman : 151.