Kamis, 27 Juli 2017

Mitos Pribumi Malas

Mitos Pribumi Malas : Hilangnya Golongan Pedagang Pribumi



            Menurut sejarah, masyarakat Philipina, Jawa dan Melayu digolongkan sebagai golongan pedagang, namun lama-kelamaan keberadaan mereka hilang akibat adanya kolonialisme dan kapitalisme yang dibawa oleh bangsa Eropa. Prosesnya pun berawal pada pemulaan abad ke-16 dengan datangnya orang-orang Portugis hingga datangnya Belanda dengan VOC nya. Sebelum hancur dan musnahnya golongan pedagang tersebut, para pedagang Melayu dan Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 mempunyai pengaruh yang besar hingga mempunyai wilayah kegiatan dari India hingga kepulauan Maluku. Para pelaut dari Jawa diyakini sampai hingga ke Madagaskar. Namun lama kelamaan golongan pedagang Jawa ini musnah dikarenakan adanya larangan dari penguasa Mataram yang telah melarang orang Jawa berdagang di Jawa. Hal ini juga berlaku sama untuk masyarakat Melayu setelah penaklukan Malaka oleh Portugis maupun pengaruh kekuasaan Belanda. Dengan kata lain, golongan pedagang Jawa dan Melayu telah disingkirkan selama +- 3 abad lamanya. Golongan pedagang yang dimaksud diatas adalah komunitas pedagang yang mengimpor dan mengekspor komoditi atas dasar mandiri, menyediakan modal sendiri, membiayai transaksi, mengatur pengapalan secara besar-besaran, dan menggunakan kapal yang paling maju pada waktu itu yang digunakan untuk mencapai tempat-tempat yang jauh.
            Orang Jawa dan orang Melayu dikenal sebagai penjelajah dan pedagang yang handal pada waktu tersebut. Walaupun memakai kapal yang besar, orang-orang Melayu dan Jawa dari Banten dan Mataram mampu meloloskan diri dari blokiran/larangan pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Indonesia Timur. Kedah dan Perak merupakan tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh para pedagang tersebut. Kota Malaka menurut Duarte Barbosa merupakan kota pelabuhan terkaya dengan jumlah pedagang besar terbanyak dan penuh kegiatan pengapalan berserta perdagangan di seluruh dunia, diantaranya ada pedagang Melayu dan Jawa. Perahu-perahu mereka pun sangat berbeda dengan perahu Portugis maupun pedagang lainnya, dengan bahan terbuat dari kayu yang tebal. Perahu ini pun berisi beras, domba, sapi, babi rusa dan masih banyak lagi. Namun semenjak Malaka direbut oleh Portugis pada tahun 1511, kegiatan perdagangan berpindah ke daerah Indonesia Timur. Setelah runtuhnya Malaka, mereka pindah ke Makaasar, dan digambarkan sebagai negeri yang membebaskan dan mengizinkan perdagangan bebas dan terbuka. Hal ini berujung pada kemunduran dan tersisihnya golongan pedagang Melayu dan Jawa untuk melakukan perdagangan internasional secara mandiri maupun korelasi terhadap Eropa maupun yang bersangkutan.
          Komunikasi pedagang Melayu dan Jawa mempunyai bahasa tersendiri yaitu bahasa Melayu, bahasa ini dipakai ketika kontrak usaha dilakukan serta menjadi bahasa resmi dalam urusan diplomatik. Efektivitas perdagangan orang Melayu dan Jawa dapat dinilai dari kenyataan bahwa para pedagang asing sangat bergantung kepada mereka pada saat kegiatan pengapalan, hal tersebut juga diperkuat bahwa kedudukan orang Tionghoa sebagai perantara tidak sekuat golongan Melayu dan Jawa. Mereka dianggap sebagai pedagang biasa hingga lama-kelamaan kedudukan mereka di bawah golongan pedagang Jawa dan Melayu. Sebab golongan pedagang Tionghoa belum memiliki kedudukan penting di dalam perdagangan, maka orang-orang Melayu dan Jawa pada waktu itu memiliki kedudukan strategis di dalam bidang perdagangan, disamping itu mereka juga ahli dalam bidang pelayaran. Setelah kedatangan Belanda di Nusantara, kedudukan mereka mulai terusik dan dari pihak Belanda berusaha untuk menyingkirkan dan memusnahkan mereka dengan cara memonopoli perdagangan baik di Malaka maupun di Makaasar. Hal ini tidak akan terjadi jika mereka tidak pernah datang, maka kedudukan dan keberadaan dari kaum pedagang ini tidak akan pernah musnah.
            Keberadaan mereka mulai tersingkirkan dengan penghancuran negara dagang pesisir seperti yang dilakukan oleh Belanda ketika Perang Mataram, pada abad ke-17. Sebelum adanya campur tangan dari pihak kolonial Belanda dan zaman Mangkurat I, para pedagang Jawa sangat dibatasi oleh penguasa Mataram di dalam kegiatan perdagangan rakyat seperti berlayar ke luar negeri, salah satunya kegiatan ekspor dan impor dalam jumlah besar. Adanya perang yang terjadi di Mataram juga mengakibatkan banyak pedagang Jawa semakin banyak meninggalkan Mataram karena kondisi yang tidak kondusif, termasuk monopoli perdagangan yang dilakukan oleh kolonial Belanda di tanah Jawa khususnya Mataram. Selain pedagang Jawa, pedagang Melayu juga tidak luput dari usaha penyingkiran oleh pihak Belanda dengan mengadakan perjanjian antara Johor dan Perusahaan Belanda di dalam mengizinkan monopoli perdagangan beserta komoditi penting sepanjang pantai Siak, dan dengan jumlah yang tidak terbatas, perahu dan bebas dari pajak maupun cukai. Kawasan Riau mulai jatuh ke tangan Belanda akibat dari perjanjian yang dilakukan pihak Johor dengan pemerintahan kolonial Belanda pada waktu itu pada tahun 1749, sama nasibnya dengan Mataram.
Polik pecah belah atau devide et impera yang dilakukan oleh Belanda berhasil menyingkirkan pedagang Jawa maupun Melayu, alhasil VOC mulai menduduki peran penting dan muncul sebagai kekuatan tunggal yang paling hebat dengan hak occtroi nya. Kekuatan ini juga sangat berpusat dan bertahan sangat lama sampai para pecahnya perang dunia kedua. Pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, perubahan struktural mulai dirasakan oleh masyarakat, salah satunya yaitu di dalam struktur golongan pedagang ketika golongan pedagang mandiri mulai disingkirkan baik di Malaka maupun Mataram. Namun penyingkiran ini dilakukan berdasarkan kekuatan Belanda yang semakin meluas, dan menindas terus-menerus mengakibatkan keberadaan mereka atau pedagang Melayu dan Jawa mulai menyingkir. Disamping itu, monopoli mengesampingkan peran dan kedudukan para pedagang pribumi yang mandiri, tingkat tinggi, dan mempunyai akses ke luar negeri menjadi tidak berarti. Perubahan struktur dan susunan ekonomi pribumi menjadi kapitalisme dan liberalisme modern menghancurkan golongan pedagang dan sejumlah mata pencaharian.

            Walaupun sebenarnya kekuasaan pribumi umumnya lebih liberal dalam perdagangan, ia tidak menghancurkan golongan pedagangnya sendiri yang meliputi seluruh daerah, dan tetap menggunakan berbagai hasil industrinya sendiri. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah ketidakmampuan memaksakan “monopoli” di seluruh bagian kawasan penting di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar