Mitos Pribumi Malas : Hilangnya Golongan Pedagang Pribumi
Menurut sejarah,
masyarakat Philipina, Jawa dan Melayu digolongkan sebagai golongan pedagang, namun lama-kelamaan keberadaan mereka hilang akibat adanya kolonialisme dan kapitalisme yang dibawa oleh bangsa Eropa. Prosesnya
pun berawal pada pemulaan abad ke-16 dengan datangnya orang-orang Portugis
hingga datangnya Belanda dengan VOC nya. Sebelum hancur dan musnahnya golongan
pedagang tersebut, para pedagang Melayu dan Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 mempunyai pengaruh yang besar hingga mempunyai wilayah kegiatan dari India hingga kepulauan Maluku. Para pelaut dari Jawa diyakini
sampai hingga ke Madagaskar. Namun lama kelamaan golongan pedagang Jawa ini
musnah dikarenakan adanya larangan dari penguasa Mataram yang telah melarang orang Jawa
berdagang di Jawa. Hal ini juga berlaku sama untuk masyarakat Melayu
setelah penaklukan Malaka oleh Portugis maupun pengaruh kekuasaan Belanda.
Dengan kata lain, golongan pedagang Jawa dan Melayu telah disingkirkan selama +- 3 abad lamanya. Golongan pedagang yang dimaksud diatas adalah
komunitas pedagang yang mengimpor dan mengekspor komoditi atas dasar mandiri,
menyediakan modal sendiri, membiayai transaksi, mengatur pengapalan secara
besar-besaran, dan menggunakan kapal yang paling maju pada waktu itu yang
digunakan untuk mencapai tempat-tempat yang jauh.
Orang Jawa dan orang Melayu dikenal
sebagai penjelajah dan pedagang yang handal pada waktu tersebut. Walaupun memakai kapal yang besar, orang-orang Melayu dan Jawa
dari Banten dan Mataram mampu meloloskan diri dari blokiran/larangan pemerintahan
kolonial Hindia Belanda di Indonesia Timur. Kedah dan Perak merupakan
tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh para pedagang tersebut. Kota Malaka menurut Duarte Barbosa merupakan kota pelabuhan terkaya dengan
jumlah pedagang besar terbanyak dan penuh kegiatan pengapalan berserta
perdagangan di seluruh dunia, diantaranya ada pedagang Melayu dan Jawa.
Perahu-perahu mereka pun sangat berbeda dengan perahu Portugis maupun pedagang
lainnya, dengan bahan terbuat dari kayu yang tebal. Perahu ini pun berisi
beras, domba, sapi, babi rusa dan masih banyak lagi. Namun semenjak Malaka
direbut oleh Portugis pada tahun 1511, kegiatan perdagangan berpindah ke daerah
Indonesia Timur. Setelah runtuhnya Malaka, mereka pindah ke Makaasar, dan
digambarkan sebagai negeri yang membebaskan dan mengizinkan perdagangan bebas
dan terbuka. Hal ini berujung pada kemunduran dan tersisihnya golongan pedagang
Melayu dan Jawa untuk melakukan perdagangan internasional secara mandiri maupun
korelasi terhadap Eropa maupun yang bersangkutan.
Komunikasi pedagang Melayu dan Jawa mempunyai bahasa tersendiri yaitu bahasa Melayu, bahasa ini dipakai ketika kontrak
usaha dilakukan serta menjadi bahasa resmi dalam urusan diplomatik. Efektivitas perdagangan orang Melayu dan Jawa dapat dinilai dari kenyataan bahwa para
pedagang asing sangat bergantung kepada mereka pada saat kegiatan pengapalan, hal tersebut juga
diperkuat bahwa kedudukan orang Tionghoa sebagai perantara tidak sekuat golongan Melayu dan Jawa. Mereka dianggap sebagai pedagang biasa hingga lama-kelamaan
kedudukan mereka di bawah golongan pedagang Jawa dan Melayu. Sebab golongan pedagang Tionghoa belum memiliki kedudukan penting di
dalam perdagangan, maka orang-orang Melayu dan Jawa pada waktu itu memiliki
kedudukan strategis di dalam bidang perdagangan, disamping itu mereka juga
ahli dalam bidang pelayaran. Setelah kedatangan Belanda di Nusantara, kedudukan
mereka mulai terusik dan dari pihak Belanda berusaha untuk
menyingkirkan dan memusnahkan mereka dengan cara memonopoli perdagangan baik di
Malaka maupun di Makaasar. Hal ini tidak akan terjadi jika mereka tidak pernah
datang, maka kedudukan dan keberadaan dari kaum pedagang ini tidak akan pernah
musnah.
Keberadaan mereka mulai tersingkirkan
dengan penghancuran negara dagang pesisir seperti yang dilakukan oleh
Belanda ketika Perang Mataram, pada abad ke-17. Sebelum adanya campur tangan
dari pihak kolonial Belanda dan zaman Mangkurat I, para pedagang Jawa sangat
dibatasi oleh penguasa Mataram di dalam kegiatan perdagangan rakyat seperti
berlayar ke luar negeri, salah satunya kegiatan ekspor dan impor dalam jumlah besar. Adanya
perang yang terjadi di Mataram juga mengakibatkan banyak pedagang Jawa semakin
banyak meninggalkan Mataram karena kondisi yang tidak kondusif, termasuk monopoli perdagangan yang dilakukan oleh kolonial Belanda di tanah Jawa khususnya Mataram. Selain pedagang Jawa, pedagang Melayu
juga tidak luput dari usaha penyingkiran oleh pihak Belanda dengan mengadakan
perjanjian antara Johor dan Perusahaan Belanda di dalam mengizinkan monopoli
perdagangan beserta komoditi penting sepanjang pantai Siak, dan dengan jumlah
yang tidak terbatas, perahu dan bebas dari pajak maupun cukai. Kawasan Riau mulai jatuh ke tangan Belanda akibat dari perjanjian yang
dilakukan pihak Johor dengan pemerintahan kolonial Belanda pada waktu itu pada
tahun 1749, sama nasibnya dengan Mataram.
Polik
pecah belah atau devide et impera yang dilakukan oleh Belanda berhasil menyingkirkan pedagang Jawa maupun Melayu, alhasil VOC mulai menduduki peran penting dan muncul sebagai kekuatan tunggal yang
paling hebat dengan hak occtroi nya. Kekuatan
ini juga sangat berpusat dan bertahan sangat lama sampai para pecahnya perang
dunia kedua. Pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, perubahan struktural mulai
dirasakan oleh masyarakat, salah satunya yaitu di dalam struktur golongan
pedagang ketika golongan pedagang mandiri mulai disingkirkan baik di Malaka
maupun Mataram. Namun penyingkiran ini dilakukan berdasarkan kekuatan Belanda
yang semakin meluas, dan menindas terus-menerus mengakibatkan keberadaan mereka
atau pedagang Melayu dan Jawa mulai menyingkir. Disamping itu, monopoli mengesampingkan peran dan kedudukan para pedagang pribumi yang mandiri, tingkat
tinggi, dan mempunyai akses ke luar negeri menjadi tidak berarti. Perubahan
struktur dan susunan ekonomi pribumi menjadi kapitalisme dan liberalisme modern
menghancurkan golongan pedagang dan sejumlah mata pencaharian.
Walaupun sebenarnya kekuasaan
pribumi umumnya lebih liberal dalam perdagangan, ia tidak menghancurkan
golongan pedagangnya sendiri yang meliputi seluruh daerah, dan tetap
menggunakan berbagai hasil industrinya sendiri. Namun yang tidak kalah
pentingnya adalah ketidakmampuan memaksakan “monopoli” di seluruh bagian kawasan penting di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar