Minggu, 10 Desember 2017

Dari Mogok Kerja hingga Pemberontakan Revolusioner



“De Zeven Provincien”
Ketika Kelasi Pribumi dan Eropa Berontak (1933)

Sumber :belbuk.com

Sebab-sebab Pemberontakan
            Pemberontakan di kapal De Zeven Provincien pada mulanya diakibatkan karena kebijakan penurunan gaji para marinir baik di pihak Belanda maupun pribumi. Menurut Orsten, pengurangan gaji sebesar 7 persen di antara kedua belah pihak akan membahayakan kesempatan mencari nafkah hidup. Di sisi lain, pengurangan gaji dan cara pengumumannya dinilai cukup membahayakan karena sudah dilakukan 3 kali dalam 2 tahun. Keadaan krisis ekonomi Hindia Belanda mengakibatkan adanya kesenjangan sosial di antara kedua belah pihak.
            Awal cerita, tanggal 30 Januari mulai terjadi pemogokan kerja baik di kapal-kapal maupun di lembaga marinir di darat. Kapal De Zeven Provincien mulai bertolak dari Surabaya untuk latihan perang dan unjuk kekuatan ke Sumatra. Kapal ini juga dikenal sebagai kapal latih maupun hukuman. Pemimpin gerakan mogok kerja adalah M. Boshart, dan didukung oleh kedua belah pihak baik serikat pekerja Belanda maupun pribumi. Para awak kemudian mulai enggan bermain sepakbola persahabatan setelah keputusan pengurangan gaji, namun hal tersebut tidak menyulut pemberontakan. Hanya ada perayaan “tahun baru” dalam rangka lebaran hingga dihadiri 30 awak marinir Eropa.
            4 Februari, mereka mulai menguasai kapal pada malam hari. Adanya desas-desus mengenai ketidakjelasan mogok kerja maupun adanya pemberontakan hingga perwira Belanda diliputi keraguan untuk melakukan pemberontakan karena tidak ada arahan. Boshart kemudian melakukan peran penting berupa mediasi antara perwira maupun pemberontak. Pemberontakan yang dilihat hanya sebatas unjuk rasa menentang pengurangan gaji dan penahanan rekan-rekan mereka di Surabaya dalam rangka mogok kerja. Selang 6 hari kemudian, bom dijatuhkan tepat di atas kapal hingga menewaskan 19 orang berupa 3 orang Eropa dan 16 orang pribumi. 1 Juli 1933 kapal mulai ditarik sementara dari dinas, 16 perwira Belanda diadili di Hindia Belanda dan sisanya dihukum oleh mahkamah militer Hindia Belanda. Para korban rata-rata dimakamnkan di dekat pulau Onrust maupun kerkhoff untuk orang Belanda.
            Banyak penyebab dan alasan terjadinya mogok kerja hingga adanya pemberontakan, terutama akibat prosedur pengurangan gaji yang dianggap kurang tepat untuk kedua belah pihak. Ada indikasi bahwa pemberontakan di atas kapal didukung oleh golongan nasional hingga komunis. Kondisi sebenarnya menunjukkan bahwa keadaan dan perkembangan sesungguhnya di atas kapal baik persekongkolan antara anak buah kapal dan tindakan tolol pemimpin kapal terbukti sebatas mogok kerja.

Pemberontakan dari Sisi Jurnalisme
            Pemberontakan de Zeven Provincien adalah gerakan anggota marinir dan dilihat sebagai bentuk protes biasa, bukan gerakan serikat (soeara oemoem). Surata kabar soeara soearabaja menganggap bahwa sebab pecahnya pemberontakan tidak pernah dijelaskan, mereka juga mengecam pernyataan Gubernur Jenderal Hindai Belanda bahwa sebelum terjadi pemberontakan, awak Belanda diculik di bawah pengawasan ketat awak pribumi. Di sisi lain, majalah Adil menanggap bahwa pengurangan gaji sebesar 4 persen bagi orang Eropa dan 7 persen bagi pribumi adalah sebuah bentuk ketidakadilan.
            Koran javabodme menganggap bahwa pemberontakan merupakan propaganda komunis, namun hal tersebut dibantah langsung oleh partai komunis di Belanda maupun komintern internasional. Mereka memastikan bahwa gerakan nasionalis ikut andil di belakang serikat marinir, secara tidak langsung mereka memiliki hubungan dengan para pemberontak. Para marinir sering menyanyikan lagu serikat yang dianggap sebagai simbol kaum proletar, sedangkan serikat kelasi pribumi justru sering menyanyikan lagu “Indonesia Raya” sebagai bentuk protes. Para awak pribumi rupanya juga rajin mendengarkan pidato-pidato bung Karno karena pihak Belanda amat sangat takut terhadapnya.
            25 tahun setelah pemberontakan tepatnya tahun 1958, partai Komunis Indonesia mulai menyatakan sikap dalam Harian Rakjat. 5 Februari 1958, koran ini membahas mengenai motif pemberontakan. Pemberontakan de Zeven Provincien adalah pemberontakan anti kolonial pertama yang dilakukan oleh pihak Indonesia. Tokoh PKI yaitu Sapija juga menanggap bahwa pemberontakan tersebut adalah murni gerakan revolusioner oleh serikat kelasi pribumi.
            Di sisi lain, 15 tahun kemudian para pemberontak juga menjelaskan bahwa gerakan mereka merupakan gerakan bersenjata yang penting dalam pergerakan nasional. Wartawan T.Bumi yang juga ikut andil dalam mogok kerja juga ditunjuk sebagai otak pemberontakan, ia menyebarkan gagasan Soetomo, pemimpin Soerabajashe Studie Club. Selama di atas kapal, kepada pelaut Indonesia meluaskan gagasan nasionalisme melalui majalah Sinar Laoetan.

Kesimpulan
            Pemberontakan di kapal de Zeven Provinciein dapat dilihat sebagai bentuk protes sosial menentang pengurangan gaji yang terinspirasi dari gagasan kemederkaan nasional, untuk mendobrak kesenjangan sosial antara Eropa dan Pribumi. Suatu tindakan nasionalis penuh makna. Mereka dianggap ancaman bagi pihak kolonial Belanda, tidak sebatas gerakan revolusioner, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Kerjasama penting antara marinir dan golongan nasionalis berperan penting dalam mogok kerja, ditambah dengan pengaruh serikat kelasi pribumi yang tak dapat dipandang remeh dalam pemberontakan melawan ordonansi pengurangan gaji bagi marinir angkatan laut.

Jumat, 03 November 2017

Kepemimpinan dalam Karya Sastra Jawa

 “Konsep Kepemimpinan Jawa : Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Asthabrata”
Penulis : Dra. Suyami., M.Hum.


            Di dalam konsep kepemimpinan di dalam masyarakat Jawa, "raja adalah seorang wakil Tuhan di muka bumi" sehingga sabda dan perintah raja adalah perkataan dan perintah dari Tuhan secara langsung begitupun penolakan dan pelarangan raja yang berarti sebagai larangan dari Tuhan. Jika seseorang melanggar perintah ini, seseorang akan dianggap languns melanggar perintah dari Tuhan, karena konsep “Manunggaling Kawula Gusti” begitu melekat di dalam masyarakat Jawa yang pada zaman dahulu memiliki tingkatan stratifikasi sosial atau kedudukan sosial berupa raja, priyayi, santri, dan wong cilik. Di dalam masyarakat Jawa, orang-orang menginginkan seorang pemimpin yang bercita-cita membawa sebuah bangsa atau negara ke dalam keadaanya yang tata tentrem kerja raharja (adil, makmur, tentram, dan teratur). Serta untuk mencapai keadaan seperti itu, masyarakat harus banyak mempelajari mengenai tata cara menjadi pemimpin yang baik dalam rangka untuk memakmurkan rakyatnya lewat ajaran-ajaran kepemimpinan yang dimuat di dalam karya sastra klasik karangan pujangga besar seperti Pakubuwono IV, R Ng. Ronggowarsito, Honggowongso atau Mangkunegara IV. Karya sastra Jawa ini berisi mengenai petuah dan ajaran yang semestinya harus diperhatikan bagi seorang pemimpin untuk memimpin dan mengatur rakyatnya. Beberapa ajaran kepemimpinan banyak berasal dari karya sastra Jawa klasik seperti : Serat Wulangreh, Serat Pustakaraja, Serat Tripama, Serat Ramayana, Serta Wedhatama dan masih banyak lagi.


Sumber : Vanaya Coaching Institute

            Di dalam buku yang berjudul Konsep Kepemimpinan Jawa : Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Asthabrata, penulis membawa kita ke dalam suatu karya sastra Jawa klasik karangan R. Ng. Yasadipura yaitu Serat Rama yang berisi ajaran kepemimpinan berupa dua bagian yaitu, ajaran sastra cetha dan ajaran astha brata. Di dalam Sastra Cetha, penulis menjelaskan bahwa di dalam ajaran kepemimpinan ini, seseorang akan diajak belajar menjadi seorang pemimpin yang baik dengan berdasarkan cerita mengenai Rama yang memberikan penjelasan dan nasehat mengenai kepemimpinan kepada adiknya yang bernama Bharata, sedangkan di dalam Asthabrata, kita diajarkan mengenai bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik berdasarkan kedelapan unsur yang ada di alam yaitu : bumi, bulan, matahari, bintang, api, air, angin dan samudra. Ajaran ini terinspirasi dari kisah mengenai Rama yang memberikan ajaran ini kepada Wibisana yang pada waktu itu akan diangkat menjadi raja di Alengka dan menggantikan kakandanya yaitu Prabu Rahwana yang dimana pada masa kepemimpinannya kerajaan mengalami kerusakan dan kemunduran akibat berperang dengan Rama.
            Dalam Sastra Cetha, seorang raja akan diajarkan mengenai pokok-pokok menjadi seorang pemimpin suatu negara, seorang raja harus membedakan perbuatan yang nistha, madya, dan utama. Perbuatan yang nistha adalah perbuatan yang harus untuk dihindari seperti misalnya sikap khawatir terhadap sesuatu yang berlebihan atau berprasangka buruk terhadap sesuatu, perbuatan yang madya pun yang dilakukan oleh raja cukup untuk dimengerti dan dihindari, sedangkan perbuatan yang utama dari seorang raja adalah untuk melayani rakyat, membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta menghindari pantangan “malima” atau lima pantangan yang sangat dilarang keras untuk dilakukan yang terdiri atas : main (berjudi), medok (bermain wanita), madat (narkoba), maling (mencuri), dan minum (ngombe/minum-minuman keras). Di dalam ajaran Asthabrata, ajaran ini berasal dari “Serat Asthabrata” serta diyakini merupakan ajaran yang banyak dipakai sebagai kode etik kepemimpinan yang baik, dari waktu dulu hingga sekarang, ajaran ini banyak ditemukan di dalam naskah Jawa Kuno seperti Kakawin Ramayana, Serat Nitisruti, maupun Serat Rama Jawa. Ajaran ini juga ditemukan di dalam sumber tradisi lisan melalui masyarakat berupa pertunjukan “Wayang Purwa” atau wayang kulit. Asthabrata merupakan delapan ajaran kepemimpinan yang dimana kedelapan unsur kepemimpinan ini digambarkan sebagai sebuah dewa atau simbol-simbol alam tertentu. Seseorang yang mempelajari kedelapan unsur ini nantinta akan menjadi seorang pemimpin besar yang berpengaruh serta membawa kebaikan bagi rakyat dan negara yang dipimpinnya. Ajaran kepemimpinan ini terdiri dari kedelapan unsur alam atau dewa yang menjaga keseimbangan dan keselaran alam ini, unsur-unsur itu terdiri atas bumi, bulan, matahari, bintang, api, air, angin dan samudra. Beberapa dari unsur yang disebutkan digambarkan sebagai dewa Agni (api), dewa Candra (bulan), dewa Bahni, dewa Surya (Matahari), dewa Baruna (samudra), dewi Kartika (bintang), dewa Bayu (angin).
            Raja juga digambarkan sebagai hubungan resiprositas antara raja dan rakyat yang diibaratkan dengan singa dan hutan, kedua-duanya adalah dua unsur penting yang saling mengisi, membutuhkan, dan saling melengkapi satu sama lain. Tanpa adanya salah unsur tersebut, bisa dipastikan bahwa keberlangsungan suatu negara akan terancam apabila salah satu unsur tersebut tidak ada, raja memiliki peranan penting bagi negara dan rakyat yang terdiri atas : panutan dan teladan, penuntun dan pemimpin, serta sebagai pengayom dan pelindung bagi rakyatnya ataupun negaranya. Sedangkan negara diposisikan sebagai tempat berkiprah antara raja dan rakyatnya dimana seorang raja dapat menunjukkan eksistensi dan legitimasinya di hadapan rakyat, sebagai tempat untuk menyalurkan pendapat serta pengakuan dari bangsa lain, hingga sebagai tempat berlindung dan beraktivitas bagi masyarakat dari berbagai lapisan.

            Karya-karya sastra Jawa klasik yang banyak terkandung nilai-nilai ajaran yang bermanfaat, termasuk ajaran kepemimpinan ini. Seperti halnya yang terkandung di dalam Serat Rama yang berisi Sastra Cetha maupun Asthabrata. Kedua karya sastra lama ini menjadi model penting di dalam menerapkan ajaran kepemimpinan yang ideal serta bisa diterapkan di masa modern ini, sebagai upaya untuk mencapai cita-cita masyarakat yang bersatu, adil, makmur, dan sejahtera. Semua orang berhak menjadi seorang pemimpin, dan kita sendiri pun harus bisa memimpin diri kita sendiri ke arah yang lebih baik tentunya. Betapa majunya dan makmurnya sebuah bangsa jika ajaran-ajaran kepemimpinan ini diterapkan di berbagai negara di era Globalisasi ini.

Senin, 09 Oktober 2017

Berhaji di Masa Kolonial

Berhaji di Masa Kolonial


           Haji merupakan salah satu bagian dari ajaran agama Islam, termasuk dalam salah satu rukun Islam kelima. Ibadah haji dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah serta wajib bagi orang yang mampu. Tradisi haji konon sudah berlangsung lama semenjak Nabi Ibrahim A.S membangun bangunan suci bernama “ka’bah”. Awalnya, ritual haji atau pilgrimage dilakukan dengan mengelilingi bangunan tersebut namun prakteknya diselewengkan berupa benda berhala buatan orang Arab di dalam ka'bah. Praktek tersebut kemudian diperbaiki pada masa Nabi Muhammad S.A.W. Kegiatan haji dilakukan di kota Mekkah dan Madinah di negeri Saudi Arabia selama kurun waktu 2-3 minggu.
           Jamaah haji berasal dari berbagai kawasan di penjuru dunia, salah satunya adalah kaum muslimin di Indonesia atau dahulu disebut sebagai Hindia Belanda. Islam sendiri sudah masuk di kawasan Nusantara pada abad ke 13 M, banyak diantara para penduduk kemudian dikirim ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Ulama Indonesia di Timur Tengah memiliki peran penting dalam mengenalkan gerakan reformasi keagamaan dan pendidikan. Hal tersebut melatarbelakangi pergerakan dalam melawan pemerintah kolonial Belanda.
            Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah kolonial Belanda mulai mengawasi kegiatan para ulama atau penduduk yang berada di Timur Tengah dengan memberikan gelar “Haji dan Hajjah” bagi mereka yang telah menunaikan ibadah Haji di Arab Saudi. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pemberontakan yang dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan muslim lainnya, terutama dipengaruhi oleh gerakan Pan Islamisme di Timur Tengah.
            Perjalanan menuju Mekkah dibagi menjadi dua jalur. Pertama melalui jalur darat dan kedua melalui jalur laut. Jalur darat melewati sebuah rute yang dikenal sebagai “Jalur Sutra” atau silk road. Rute perjalanan laut dikelompokkan menjadi tiga rute pelayaran besar yaitu melalui selat Bab el Mandab, kawasan laut Merah, dan kawasan dari Utara. Untuk muslim Nusantara menempuh jalur pelayaran melalui Singapura, Colombo, Aden, kemudian masuk ke Laut Merah menuju Jeddah. Perjalanan haji di Nusantara erat kaitannya dengan kegiatan perdagangan laut kecuali apabila perdagangan itu terbatas pada daerah daratan. Kawasan laut Nusantara dikenal sebagai tempat strategis bagi saudagar atau penjelajah dari Timur Tengah, Gujarat, Persia, maupun dari Barat.
        Semenjak dibukanya terusan Suez, dunia pelayaran diikuti dengan perkembangan pesat teknologi pelayaran berkat penemuan teknologi mesin uap oleh James Watt terutama pada masa revolusi industri di Inggris tahun 1870. Perjalanan haji menuju Mekkah yang sebelumnya menggunakan kapal layar kini mulai diganti dengan mesin uap untuk memangkas durasi perjalanan dari Hindia Belanda hingga ke Mekkah. Sebelumnya perjalanan haji menggunakan kapal layar ditempuh dalam waktu 6 bulan hingga 1 tahun lamanya karena bergantung terhadap faktor musim dan arah angin.


Pemandangan Masjid Agung (Masjid al Haram) di Mekkah, dengan Jamaah Haji di tengah Ka'bah Tahun 1917 (Gezicht op de grote Moskee (Masjid al-Haram) in Mekka, met in het midden de Ka'aba en pelgrims 1917)
Sumber : Media KITLV Belanda

        Pada akhir abad ke – 19 ada tiga perusahaan yang diberi kemudahan untuk menangani pelayanan transportasi jamaah haji. Perusahaan tersebut diantaranya : De Rotterdamsche Lloyd, Stoomvaartmaschappij Nederland, dan Stoomvaaartmaschappij Ocean. Perusahaan de Rotterdamsche Lloyd  banyak menggunakan nama Melayu untuk kapalnya seperti : Slamet, Tabanan, Tambora, Indrapura dll. Rute pelayarannya melalui Genoa, Port Said, Colombo, Singapura, Jawa dan Australia. Kapal milik Stoomvaartmaschappij Nederland banyak menggunakan nama Belanda seperti : Vandaal, Grotius, Princes Juliana, dan Huijgens. Kapal ini singgah di pelabuhan penting seperti Tangier, Aljazair, Marseille, Port Dais, Singapura, dan Jawa (Nusantara). Kapal milik Stoomvaaartmaschappij Ocean menggunakan bendera Inggris dam memiliki jalur pelayaran dari Eropa – Asia Tenggara. Ketiga kongsi ini ditunjuk pemerintah untuk menangani pelaksanaan pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji Hindia Belanda hingga pasca Perang Dunia Kedua.
            Para calon jamaah haji umumnya tidak mengetahui cara memperoleh informasi mengenai cara pergi ke Mekkah, kecuali bagi mereka yang mempunyai kerabat terpelajar. Pilihan kapal yang mereka tumpangi sangat bergantung kepada peran syekh dalam mengatur perjalanan serta bimbingan dalam melaksanakan ibadah haji. Biaya yang diperlukan bervariasi tergantung maskapai perusahaan yang dipilih. Harga tiket standar adalah 110 gulden ditambah dengan jasa perusahaan dan syekh sebesar 17.5 gulden, maka jumlah yang dikeluarkan sebesar 127.5 gulden. Dalam ketentuan umum yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda, bahwa setiap calon jamaah harus menyetor uang sebesar 500 gulden dan jika terdapat uang lebih akan dikembalikan kepada jamaah.
            Harga yang cukup tinggi tidak menyurutkan niat masrakayat untuk pergi haji, hasrat tersebut didorong oleh kemauan keras, ada juga mereka ingin tinggal lebih lama di Mekkah gunan memperdalam dan menimba ilmu pengetahuan agama dan umum, atau karena kekecewaan terhadap kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda yang memberikan penindasan atau ketidakadilan terhadap masyarakat. Setelah adanya teknologi kapal uap ada setiap tahun membawa ratusan orang dari 12.000 jamaah yang hendak menuntu ilmu di negeri Saudi Arabia.
        Pelayanan yang diberikan oleh beberapa maskapai perusahaaan haji cukup baik, direksi maskapai perusahaan haji memerintahkan kepada nahkoda kapal agar menjaga dan mempertahankan awak kapalnya dengan memberi pelayanan baik serta menanggulangi tindak pidana kriminal. Beberapa diantaranya : 1. Memberikan asupan gizi berupa makanan dan minuman secara teratur, 2. Memperhatikan kesehatan para calon jamaah haji dengan menyediakan ruangan isolasi dan tenaga kesehatan, 3. Mencegah terjadinya pemerasan yang yang dilakukan oleh oknum nahkoda, syekh, atau awak kapal kepada calon jamaah haji. Sebelum berangkat para jamaah haji diperiksa secara ketat oleh mantri selama berada di embarkasi haji untuk menanggulangi penyakit menular diantaranya : TBC, Kolera, Pes, dan penyakit menular lainnya. Para calon jamaah haji juga diwajibkan memiliki tiket pulang pergi atau disebut Retourbiljet untuk menghindari hutang yang sangat mengikat dan menjadi jaminan bagi calon jamaah haji. Pemerintah secara keras melarang penjualan tiket hanya satu perjalanan saja.


Kedatangan peziarah dari Mekah di pelabuhan Tandjoengpriok Jakarta Tahun 1948 (Aankomst van pelgrims uit Mekka in de haven van Tandjoengpriok te Djakarta 1948)
Sumber : Media KITLV Belanda

            Pada akhir abad ke – 19 dan awal abad ke – 20 jumlah jamaah Nusantara pergi menunaikan ibadah haji lebih dari 40 persen dari seluruh jamaah haji yang berkumpul di kawasan Mekkah. Hasrat orang naik haji terus meningkat karena jumlahnya karena ibadah haji dipandang sebagai suatu kewajiban dan kiblat bagi seluruh umat Islam.. Untuk mengatasi beberapa masalah dan gerakan politik selepas pergi menunaikan ibadah haji, maka dibuatlah berbagai peraturan untuk mengatur pelakasaan ibadah haji yang diawali dengan lahirnya “Resolusi 1825”. Namun, peraturan ini tak sepenuhnya ditaati karena pelaksanaanya banyak merugikan jamaah. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan sebuah peraturan baru berupa Ordonasi tahun 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872, dan 1922.
            Resolusi 1825 berisi peraturan atau kebijakan untuk mengatur jumlah kuota jamaah calon haji dengan membatasi dan mengawasi gerak-gerik mencurigakan jamaah. Ongkos Naik Haji atau ONH dipatok sebesar 110 gulden serta harus memiliki izin dari otoritas terkait. Resolusi ini pada awalnya dilakukan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sehingga banyak ditolah oleh para jamaah dan lebih memilih untuk bebas dari kewajiban membayar pajak dan pungutan liar selama perjalanan haji berlangsung.
            Ordonansi Haji tahun 1859 dilatarbelakangi oleh banyaknya penyalahgunaan gelar haji dan banyak diantara mereka tidak pulang hingga menimbulkan sosial ekonomi di masyarakar bagi keluarga yang ditinggalkan. Ada satu hal menarik bagi calon jamaah haji yang gagal berangkat, mereka disebut sebagai “Haji Singapura” karena gagal berangkat akibat kurangnya ongkos haji atau terjebak oleh salah satu perusahaan maskapai haji dalam sebuah perjanjian hingga akhirnya bekerja sebagai kuli kontrak di kawasan Melayu dan Singapura. Ordonansi ini menekankan kepada jamaah calon haji maupun mereka yang sudah bergelar haji untuk melaporkan segala kegiatannya kepada otoritas terkait melalui Residen atau Bupati daerah setempat.
            Ordonansi Haji tahun 1922 menjadi penyempurnaan dari ordonansi haji sebelumnya, terutama untuk mengatur jumlah jamaah haji yang berangkat tanpa pembatasan jenis kelamin. Beberapa diantaranya mengatur peningkatan kualitas pelayanan selama pelayaran berlangsung. Dalam ordonansi ini juga dijelaskan bahwa setiap jamaah yang berangkat dari Hindia Belanda menuju Mekkah dan setelah kembali harus memiliki sertifikat haji. Sertifikat gelar haji dapat diperoleh dari pemilik, agen, atau nahkoda kapal tiga hari sebelum kapal meninggalkan tanah suci. Biayanya sebesar 300 gulden atas tanggung jawab kepala daerah. Dalam sertifikat tercantum tempat meletakkannya di kapal serta diperiksa setiap singgah di pelabuhan oleh petugas pelabuhan dan akhirnya diserahkan kepada konsulat Belanda untuk pemeriksaaan terakhir.



Poster sebuah perusahaan kapal uap swasta yang mengangkut jamaah Haji ke Mekah Tahun 1935 (Affiche van een stoombootmaatschappij die Haji's vervoerd naar Mekka 1935)
Sumber : Media KITLV Belanda

       Tiga kongsi dagang : De Rotterdamsche Lloyd, Stoomvaartmaschappij Nederland, dan Stoomvaaartmaschappij Ocean tidak mampu melayani antusiasme jumlah jamaah haji Nusantara yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah Hindia Belanda bekerja sama dengan pihak swasta untuk mengatasi masalah tersebut. Sejumlah agen swasta yang ada seperti Borneo Company Limited, De Lloyd, Firma Gellatly Henkey Sewell & Co, Firma Aliste, Jawa dan Co termasuk dalam “Kongsi Tiga” untuk melayani pemberangkatan dan kepulangan jamaah haji dari dan ke Mekkah.
       Kebijakan pemerintah kolonial dalam bekerjasama dengan pihak swasta justru menjadi bumerang bagi pemerintah, hal ini dikarenakan sebagian firma dan agen swasta hanya berorientasi kepada mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya serta mengesampingkan pelayanan terbaik kepada para jamaah haji. Banyak calo berlindung di balik jubah syekh dengan mengeksploitasi dan memeras para jamaah, terutama jamaah haji dari Jawa.
           Ada indikasi penyimpangan dan penyelewengan dari beberapa perusahaan biro haji swasta diantaranya adalah perusahaan Herklots (Batavia) dan firma Al – Segaff & Co (Singapura). Perusahaan Herklots melakukan beberapa penyimpangan diantaranya : 1. Tidak memiliki bukti penangkatan dari agen induk yaitu firma Java & Knowles, 2. Adanya pemerasan dan penipuan kepada calon jamaah haji secara sengaja oleh oknum perusahaan dan kru kapal, 3. Memerintahkan kepada syekh untuk memungut biaya di luar perjanjian kepada para jamaah haji, 4. Menelantarkan para penumpang selama perjalanan serta nihilnya fasilitas yang diberikan selama melakukan prosesi ibadah haji, 5. Memaksa calon jamaah haji untuk menandatangani perjanjian yang berisi menjadi kuli kontrak apabila tidak bisa melunasi hutang biaya di luar perjalanan haji.
            Kasus serupa juga terjadi dalam firma Al – Segaff & Co di Singapura, firma ini pada awalnya dikenal oleh kalangan jamaah haji dari Nusantara karena menawarkan servis berupa menghindarkan pengawasan paspor oleh pemerintah Hindia Belanda. Firma ini juga memiliki perkebunan karet terbesar di pulau Cocob dengan memanfaatkan tenaga kerja buruh dari Tiongkok atau dari Hindia Belanda.
            Indikasi terjadi penyelewengan mulai terendus ketika firma ini mulai memanfaaatkan tenaga kerja buruh dari jamaah haji Jawa. Sebenarnya firma ini bisa mengambil tenaga kerja buruh dari Tiongkok yang dikenal murah namun terkendala biaya transportasi dan bea masuk bagi imigran sangat mahal. Untuk mengatasi hal tersebut, pihak firma menawarkan pinjaman kepada jamaah haji asal Nusantara untuk membeli tiket kapal kembali ke tanah air dengan bunga yang cukup tinggi.
            Beberapa jamaah ada yang tidak sanggup melunasi hutang tersebut sehingga mereka terpaksa bekerja sebagai kuli kontrak dengan durasi 5 – 10 tahun, strategi yang dilakukan oleh firma ini cukup berhasil mengeksploitasi tenaga kerja buruh dari Jawa sehingga membuat keuntungan besar bagi perkembangan perkebunan karet di pulau Cocob. Tujuan utama firma Al- Segaff & Co adalah meminjamkan uang kepada jamaah dengan bunga tinggi dan harus dilunasi dalam jangka waktu pendek, salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah “harus menjadi kuli kontrak apabila tidak melunasi hutang dalam jatuh tempo yang ditentukan oleh pihak firma”.

         Konspirasi perusahaan dan firma swasta yang bermasalah harus segera diakhiri dengan bekerja sama dengan negara lain untuk memotong “jalur” tersebut dengan adanya kinerja terpadu antara Batavia-Singapura-Johor-Jeddah-Turki untuk mengatasai dua firma bermasalah yaitu perusahaan Herklots dan firma Al – Segaff & Co. Hal tersebut dilakukan untuk memutus mata rantai penyelewengan wewenang antara birokrat dan pihak perusahaan atau firma terkait untuk mengeksploitasi para jamaah.







Kamis, 27 Juli 2017

Mitos Pribumi Malas

Mitos Pribumi Malas : Hilangnya Golongan Pedagang Pribumi



            Menurut sejarah, masyarakat Philipina, Jawa dan Melayu digolongkan sebagai golongan pedagang, namun lama-kelamaan keberadaan mereka hilang akibat adanya kolonialisme dan kapitalisme yang dibawa oleh bangsa Eropa. Prosesnya pun berawal pada pemulaan abad ke-16 dengan datangnya orang-orang Portugis hingga datangnya Belanda dengan VOC nya. Sebelum hancur dan musnahnya golongan pedagang tersebut, para pedagang Melayu dan Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 mempunyai pengaruh yang besar hingga mempunyai wilayah kegiatan dari India hingga kepulauan Maluku. Para pelaut dari Jawa diyakini sampai hingga ke Madagaskar. Namun lama kelamaan golongan pedagang Jawa ini musnah dikarenakan adanya larangan dari penguasa Mataram yang telah melarang orang Jawa berdagang di Jawa. Hal ini juga berlaku sama untuk masyarakat Melayu setelah penaklukan Malaka oleh Portugis maupun pengaruh kekuasaan Belanda. Dengan kata lain, golongan pedagang Jawa dan Melayu telah disingkirkan selama +- 3 abad lamanya. Golongan pedagang yang dimaksud diatas adalah komunitas pedagang yang mengimpor dan mengekspor komoditi atas dasar mandiri, menyediakan modal sendiri, membiayai transaksi, mengatur pengapalan secara besar-besaran, dan menggunakan kapal yang paling maju pada waktu itu yang digunakan untuk mencapai tempat-tempat yang jauh.
            Orang Jawa dan orang Melayu dikenal sebagai penjelajah dan pedagang yang handal pada waktu tersebut. Walaupun memakai kapal yang besar, orang-orang Melayu dan Jawa dari Banten dan Mataram mampu meloloskan diri dari blokiran/larangan pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Indonesia Timur. Kedah dan Perak merupakan tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh para pedagang tersebut. Kota Malaka menurut Duarte Barbosa merupakan kota pelabuhan terkaya dengan jumlah pedagang besar terbanyak dan penuh kegiatan pengapalan berserta perdagangan di seluruh dunia, diantaranya ada pedagang Melayu dan Jawa. Perahu-perahu mereka pun sangat berbeda dengan perahu Portugis maupun pedagang lainnya, dengan bahan terbuat dari kayu yang tebal. Perahu ini pun berisi beras, domba, sapi, babi rusa dan masih banyak lagi. Namun semenjak Malaka direbut oleh Portugis pada tahun 1511, kegiatan perdagangan berpindah ke daerah Indonesia Timur. Setelah runtuhnya Malaka, mereka pindah ke Makaasar, dan digambarkan sebagai negeri yang membebaskan dan mengizinkan perdagangan bebas dan terbuka. Hal ini berujung pada kemunduran dan tersisihnya golongan pedagang Melayu dan Jawa untuk melakukan perdagangan internasional secara mandiri maupun korelasi terhadap Eropa maupun yang bersangkutan.
          Komunikasi pedagang Melayu dan Jawa mempunyai bahasa tersendiri yaitu bahasa Melayu, bahasa ini dipakai ketika kontrak usaha dilakukan serta menjadi bahasa resmi dalam urusan diplomatik. Efektivitas perdagangan orang Melayu dan Jawa dapat dinilai dari kenyataan bahwa para pedagang asing sangat bergantung kepada mereka pada saat kegiatan pengapalan, hal tersebut juga diperkuat bahwa kedudukan orang Tionghoa sebagai perantara tidak sekuat golongan Melayu dan Jawa. Mereka dianggap sebagai pedagang biasa hingga lama-kelamaan kedudukan mereka di bawah golongan pedagang Jawa dan Melayu. Sebab golongan pedagang Tionghoa belum memiliki kedudukan penting di dalam perdagangan, maka orang-orang Melayu dan Jawa pada waktu itu memiliki kedudukan strategis di dalam bidang perdagangan, disamping itu mereka juga ahli dalam bidang pelayaran. Setelah kedatangan Belanda di Nusantara, kedudukan mereka mulai terusik dan dari pihak Belanda berusaha untuk menyingkirkan dan memusnahkan mereka dengan cara memonopoli perdagangan baik di Malaka maupun di Makaasar. Hal ini tidak akan terjadi jika mereka tidak pernah datang, maka kedudukan dan keberadaan dari kaum pedagang ini tidak akan pernah musnah.
            Keberadaan mereka mulai tersingkirkan dengan penghancuran negara dagang pesisir seperti yang dilakukan oleh Belanda ketika Perang Mataram, pada abad ke-17. Sebelum adanya campur tangan dari pihak kolonial Belanda dan zaman Mangkurat I, para pedagang Jawa sangat dibatasi oleh penguasa Mataram di dalam kegiatan perdagangan rakyat seperti berlayar ke luar negeri, salah satunya kegiatan ekspor dan impor dalam jumlah besar. Adanya perang yang terjadi di Mataram juga mengakibatkan banyak pedagang Jawa semakin banyak meninggalkan Mataram karena kondisi yang tidak kondusif, termasuk monopoli perdagangan yang dilakukan oleh kolonial Belanda di tanah Jawa khususnya Mataram. Selain pedagang Jawa, pedagang Melayu juga tidak luput dari usaha penyingkiran oleh pihak Belanda dengan mengadakan perjanjian antara Johor dan Perusahaan Belanda di dalam mengizinkan monopoli perdagangan beserta komoditi penting sepanjang pantai Siak, dan dengan jumlah yang tidak terbatas, perahu dan bebas dari pajak maupun cukai. Kawasan Riau mulai jatuh ke tangan Belanda akibat dari perjanjian yang dilakukan pihak Johor dengan pemerintahan kolonial Belanda pada waktu itu pada tahun 1749, sama nasibnya dengan Mataram.
Polik pecah belah atau devide et impera yang dilakukan oleh Belanda berhasil menyingkirkan pedagang Jawa maupun Melayu, alhasil VOC mulai menduduki peran penting dan muncul sebagai kekuatan tunggal yang paling hebat dengan hak occtroi nya. Kekuatan ini juga sangat berpusat dan bertahan sangat lama sampai para pecahnya perang dunia kedua. Pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, perubahan struktural mulai dirasakan oleh masyarakat, salah satunya yaitu di dalam struktur golongan pedagang ketika golongan pedagang mandiri mulai disingkirkan baik di Malaka maupun Mataram. Namun penyingkiran ini dilakukan berdasarkan kekuatan Belanda yang semakin meluas, dan menindas terus-menerus mengakibatkan keberadaan mereka atau pedagang Melayu dan Jawa mulai menyingkir. Disamping itu, monopoli mengesampingkan peran dan kedudukan para pedagang pribumi yang mandiri, tingkat tinggi, dan mempunyai akses ke luar negeri menjadi tidak berarti. Perubahan struktur dan susunan ekonomi pribumi menjadi kapitalisme dan liberalisme modern menghancurkan golongan pedagang dan sejumlah mata pencaharian.

            Walaupun sebenarnya kekuasaan pribumi umumnya lebih liberal dalam perdagangan, ia tidak menghancurkan golongan pedagangnya sendiri yang meliputi seluruh daerah, dan tetap menggunakan berbagai hasil industrinya sendiri. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah ketidakmampuan memaksakan “monopoli” di seluruh bagian kawasan penting di Indonesia.

Selasa, 18 Juli 2017

Romansa Sejarah Maritim di Kawasan Laut Sulawesi Abad ke - 19

Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut (Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX)
Oleh : Adrian B. Lapian (Sejarawan Bahari)


      Studi sejarah Indonesia pada waktu sekarang ini hanya berfokus kepada masalah ataupun peristiwa yang terjadi di daratan, padahal peristiwa yang terjadi daerah lautan juga berperan penting dalam kemajuan suatu bangsa maupun peradaban. Seperti yang dikatakan oleh van Leur bahwa sejarah Indonesia hendaknya jangan dilihat dari sebuah geladak kapal Belanda maupun benteng-benteng pertahanan VOC, jadi secara garis besar corak penulisan kita sampai sekarang terpaku pada netherland-sentris, bukan kepada Indonesia-sentris yang lebih condong kepada penulisan sejarah para pribumi maupun keberadaan bandar pelabuhan penting tidak boleh diabaikan sama sekali oleh para sejarawan.
       Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar yang ada di dunia, memiliki posisi strategis dalam hal perdagangan, serta keberadaan ragam budaya yang bercorak pesisir atau bisa dikatakan sebagai kebudayaan pesisir yang berisi kebudayaan panji di beberapa daerah di kawasan Asia Tenggara. Oleh sebab itu, perhatian terhadap sejarah kemaritiman menjadi sebuah prioritas istimewa dalam penulisan sejarah Indonesia.
         Adrian B. Lapian di dalam buku ini menjelaskan mengenai keberadaan Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut yang berada di kawasan laut Sulawesi pada abad ke – 19. Periodisasi yang diambil oleh beliau sangat cocok dengan keadaan sosial, ekonomi, budaya, maupun politik yang terjadi pada waktu itu. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan kapal-kapal kolonial yang berada di perairan nusantara, khususnya wilayah laut Sulawesi yang menjadi fokus penulisan dalam buku ini. Masa ini adalah masa strategis dimana kekuasaan maritim menjadi salah satu strategi penting bagi pemerintahan kolonial untuk memberikan pengaruhnya di bidang politik demi tercapainya monopoli kekuasaan dan perdagangan rempah-rempah yang bernilai tinggi. Abad ke – 19 hingga awal abad ke – 20 merupakan awal kebangkitan dari kekuataan maritim kolonial dan awal kemunduran dari kekuatan bahari milik para pribumi akibat tertinggalnya teknologi pelayaran maupun pengaruh politik kolonial yang sangat kuat menyerang para raja-raja pribumi di kawasan pesisir maupun pedalaman.
   Abad ke – 19 merupakan masa dimana pemberantasan bajak laut menjadi fokus utama pemerintahan kolonial dalam rangka memberantas kegiatan yang mereka golongkan sebagai perbuatan kriminal, negara-negara yang sangat berkepentingan dalam memberantas para bajak laut di kawasan Asia Tenggara adalah Spanyol, Belanda, dan Inggris yang pada waktu itu sama-sama berusaha memberantas kelompok perompak atau bajak laut yang meresahkan baik bagi para penduduk pribumi maupun pihak kolonial. Beberapa karya-karya pemerintahan kolonial diantaranya seperti : 1. ‘Perang Bajak Laut di Filiphina’ karangan Barrentes melawan orang Mindanaou dan Sulu, 2. ‘Sejarah Bajak Laut Melayu-Muslim di Mindanao, Jolo, dan Kalimantan, 3. ‘Sketsa Bajak Laut di Nusantara’ karangan Kniphorst, 4. ‘Bajak Laut dan Perompakan di Kepulauan Hindia- Belanda, termasuk Mindanao dan kep. Sulu karangan Gregory, dan 4. ‘Bajak Laut Melayu’ karangan Lavolle. Karya-karya inilah yang memperlihatkan keterlibatan pemerintahan kolonial dalam menghadapi fenomena bajak laut di kawasan mereka masing-masing.
     Berdasarkan karya-karya di atas, Lapian berusaha memberikan sebuah gambaran penulisan sejarah bahwa kita melihat sebuah gejala bajak laut pada abad ke – 19 sebagai sebuah perang gerilya bahari melawan ketidakadilan politik kolonial, bajak laut diindikasikan sebagai bagian dari sebuah perang agama melawan orang kafir serta masyarakat umum menganggap mereka tidak hanya dilihat sebagai penjahat semata, tetapi mereka adalah kelompok social bandit seperti robin hood yang mendapat dukungan dari rakyat, bandit-bandit ini berusaha keras memprotes dan menolak kekuasaan yang lalim, bahkan cara kekerasan mereka tempuh untuk menegakkan keadilan yang setegak-tegaknya.
     Pilihan laut Sulawesi sebagai studi fokus dalam buku ini didasarkan juga pada ketersediaan sumber primer maupun sekunder yang membuktikan bahwa sebagian besar dari kegiatan para bajak laut dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari wilayah ini, khususnta dari kepulauan Sulu dan bagian selatan pulau Mindanao. Dari sudut pandang sejarah, abad ke – 19 merupakan masa dimana kapal-kapal dari Barat mulai merapat ke kawasan laut Sulawesi berkat pengembangan teknik pelayaran berupa kapal uap akibat revolusi industri di Inggris pada abad ke – 18. Hal ini membuat keberadaan kapal-kapal tradisional milik pribumi menjadi sangat tertinggal khususnya di bidag teknologi pelayaran.
        Pembagian wilayah Laut Sulawesi dalam tiga daerah kolonial yang masing- masing merupakan jajahan Spanyol di Filiphina, jajahan Hindia- Belanda yang berpusat di Batavia dan protektorat Inggris di Kalimantan Utara, membawa dampak pada masa sekarang wilayah ini terbagi dalam tiga bagian, masing- masing menjadi bagian RI, Republik Filipina dan negeri Sabah yang merupakan negara-bagian dari Persekutuan Malaysia.
       Laut merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh batas-batas alam maupun batas-batas hukum yang didasarkan oleh kebijakan pemerintahan kolonial masing-masing, laut bagi para penduduk pribumi merupakan sebuah pemersatu atau continuum yang memungkinkan mereka untuk berhubungan dengan penduduk di daerah seberang. Anggapan daerah seberang sebagai ‘daerah terasing’ dari norma dan bentuk kemasyarakatannya dapat dilihat berdasarkan faktor geografis seperti pegunungan maupun daerah perairan berupa lautan antara Indonesia, Malaysia, dan Filiphina. Perbedaan kebudayan di antara ketiga negara ini membentuk sebuah keragaman budaya yang khas dan ada pula yang memiliki kesamaan seperti misalnya bahasa penduduk pribumi maupun pesisir yang sama-sama memiliki arti yang sama walaupun dengan pengucapan yang berbeda-beda.
         Laut Sulawesi adalah wilayah perairan yang menggenangi ceruk bumi yang dibntuk oleh pulau-pulau Sangir-Talaud, semenanjung Sulawesi Utara, pantai Kalimantan Timur, gugusan kepulauan Sulu dan pantai Mindanao Selatan. Daerah ini berada di 118 derajat – 125 derajat BT dan 1 – 8 derajat Lintang Utara. Kawasan ini berdekatan dengan garis khatulistiwa sehingga memberikan daerah ini iklim tropis maritim yang memiliki ciri khusus suhu tinggi, kelembaban yang relatif besar, serta gerak angin yang sedang maupun pembentukan awan yang moderat.
Pola pelayaran menuju laut Sulawesi dapat dimasuki melalui tiga arah yaitu, dari sebelah utara dari laut Cina Selatan melewati Laut Sulu, dari sebelah timur melalui perairan Sangir-Talaud, hingga yang terakhir melalui selat Makassar yang menghubungkan laut Flores dengan laut Sulawesi. Para penduduk pribumi di kawasan pesisir memiliki berbagai kebudayaan khas yang memiliki kesamaan maupun perbedaan dengan penduduk pesisir di kawasan lain, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kesamaan rumpun bahasa bahwa kawasan Laut Sulawesi memiliki rumpun bahasa sama yaitu Austronesia.
Bentuk kebudayaan maritim selain rumpun bahasa yang sama adalah pengunaan moda transportasi lokal berupa perahu-perahu yang mendapatkan pengaruh dari luar seperti ‘dorehe’ dan ‘kora-kora’ yang dikenal di Maluku Utara (bahasa Ternate : rorehe, korakora). Jenis perahu ‘caracoa’ di Filiphina Selatan mungkin berasal dari Maluku Utara, sedangkan ‘bininta’ mirip dengan ‘binta(k)’ atau ‘vinta’ di Filiphina Selatan. Kebudayaan maritim di daerah Sulawesi Utara justru tidak berkembang seperti di kawasan kepulauan Sangihe-Talaud, namun jenis perahu yang ditemukan disini juga bervariatif terutama dalam bentuk cadiknya. Beberapa penduduk setempat seperti di daerah Gorontalo memiliki keahlian dalam membuat kapal yang mereka sebut sebagai ‘boloto’.
Kebudayaan maritim yang berada di berbagai kawasan pesisir Laut Sulawesi memberikan sebuah gambaran berupa orang-orang yang disebut sebagai ‘orang laut’. Mereka diposisikan sebagai masyarakat yang hidupnya berada di lautan dengan perahu yang mereka tumpangi di lautan, mereka dikategorikan sebagai masyarakat ‘suku terasing’ yang berada dalam pembinaan departemen sosial RI, sedangkan di negara Malaysia mereka dianggap sebagai kelompok ‘orang asli’. Mereka hidup secara koloni dan nomaden dari satu tempat ke tempat lain, struktur organisasi mereka masih berdasarkan pada ikatan-ikatan kelompok kecil masing-masing yang terpencar serta tidak terpusat, mereka juga memiliki tingkat solidaritas yang sangat tinggi baik pada hubungan keluarga dan bahkan lebih luas lagi cakupannya hingga satu suku.
Beberapa suku laut di kawasan laut Sulawesi dikenal dengan beberapa istilah seperti Orang Pesukuan, Rakyat, hingga Orang Kerahan. Salah satu contohnya adalah orang Bajau, mereka dikenal sebagai orang laut yang pernah menjelajah seluruh perairan Nusantara, meskipun mereka sekarang hanya dikenal di bagian timur kepulauan, di Sabah dan kepulauan Sulu. Mereka memiliki tiga tingkatan sosial masyarakat yaitu : mataan (keluarga inti), pagmundah, hingga dadakampungan. Bentuk-bentuk perahu mereka memiliki ciri-ciri bentuk Eropa seperti misalnya perahu sapit, bentuk yang kedua adalah perahu lipa yang digunakan untuk menangkap ikan serta sebagai tempat tinggal keluarga Bajau yang sederhana, bentuk yang ketiga adalah vinta yang biasanya dipakai unutuk menangkap ikan maupun dalam kegiatan penyelundupan. Ketiga perahu ini memberikan kita sebuah kesimpulan bahwa perahu Bajau sebenarnya tidak banyak berbeda dengan perahu masyarakat lain yang berada di perairan yang sama.
Orang laut juga mengadakan hubungan dengan orang daratan berupa kontrak dengan raja pribumi untuk memenuhi kebutuhan mereka, mereka lebih memerlukan bahan dari darat untuk memperbaiki perahu mereka maupun memenuhi bahan makanan mereka. Hubungan kerjasama dengan orang darat  memberikan manfaat yang sangat baik di antara kedua belah pihak, dengan kata lain mereka sudah dianggap menjadi bagian penting dari rakyat pemerintah setempat yang lebih tinggi, jadi mereka disebut juga sebagai ‘Rakyat’ atau ‘Rakyat Laut’. Di samping itu, mereka juga diberitakan bekerjasama dengan kelompok-kelompok lain dengan gerombolan bajak laut.
Keterlibatan orang laut dalam berbagai penyerangan yang dilakukan oleh para bajak laut seringkali memberikan persoalan apakah orang laut dapat dianggap sebagai bajak laut. Orang Laut adalah seorang yang pemalu dan bahkan terkesan tertutup dari pengaruh luar sehungga mereka berusaha menghindari konflik baik antara sesama anggota kelompok maupun dengan orang luar. Namun sesekali mereka juga dapat bertindak secara agresif apabila wilayah mereka dilanggar dan diganggu oleh pihak luar, dengan kata lain mereka terpanggil untuk membela haknya yakni apa yang disebut sebagai ‘laut teritorial’ sendiri, analogi yang telah disebutkan ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Orang Laut juga mengenal semacam wilayah laut yang dimilikinya, siapapun bisa ditangkap dan diadili apabila seseorang dari luar mengancam wilayah mereka. Mereka dikatakan bisa menjadi tiga sisi yang berbeda : orang laut murni, bajak laut (apabila wilayahnya diganggu dan diserang), dan bahkan pengikut dari bajak laut atau perompak.
Kelompok kedua yang disebutkan dalam buku ini adalah kelompok Bajak Laut, mereka adalah sekelompok orang yang melakukan tindakan kekerasan di laut untuk meraih keuntungan pribadi dan menjalankan kekuasaan tanpa intervensi dari pihak manapun. Mereka merampas, menawan awak kapal, hingga membunuh siapapun yang menghalangi keinginan mereka, terutama para awak kapal yang dijadikan sebagai budak untuk melayani kapal mereka. Korban-korban dari aksi pembajakan para perompak rata-rata adalah orang keturunan asing yang berasal dari luar Asia Tenggara, sebagian lainnya adalah para penduduk pribumi yang diculik dan dijadikan budak untuk memenuhi ketersediaan tenaga kerja. Beberapa motif seperti keagamaan, balas dendam, hingga sosial politik melatarbelakangi maraknya kegiatan bajak laut di seluruh dunia, tak terkecuali kawasan wilayah Laut Sulawesi. Mereka tidak hanya menjual para budak maupun memungut pajak yang sangat tinggi, mereka melakukan kerjasama dengan Orang Laut untuk mendapatkan tenaga ahli yang mahir di bidang navigasi pelayaran, sehingga kedua belah pihak mendapatkan timbal balik yang saling menguntungkan satu sama lain.
Sama seperti kelompok Orang Laut, mereka juga memiliki struktur organisasi yang jelas untuk mengorganisir dan mengatur anggota bajak laut beserta awak kapalnya untuk mengarungi lautan lepas yang begitu luas serta jumlah armada kapal yang sangat banyak. Hubungan antara patron-klien dengan seorang datu memberikan sebuah jaminan untuk membina dan menjaga hubungan baik ke atas maupun bawah, ke atas dengan Sultan dan Rumah Bicara, sedangkan yang ke bawah dengan para pemimpin yang membawahi kelompok masyarakat yang masih terikat dalam adat kesukuan tradisional seperti kelompok Samal, Laut dan Bajau. Seorang panglima juga harus menjaga wibawanya ketika memimpin suatu armada yang besar, dan tidak kalah pentingnya adalah keberhasilan memilih waktu pelayaran dan wilayah perompakan yang jelas untuk mendukung kegiatan pembajakan agar berhasil secara maksimal dan terhindar dari kapal-kapal api milik pemerintahan kolonial. Pada tingkatan perahu, nahkoda merupakan pemimpin yang tertinggi yang memiliki wewenang penuh atas kapal atau perahunya serta dibantu oleh seorang mualim, dan yang paling bawah adalah anak buah perahu atau ABK yang merupakan tenaga kerja kasar. Struktur organisasi yang jelas dan kekompakan antara petinggi dan bawahan bajak laut memberikan jaminan untuk keberhasilan perompakan dan menambah peluang untuk memperluas kawasan wilayah kekuasaan beserta pengaruhnya, tentu tanpa intervensi dari pihak manapun.
Beberapa kelompok bajak laut terkenal di kawasan Laut Sulawesi adalah bajak laut Sulu, Mangindanao, Balangingi, Tobelo, Papua dan lain sebagainya. Bajak laut Papua digunakan oleh Pangeran Nuku dari Tidore untuk melakukan pemberontakan terhadap Sultan Tidore besera  pemerintahan VOC yang berkedudukan di Ternate, kekuataan laut menjadi unsur penting dalam keberhasilannya mengambil alih kursi kepemimpinan Sultan Tidore. Bajak Laut dari Sulu atau Lanun adalah sekelompok bajak laut yang berasal dari pulau Lanun yang melakukan aksinya untuk menentang politik kolonial Spanyol yang mulai memasuki kawasan Mangindanao atau Lanun. Kelompok selanjutnya adalah Bajak Laut dari Mangindanao yang semnejak abad ke – 17 telah berkonfrontasi dengan kekuatan laut dan militer Spanyol, dan pada abad ke – 19 muncul lagi kelompok bajak laut yang bernama Balangingi. Mereka berasal dari gugusan kepulauan Samales yang merupakan bagian dari kepulauan Sulu, pangkalan tertua dari markas kelompok ini adalah dari tahun 1836. Kelompok inilah yang mulai menggantikan orang Lanun sebab nama mereka mulai banyak disebut sebagai orang bajak Laut dan dalam bahasa Makassar ‘Kammamai Balangingi’ yaitu berarti seseorang yang bertindak kasar.
Kelompok yang terakhir dari kedua kelompok di atas adalah kelompok yang disebut sebagai Raja Laut, suatu jabatan tradisional setempat yang memainkan peran penting dalam menegakkan kekuasaan di laut. Jabatan ini selalu dipegang oleh salah seorang anggota keluarga Sultan, gelar Raja Laut di kawasan Laut Sulawesi pada waktu sebenarnya dipegang oleh tokoh-tokoh yang memimpin kekuatan laut kerajaan yang bersangkutan. Gelar ini ternyata masih berada pada nomor 6 di bawah datu maupun Sultan. Gelar ‘Kapitan Laut’ justru dianggap lebih penting serta di atas gelar raja laut berdasarkan perjanjian VOC dengan raja pribumi setempat. Para Raja Laut ini juga diharuskan untuk bekerja sama dengan Orang Laut agar kekuataan suatu kerajaan dapat tetap terjaga dan disegani oleh pihak manapun. Memasuki abad ke – 17, kekuatan Raja Laut pribumi nantinya akan bergeser kepada kekuasaan asing yang berupa para bajak laut legal atau yang disebut sebagai korsario yang dilegalkan oleh pemerintahan kolonial untuk mengambil alih kekuasaan laut yang dimiliki oleh para raja pribumi.
Dengan mulai beralihnya kekuasaan laut dari pribumi ke asing, maka kebijakan politik yang diambil pun mulai bergeser kepada kekuatan asing seperti negara Spanyolm Belanda dan Inggris yang memiliki kekuasaan laut di kawasan Laut Sulawesi. Mereka sama-sama saling bekerja sama untuk membagi kawasan masing-masing dan menjaganya dari serangan para bajak laut pribumi yang ingin menghancurkan hegemoni kekuasaan laut asing milik mereka. Sejak akhir abad ke – 17, Spanyol dan Belanda telah mengambil sebuah kesepakatan untuk membagi kawasan wilayah Laut Sulawesi dalam wilayah pengaruh mereka masing-masing. Inggris menjadi primadona anggota Raja Laut asing dikarenakan kemajuan yang sangat radikal dalam bidang pelayaran akibat revolusi industri abad ke – 18 mengakibatkan mereka mulai menguasai jalur perdagangan strategis seperti Sulawesi secara cepat berkat kemajuan teknologi kapal uap dan kapal api yang cepat dan mampu memberangus kegiatan para bajak laut atau pirate yang dianggap menganggu wilayah kekuasaan milik pemerintahan kolonial Inggris khususnya di kawasan Laut Cina Selatan maupun Laut Sulawesi. Para anggota Raja Laut telah meningkatkan status sosialnya menjadi Adi-Raja Laut.
Seiring dengan perkembangan teknologi pelayaran dan teknologi persenjataan membuat anggota kelompok Raja Laut asing ini sepakat untuk memberantas para bajak laut yang ada di perairan Laut Sulawesi dengan mengeluarkan para korsario beserta kapal api uap yang serta bersenjatakan modern sehingga cukup ampuh untuk membunuh para perompak pribumi di kawasan Laut Sulawesi. Para perompak pribumi mulai mengalami kemunduran ketika memasuki akhir abad ke – 19 dan awal abad ke – 20 dimana mereka mulai diburu habis-habisan dan bahkan dihukum mati atas kejahatan yang mereka lakukan akibat membangkang dan memberontak kebijakan politik pemerintahan kolonial. Pada mulanya mereka memang masih sanggup menghadapai tekanan yang diberikan oleh para bajak laut asing ini, namun lama kelamaan posisi mereka semakin terpojok. Hal tersebut semakin diperkuat oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah kolonial yang mengatur tentang pelarangan bajak laut (pirate) dan menganggap mereka sebagai penjahat di laut. Untuk itu pemerintah melakukan perburuan terhadap bajak laut, dan mereka yang terbukti salah dan melakukan kejahatan di laut akan dihukum mati. Bajak laut dalam arti pemerintah kolonial ini dapat dibagi menjadi dua jenis, pertama yang disebut sebagai pirate yaitu bajak laut yang melakukan kegiatan di laut secara illegal, dan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sedangkan yang kedua adalah korsario atau bajak laut yang melakukan kegiatan di laut secara legal dan sesuai dengan hukum yang berlaku, bajak laut tipe ini ditugaskan untuk menjaga keamanan dan keutuhan wilayah dari masing-masing kekuataan asing yang diwakili oleh seorang Raja Laut asing. pada akhirnya, secara resmi wilayah Laut Sulawesi pada abad ke – 19 jatuh ke tangan kekuatan asing secara penuh berkat kemajuan yang mereka miliki dan sumber daya yang lebih maju bila dibandingkan dengan kekuatan kapal milik para pribumi.
Simpulan yang bisa didapat dari ketiga kelompok di atas adalah bahwa penulisan sejarah tidak hanya sebatas pada kisah para pribumi yang berada di daratan, tetapi lautan juga memiliki pengaruh penting dalam penulisan sejarah Indonesia khususnya sejarah bahari. Kekuataan bahari yang dimaksudkan oleh Adrian B.Lapian adalah kekuatan dari Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut. Ketiga-tiganya sama-sama berpeluang untuk menduduki posisi masing-masing dan merupakan roda berputar yang tidak ada habisnya sehingga tidak ada posisi yang selamanya digenggam oleh seseorang maupun kelompok karena inilah hukum laut yang mutlak.
Orang Laut adalah tipe kelompok masyarakat yang sederhana namun memiliki keahlian dalam bertahan hidup yang luar biasa, ditambah lagi kerjasama mereka dengan kelompok bajak laut maupun raja laut memberikan sebuah posisi tawar penting dalam keberjalanan kekuasaan di wilayah laut, terutama wilayah Laut Sulawesi pada abad ke – 17 hingga – 19. Walaupun dengan struktur organisasi dan sistem sosial yang sederhana, kelompok ini tetap eksis hingga sekarang, dengan konsekuensi mereka adalah kelompok terasing yang tidak dikenal oleh sebagai umum penduduk masyarakat Indonesia pada waktu ausekarang ini.
Kekuatan bahari yang dimiliki oleh Bajak Laut memberikan kita sebuah pelajaran penting bahwa sebuah kelompok yang memiliki kekuatan armada laut yang kuat dan ditambah strukur organisasi yang rapi dan teratur berhasil merubah tatanan sosial yang ada pada masa pemerintahan kolonial, terutama abad ke – 17 hingga abad ke – 19. Dengan pimpinan yang berwibawa dan anak buah kapal yang loyak, mereka berperang mengatasnamakan resistensi terhadap pemerintahan yang kafir dan imperialis. Para kelompok bajak laut ini disebut oleh masyarakat pribumi pedalaman sebagai bandit sosial yang mengatasnamakan keadilan walaupun dengan cara yang salah, sampai sekarang keberadaan mereka tetap eksis di kawasan Nusantara meskipun tidak sebanyak pada abad ke – 19. Kegiatan mereka yang berorientasi pada motif ekonomi berupa penjualan budak-budak kepada pencari tenaga kerja maupun pemungut pajak tinggi meningkatkan transaksi perdagangan yang terjadi selama kurun waktu abad ke – 17 hingga – 19 di kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan, maupun kawasan Laut Sulawesi secara khususnya. Puncak kejayaan mereka akhirnya runtuh pada abad ke – 19 dimana para Raja Laut asing mengeluarkan sebuah peraturan untuk memberantas para kelompok bajak laut yang mereka anggap ilegal dan melanggar hukum yang berlaku.
Raja laut yang awalnya dikuasai oleh para raja pribumi juga bergeser kepada kekuataan asing yang memiliki keunggulan di bidang politik untuk menekan pengaruh kekuasaan raja laut pribumi yang menganggu kawasan wilayah mereka masing-masing. Para raja laut asing yang berisi para korsario atau bajak laut legal ini memainkan peran pentingnya dalam dinamika sosial, ekonomi, maupun politik yang terjadi di kawasan Laut Sulawesi berkat kemajuan teknologi pelayaran sehingga mereka menganggap dirinya lebih tinggi dari raja laut sehingga mnuncul kekuasaan yang dinamakan kekuasaan Adi-raja Laut. Wilayah perairan Sulawesi kini dikuasai oleh berbagai kekuatan asing pada abad ke – 19 yang berisi negara Inggris, Belanda, Spanyol dan Amerika Serikat pada abad ke – 20. Kini batas-batas wilayah mereka menjadi batas negara dari Filiphina, Indonesia, dan Malaysia.

Tipologi kekuatan bahari pada masa itu membuktikan bahwa kekuatan bahari tidak dapat dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang, Adrian B. Lapain mengingatkan kepada kita bahwa imperialisme politik kolonial mencengkram tidak hanya kawasan Sumatra dan Jawa saja, melainkan wilayah Laut Sulawesi pada abad ke – 19. Dengan sumber data yang sangat akurat dan pemikiran beliau yang sangat jernih, buku ini sangat direkomendasikan bagi semua kalangan terutama mereka yang  ingin berfokus pada politik kolonial yang bertumpu pada kekuasaan bahari Nusantara pada waktu itu.