Orang Laut, Bajak Laut,
dan Raja Laut (Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX)
Oleh : Adrian B. Lapian
(Sejarawan Bahari)
Studi sejarah Indonesia pada waktu
sekarang ini hanya berfokus kepada masalah ataupun peristiwa yang terjadi di
daratan, padahal peristiwa yang terjadi daerah lautan juga berperan penting
dalam kemajuan suatu bangsa maupun peradaban. Seperti yang dikatakan oleh van
Leur bahwa sejarah Indonesia hendaknya jangan dilihat dari sebuah geladak kapal
Belanda maupun benteng-benteng pertahanan VOC, jadi secara garis besar corak
penulisan kita sampai sekarang terpaku pada netherland-sentris, bukan kepada
Indonesia-sentris yang lebih condong kepada penulisan sejarah para pribumi
maupun keberadaan bandar pelabuhan penting tidak boleh diabaikan sama sekali
oleh para sejarawan.
Indonesia merupakan salah satu
negara maritim terbesar yang ada di dunia, memiliki posisi strategis dalam hal
perdagangan, serta keberadaan ragam budaya yang bercorak pesisir atau bisa
dikatakan sebagai kebudayaan pesisir yang berisi kebudayaan panji di beberapa daerah di kawasan Asia
Tenggara. Oleh sebab itu, perhatian terhadap sejarah kemaritiman menjadi sebuah
prioritas istimewa dalam penulisan sejarah Indonesia.
Adrian B. Lapian di dalam buku ini
menjelaskan mengenai keberadaan Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut yang
berada di kawasan laut Sulawesi pada abad ke – 19. Periodisasi yang diambil
oleh beliau sangat cocok dengan keadaan sosial, ekonomi, budaya, maupun politik
yang terjadi pada waktu itu. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan
kapal-kapal kolonial yang berada di perairan nusantara, khususnya wilayah laut
Sulawesi yang menjadi fokus penulisan dalam buku ini. Masa ini adalah masa
strategis dimana kekuasaan maritim menjadi salah satu strategi penting bagi
pemerintahan kolonial untuk memberikan pengaruhnya di bidang politik demi
tercapainya monopoli kekuasaan dan perdagangan rempah-rempah yang bernilai
tinggi. Abad ke – 19 hingga awal abad ke – 20 merupakan awal kebangkitan dari
kekuataan maritim kolonial dan awal kemunduran dari kekuatan bahari milik para
pribumi akibat tertinggalnya teknologi pelayaran maupun pengaruh politik
kolonial yang sangat kuat menyerang para raja-raja pribumi di kawasan pesisir
maupun pedalaman.
Abad ke – 19 merupakan masa dimana
pemberantasan bajak laut menjadi fokus utama pemerintahan kolonial dalam rangka
memberantas kegiatan yang mereka golongkan sebagai perbuatan kriminal,
negara-negara yang sangat berkepentingan dalam memberantas para bajak laut di
kawasan Asia Tenggara adalah Spanyol, Belanda, dan Inggris yang pada waktu itu
sama-sama berusaha memberantas kelompok perompak atau bajak laut yang
meresahkan baik bagi para penduduk pribumi maupun pihak kolonial. Beberapa
karya-karya pemerintahan kolonial diantaranya seperti : 1. ‘Perang Bajak Laut
di Filiphina’ karangan Barrentes melawan orang Mindanaou dan Sulu, 2. ‘Sejarah
Bajak Laut Melayu-Muslim di Mindanao, Jolo, dan Kalimantan, 3. ‘Sketsa Bajak
Laut di Nusantara’ karangan Kniphorst, 4. ‘Bajak Laut
dan Perompakan di Kepulauan Hindia- Belanda, termasuk Mindanao dan kep. Sulu
karangan Gregory, dan 4. ‘Bajak Laut Melayu’ karangan Lavolle. Karya-karya
inilah yang memperlihatkan keterlibatan pemerintahan kolonial dalam menghadapi
fenomena bajak laut di kawasan mereka masing-masing.
Berdasarkan karya-karya di atas, Lapian
berusaha memberikan sebuah gambaran penulisan sejarah bahwa kita melihat sebuah
gejala bajak laut pada abad ke – 19 sebagai sebuah perang gerilya bahari
melawan ketidakadilan politik kolonial, bajak laut diindikasikan sebagai bagian
dari sebuah perang agama melawan orang kafir serta masyarakat umum menganggap
mereka tidak hanya dilihat sebagai penjahat semata, tetapi mereka adalah
kelompok social bandit seperti robin hood yang mendapat dukungan dari
rakyat, bandit-bandit ini berusaha keras memprotes dan menolak kekuasaan yang
lalim, bahkan cara kekerasan mereka tempuh untuk menegakkan keadilan yang
setegak-tegaknya.
Pilihan laut Sulawesi sebagai studi
fokus dalam buku ini didasarkan juga pada ketersediaan sumber primer maupun
sekunder yang membuktikan bahwa sebagian besar dari kegiatan para bajak laut
dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari wilayah ini, khususnta dari
kepulauan Sulu dan bagian selatan pulau Mindanao. Dari sudut pandang sejarah,
abad ke – 19 merupakan masa dimana kapal-kapal dari Barat mulai merapat ke
kawasan laut Sulawesi berkat pengembangan teknik pelayaran berupa kapal uap
akibat revolusi industri di Inggris pada abad ke – 18. Hal ini membuat
keberadaan kapal-kapal tradisional milik pribumi menjadi sangat tertinggal
khususnya di bidag teknologi pelayaran.
Pembagian
wilayah Laut Sulawesi dalam tiga daerah kolonial yang masing- masing merupakan
jajahan Spanyol di Filiphina, jajahan Hindia- Belanda yang berpusat di Batavia
dan protektorat Inggris di Kalimantan Utara, membawa dampak pada masa sekarang
wilayah ini terbagi dalam tiga bagian, masing- masing menjadi bagian RI,
Republik Filipina dan negeri Sabah yang merupakan negara-bagian dari
Persekutuan Malaysia.
Laut merupakan sebuah kawasan yang
dibatasi oleh batas-batas alam maupun batas-batas hukum yang didasarkan oleh
kebijakan pemerintahan kolonial masing-masing, laut bagi para penduduk pribumi
merupakan sebuah pemersatu atau continuum
yang memungkinkan mereka untuk berhubungan dengan penduduk di daerah seberang.
Anggapan daerah seberang sebagai ‘daerah terasing’ dari norma dan bentuk
kemasyarakatannya dapat dilihat berdasarkan faktor geografis seperti pegunungan
maupun daerah perairan berupa lautan antara Indonesia, Malaysia, dan Filiphina.
Perbedaan kebudayan di antara ketiga negara ini membentuk sebuah keragaman
budaya yang khas dan ada pula yang memiliki kesamaan seperti misalnya bahasa
penduduk pribumi maupun pesisir yang sama-sama memiliki arti yang sama walaupun
dengan pengucapan yang berbeda-beda.
Laut Sulawesi adalah wilayah
perairan yang menggenangi ceruk bumi yang dibntuk oleh pulau-pulau
Sangir-Talaud, semenanjung Sulawesi Utara, pantai Kalimantan Timur, gugusan
kepulauan Sulu dan pantai Mindanao Selatan. Daerah ini berada di 118 derajat –
125 derajat BT dan 1 – 8 derajat Lintang Utara. Kawasan ini berdekatan dengan
garis khatulistiwa sehingga memberikan daerah ini iklim tropis maritim yang
memiliki ciri khusus suhu tinggi, kelembaban yang relatif besar, serta gerak
angin yang sedang maupun pembentukan awan yang moderat.
Pola
pelayaran menuju laut Sulawesi dapat dimasuki melalui tiga arah yaitu, dari
sebelah utara dari laut Cina Selatan melewati Laut Sulu, dari sebelah timur melalui
perairan Sangir-Talaud, hingga yang terakhir melalui selat Makassar yang
menghubungkan laut Flores dengan laut Sulawesi. Para penduduk pribumi di
kawasan pesisir memiliki berbagai kebudayaan khas yang memiliki kesamaan maupun
perbedaan dengan penduduk pesisir di kawasan lain, hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya kesamaan rumpun bahasa bahwa kawasan Laut Sulawesi memiliki
rumpun bahasa sama yaitu Austronesia.
Bentuk
kebudayaan maritim selain rumpun bahasa yang sama adalah pengunaan moda
transportasi lokal berupa perahu-perahu yang mendapatkan pengaruh dari luar
seperti ‘dorehe’ dan ‘kora-kora’ yang dikenal di Maluku Utara (bahasa Ternate :
rorehe, korakora). Jenis perahu ‘caracoa’ di Filiphina Selatan mungkin berasal
dari Maluku Utara, sedangkan ‘bininta’ mirip dengan ‘binta(k)’ atau ‘vinta’ di
Filiphina Selatan. Kebudayaan maritim di daerah Sulawesi Utara justru tidak
berkembang seperti di kawasan kepulauan Sangihe-Talaud, namun jenis perahu yang
ditemukan disini juga bervariatif terutama dalam bentuk cadiknya. Beberapa
penduduk setempat seperti di daerah Gorontalo memiliki keahlian dalam membuat
kapal yang mereka sebut sebagai ‘boloto’.
Kebudayaan
maritim yang berada di berbagai kawasan pesisir Laut Sulawesi memberikan sebuah
gambaran berupa orang-orang yang disebut sebagai ‘orang laut’. Mereka diposisikan
sebagai masyarakat yang hidupnya berada di lautan dengan perahu yang mereka
tumpangi di lautan, mereka dikategorikan sebagai masyarakat ‘suku terasing’
yang berada dalam pembinaan departemen sosial RI, sedangkan di negara Malaysia
mereka dianggap sebagai kelompok ‘orang asli’. Mereka hidup secara koloni dan
nomaden dari satu tempat ke tempat lain, struktur organisasi mereka masih
berdasarkan pada ikatan-ikatan kelompok kecil masing-masing yang terpencar
serta tidak terpusat, mereka juga memiliki tingkat solidaritas yang sangat
tinggi baik pada hubungan keluarga dan bahkan lebih luas lagi cakupannya hingga
satu suku.
Beberapa suku laut di kawasan laut Sulawesi dikenal
dengan beberapa istilah seperti Orang Pesukuan, Rakyat, hingga Orang Kerahan.
Salah satu contohnya adalah orang Bajau, mereka dikenal sebagai orang laut yang
pernah menjelajah seluruh perairan Nusantara, meskipun mereka sekarang hanya
dikenal di bagian timur kepulauan, di Sabah dan kepulauan Sulu. Mereka memiliki
tiga tingkatan sosial masyarakat yaitu : mataan
(keluarga inti), pagmundah,
hingga dadakampungan. Bentuk-bentuk
perahu mereka memiliki ciri-ciri bentuk Eropa seperti misalnya perahu sapit, bentuk yang kedua adalah perahu lipa yang digunakan untuk menangkap ikan
serta sebagai tempat tinggal keluarga Bajau yang sederhana, bentuk yang ketiga
adalah vinta yang biasanya dipakai
unutuk menangkap ikan maupun dalam kegiatan penyelundupan. Ketiga perahu ini
memberikan kita sebuah kesimpulan bahwa perahu Bajau sebenarnya tidak banyak
berbeda dengan perahu masyarakat lain yang berada di perairan yang sama.
Orang laut juga mengadakan hubungan dengan orang
daratan berupa kontrak dengan raja pribumi untuk memenuhi kebutuhan mereka,
mereka lebih memerlukan bahan dari darat untuk memperbaiki perahu mereka maupun
memenuhi bahan makanan mereka. Hubungan kerjasama dengan orang darat memberikan manfaat yang sangat baik di antara
kedua belah pihak, dengan kata lain mereka sudah dianggap menjadi bagian penting
dari rakyat pemerintah setempat yang lebih tinggi, jadi mereka disebut juga
sebagai ‘Rakyat’ atau ‘Rakyat Laut’. Di samping itu, mereka juga diberitakan
bekerjasama dengan kelompok-kelompok lain dengan gerombolan bajak laut.
Keterlibatan orang laut dalam berbagai penyerangan
yang dilakukan oleh para bajak laut seringkali memberikan persoalan apakah
orang laut dapat dianggap sebagai bajak laut. Orang Laut adalah seorang yang
pemalu dan bahkan terkesan tertutup dari pengaruh luar sehungga mereka berusaha
menghindari konflik baik antara sesama anggota kelompok maupun dengan orang
luar. Namun sesekali mereka juga dapat bertindak secara agresif apabila wilayah
mereka dilanggar dan diganggu oleh pihak luar, dengan kata lain mereka
terpanggil untuk membela haknya yakni apa yang disebut sebagai ‘laut
teritorial’ sendiri, analogi yang telah disebutkan ini dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa Orang Laut juga mengenal semacam wilayah laut yang
dimilikinya, siapapun bisa ditangkap dan diadili apabila seseorang dari luar
mengancam wilayah mereka. Mereka dikatakan bisa menjadi tiga sisi yang berbeda
: orang laut murni, bajak laut (apabila wilayahnya diganggu dan diserang), dan
bahkan pengikut dari bajak laut atau perompak.
Kelompok kedua yang disebutkan dalam buku ini adalah
kelompok Bajak Laut, mereka adalah sekelompok orang yang melakukan tindakan
kekerasan di laut untuk meraih keuntungan pribadi dan menjalankan kekuasaan
tanpa intervensi dari pihak manapun. Mereka merampas, menawan awak kapal,
hingga membunuh siapapun yang menghalangi keinginan mereka, terutama para awak
kapal yang dijadikan sebagai budak untuk melayani kapal mereka. Korban-korban
dari aksi pembajakan para perompak rata-rata adalah orang keturunan asing yang
berasal dari luar Asia Tenggara, sebagian lainnya adalah para penduduk pribumi
yang diculik dan dijadikan budak untuk memenuhi ketersediaan tenaga kerja.
Beberapa motif seperti keagamaan, balas dendam, hingga sosial politik melatarbelakangi
maraknya kegiatan bajak laut di seluruh dunia, tak terkecuali kawasan wilayah
Laut Sulawesi. Mereka tidak hanya menjual para budak maupun memungut pajak yang
sangat tinggi, mereka melakukan kerjasama dengan Orang Laut untuk mendapatkan
tenaga ahli yang mahir di bidang navigasi pelayaran, sehingga kedua belah pihak
mendapatkan timbal balik yang saling menguntungkan satu sama lain.
Sama seperti kelompok Orang Laut, mereka juga memiliki
struktur organisasi yang jelas untuk mengorganisir dan mengatur anggota bajak
laut beserta awak kapalnya untuk mengarungi lautan lepas yang begitu luas serta
jumlah armada kapal yang sangat banyak. Hubungan antara patron-klien dengan
seorang datu memberikan sebuah
jaminan untuk membina dan menjaga hubungan baik ke atas maupun bawah, ke atas
dengan Sultan dan Rumah Bicara,
sedangkan yang ke bawah dengan para pemimpin yang membawahi kelompok masyarakat
yang masih terikat dalam adat kesukuan tradisional seperti kelompok Samal, Laut
dan Bajau. Seorang panglima juga harus menjaga wibawanya ketika memimpin suatu
armada yang besar, dan tidak kalah pentingnya adalah keberhasilan memilih waktu
pelayaran dan wilayah perompakan yang jelas untuk mendukung kegiatan pembajakan
agar berhasil secara maksimal dan terhindar dari kapal-kapal api milik
pemerintahan kolonial. Pada tingkatan perahu, nahkoda merupakan pemimpin yang
tertinggi yang memiliki wewenang penuh atas kapal atau perahunya serta dibantu
oleh seorang mualim, dan yang paling bawah adalah anak buah perahu atau ABK
yang merupakan tenaga kerja kasar. Struktur organisasi yang jelas dan kekompakan
antara petinggi dan bawahan bajak laut memberikan jaminan untuk keberhasilan
perompakan dan menambah peluang untuk memperluas kawasan wilayah kekuasaan
beserta pengaruhnya, tentu tanpa intervensi dari pihak manapun.
Beberapa kelompok bajak laut terkenal di kawasan Laut
Sulawesi adalah bajak laut Sulu, Mangindanao,
Balangingi, Tobelo, Papua dan lain sebagainya. Bajak laut Papua digunakan oleh
Pangeran Nuku dari Tidore untuk melakukan pemberontakan terhadap Sultan Tidore
besera pemerintahan VOC yang
berkedudukan di Ternate, kekuataan laut menjadi unsur penting dalam
keberhasilannya mengambil alih kursi kepemimpinan Sultan Tidore. Bajak Laut
dari Sulu atau Lanun adalah sekelompok bajak laut yang berasal dari pulau Lanun
yang melakukan aksinya untuk menentang politik kolonial Spanyol yang mulai
memasuki kawasan Mangindanao atau Lanun. Kelompok selanjutnya adalah Bajak Laut
dari Mangindanao yang semnejak abad ke – 17 telah berkonfrontasi dengan
kekuatan laut dan militer Spanyol, dan pada abad ke – 19 muncul lagi kelompok
bajak laut yang bernama Balangingi. Mereka berasal dari gugusan kepulauan
Samales yang merupakan bagian dari kepulauan Sulu, pangkalan tertua dari markas
kelompok ini adalah dari tahun 1836. Kelompok inilah yang mulai menggantikan
orang Lanun sebab nama mereka mulai banyak disebut sebagai orang bajak Laut dan
dalam bahasa Makassar ‘Kammamai Balangingi’ yaitu berarti seseorang yang
bertindak kasar.
Kelompok yang terakhir dari kedua kelompok di atas
adalah kelompok yang disebut sebagai Raja Laut, suatu jabatan tradisional
setempat yang memainkan peran penting dalam menegakkan kekuasaan di laut.
Jabatan ini selalu dipegang oleh salah seorang anggota keluarga Sultan, gelar
Raja Laut di kawasan Laut Sulawesi pada waktu sebenarnya dipegang oleh
tokoh-tokoh yang memimpin kekuatan laut kerajaan yang bersangkutan. Gelar ini
ternyata masih berada pada nomor 6 di bawah datu maupun Sultan. Gelar ‘Kapitan
Laut’ justru dianggap lebih penting serta di atas gelar raja laut berdasarkan
perjanjian VOC dengan raja pribumi setempat. Para Raja Laut ini juga diharuskan
untuk bekerja sama dengan Orang Laut agar kekuataan suatu kerajaan dapat tetap
terjaga dan disegani oleh pihak manapun. Memasuki abad ke – 17, kekuatan Raja
Laut pribumi nantinya akan bergeser kepada kekuasaan asing yang berupa para
bajak laut legal atau yang disebut sebagai korsario
yang dilegalkan oleh pemerintahan kolonial untuk mengambil alih kekuasaan laut
yang dimiliki oleh para raja pribumi.
Dengan mulai beralihnya kekuasaan laut dari pribumi ke
asing, maka kebijakan politik yang diambil pun mulai bergeser kepada kekuatan
asing seperti negara Spanyolm Belanda dan Inggris yang memiliki kekuasaan laut
di kawasan Laut Sulawesi. Mereka sama-sama saling bekerja sama untuk membagi
kawasan masing-masing dan menjaganya dari serangan para bajak laut pribumi yang
ingin menghancurkan hegemoni kekuasaan laut asing milik mereka. Sejak akhir
abad ke – 17, Spanyol dan Belanda telah mengambil sebuah kesepakatan untuk
membagi kawasan wilayah Laut Sulawesi dalam wilayah pengaruh mereka
masing-masing. Inggris menjadi primadona anggota Raja Laut asing dikarenakan
kemajuan yang sangat radikal dalam bidang pelayaran akibat revolusi industri
abad ke – 18 mengakibatkan mereka mulai menguasai jalur perdagangan strategis
seperti Sulawesi secara cepat berkat kemajuan teknologi kapal uap dan kapal api
yang cepat dan mampu memberangus kegiatan para bajak laut atau pirate yang dianggap menganggu wilayah
kekuasaan milik pemerintahan kolonial Inggris khususnya di kawasan Laut Cina
Selatan maupun Laut Sulawesi. Para anggota Raja Laut telah meningkatkan status
sosialnya menjadi Adi-Raja Laut.
Seiring dengan perkembangan teknologi pelayaran dan
teknologi persenjataan membuat anggota kelompok Raja Laut asing ini sepakat
untuk memberantas para bajak laut yang ada di perairan Laut Sulawesi dengan
mengeluarkan para korsario beserta
kapal api uap yang serta bersenjatakan modern sehingga cukup ampuh untuk
membunuh para perompak pribumi di kawasan Laut Sulawesi. Para perompak pribumi
mulai mengalami kemunduran ketika memasuki akhir abad ke – 19 dan awal abad ke
– 20 dimana mereka mulai diburu habis-habisan dan bahkan dihukum mati atas
kejahatan yang mereka lakukan akibat membangkang dan memberontak kebijakan
politik pemerintahan kolonial. Pada mulanya mereka memang masih sanggup
menghadapai tekanan yang diberikan oleh para bajak laut asing ini, namun lama
kelamaan posisi mereka semakin terpojok. Hal tersebut semakin diperkuat oleh
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah kolonial yang mengatur
tentang pelarangan bajak laut (pirate) dan menganggap mereka sebagai penjahat
di laut. Untuk itu pemerintah melakukan perburuan terhadap bajak laut, dan
mereka yang terbukti salah dan melakukan kejahatan di laut akan dihukum mati.
Bajak laut dalam arti pemerintah kolonial ini dapat dibagi menjadi dua jenis,
pertama yang disebut sebagai pirate
yaitu bajak laut yang melakukan kegiatan di laut secara illegal, dan
bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sedangkan yang kedua adalah korsario atau bajak laut yang melakukan
kegiatan di laut secara legal dan sesuai dengan hukum yang berlaku, bajak laut
tipe ini ditugaskan untuk menjaga keamanan dan keutuhan wilayah dari
masing-masing kekuataan asing yang diwakili oleh seorang Raja Laut asing. pada
akhirnya, secara resmi wilayah Laut Sulawesi pada abad ke – 19 jatuh ke tangan
kekuatan asing secara penuh berkat kemajuan yang mereka miliki dan sumber daya
yang lebih maju bila dibandingkan dengan kekuatan kapal milik para pribumi.
Simpulan yang bisa
didapat dari ketiga kelompok di atas adalah bahwa penulisan sejarah tidak hanya
sebatas pada kisah para pribumi yang berada di daratan, tetapi lautan juga
memiliki pengaruh penting dalam penulisan sejarah Indonesia khususnya sejarah
bahari. Kekuataan bahari yang dimaksudkan oleh Adrian B.Lapian adalah kekuatan
dari Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut. Ketiga-tiganya sama-sama berpeluang
untuk menduduki posisi masing-masing dan merupakan roda berputar yang tidak ada
habisnya sehingga tidak ada posisi yang selamanya digenggam oleh seseorang
maupun kelompok karena inilah hukum laut yang mutlak.
Orang Laut adalah tipe kelompok masyarakat yang
sederhana namun memiliki keahlian dalam bertahan hidup yang luar biasa,
ditambah lagi kerjasama mereka dengan kelompok bajak laut maupun raja laut
memberikan sebuah posisi tawar penting dalam keberjalanan kekuasaan di wilayah
laut, terutama wilayah Laut Sulawesi pada abad ke – 17 hingga – 19. Walaupun
dengan struktur organisasi dan sistem sosial yang sederhana, kelompok ini tetap
eksis hingga sekarang, dengan konsekuensi mereka adalah kelompok terasing yang
tidak dikenal oleh sebagai umum penduduk masyarakat Indonesia pada waktu
ausekarang ini.
Kekuatan bahari yang dimiliki oleh Bajak Laut
memberikan kita sebuah pelajaran penting bahwa sebuah kelompok yang memiliki
kekuatan armada laut yang kuat dan ditambah strukur organisasi yang rapi dan
teratur berhasil merubah tatanan sosial yang ada pada masa pemerintahan
kolonial, terutama abad ke – 17 hingga abad ke – 19. Dengan pimpinan yang
berwibawa dan anak buah kapal yang loyak, mereka berperang mengatasnamakan resistensi
terhadap pemerintahan yang kafir dan imperialis. Para kelompok bajak laut ini
disebut oleh masyarakat pribumi pedalaman sebagai bandit sosial yang mengatasnamakan keadilan walaupun dengan cara
yang salah, sampai sekarang keberadaan mereka tetap eksis di kawasan Nusantara meskipun
tidak sebanyak pada abad ke – 19. Kegiatan mereka yang berorientasi pada motif
ekonomi berupa penjualan budak-budak kepada pencari tenaga kerja maupun
pemungut pajak tinggi meningkatkan transaksi perdagangan yang terjadi selama
kurun waktu abad ke – 17 hingga – 19 di kawasan Asia Tenggara secara
keseluruhan, maupun kawasan Laut Sulawesi secara khususnya. Puncak kejayaan
mereka akhirnya runtuh pada abad ke – 19 dimana para Raja Laut asing
mengeluarkan sebuah peraturan untuk memberantas para kelompok bajak laut yang
mereka anggap ilegal dan melanggar hukum yang berlaku.
Raja laut yang awalnya dikuasai oleh para raja pribumi
juga bergeser kepada kekuataan asing yang memiliki keunggulan di bidang politik
untuk menekan pengaruh kekuasaan raja laut pribumi yang menganggu kawasan
wilayah mereka masing-masing. Para raja laut asing yang berisi para korsario atau bajak laut legal ini
memainkan peran pentingnya dalam dinamika sosial, ekonomi, maupun politik yang
terjadi di kawasan Laut Sulawesi berkat kemajuan teknologi pelayaran sehingga
mereka menganggap dirinya lebih tinggi dari raja laut sehingga mnuncul
kekuasaan yang dinamakan kekuasaan Adi-raja Laut. Wilayah perairan Sulawesi
kini dikuasai oleh berbagai kekuatan asing pada abad ke – 19 yang berisi negara
Inggris, Belanda, Spanyol dan Amerika Serikat pada abad ke – 20. Kini
batas-batas wilayah mereka menjadi batas negara dari Filiphina, Indonesia, dan
Malaysia.
Tipologi kekuatan bahari pada masa itu membuktikan
bahwa kekuatan bahari tidak dapat dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang,
Adrian B. Lapain mengingatkan kepada kita bahwa imperialisme politik kolonial
mencengkram tidak hanya kawasan Sumatra dan Jawa saja, melainkan wilayah Laut
Sulawesi pada abad ke – 19. Dengan sumber data yang sangat akurat dan pemikiran
beliau yang sangat jernih, buku ini sangat direkomendasikan bagi semua kalangan
terutama mereka yang ingin berfokus pada
politik kolonial yang bertumpu pada kekuasaan bahari Nusantara pada waktu itu.