Jumat, 17 Juli 2020

Kebudayaan Masyarakat Korea


Resume Kebudayaan Korea: Tanah dan Lingkungan Hidup
Oleh: Yuwana Galih Nugrahatama S.S


            Korea merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Asia Timur. Negara ini memiliki beragam kekayaan alam yang luar biasa, baik berupa pegunungan, sungai,  dan pantai. Wilayah pegunungan di Korea membentuk sebuah benteng pertahanan alami yang dapat menghalau serangan dari luar. Adapun keberadaaan sungai di Korea menjadi kekuatan pendorong dalam pembangunan ekonomi Korea. Kondisi geografis tersebut turut serta membentuk bentuk kebudayaan masyarakat Korea, terutama dari segi animisme dan dinamisme. Salah satu bentuk kebudayaan Korea yang paling terkenal adalah Dolmen yang berjumlah ribuan. Dolmen merupakan salah satu bentuk peninggalan masa Batu Besar. Bentuk peninggalan lainnya adalah lukisan dinding di gua yang menggambarkan keadaan alam dan masyarakat pada waktu itu.
            Pembentukan peradaban di suatu daerah tidak terlepas dari adanya sungai di sekitarnya. Di Korea sendiri, ada 4 sungai besar yang membentk peradaban di sekitarnya, yaitu sungai Amnok-gang,  duman-gag, Nakdong, dan Han-gang. Keempat sungai tersebut memiliki hulu di daerah Lembah Han-gang. Lembah tersebut dikenal menjadi tempat perkembangan kebudayaan di zaman Neolitik maupun 3 kerajaan, yaitu kerajaan Goguryeo, Baekje, dan Silla. Kerajaan Baekje merupakan kerajaan pertama di Korea yang menguasai sungai Han-gang sejak tahun 18 SM-660 M. Kemudian, kerajaan Goguryeo mengambil alih kekuasaan atas sungai tersebut sejak masa pemerintahan Raja Jangsu (413-491 M) dari kerajaan Baekje. Sungai Han kemudian diambil oleh kerajaan Silla atas bantuan kerajaan Tang dari Tiongkok. Dinasti Joseon (1392-1910) kemudian membawa Korea menuju zaman modern. Pada masa kerajaan Joseon, ritual-ritual keagamaan banyak dilakukan untuk menyembah empat sungai suci.
Kota Seoul Tahun 1905
Sumber: english.seoul.go.kr/seoul-around-1905/

Pada masa Dinasti Joseon, sungai Han berperan besar sebagai pintu masuk menuju kerajaan. Artinya, sungai tersebut berperan besar sebagai jalur transportasi utama penduduk. Bangsa asing juga mulai memasuki Korea melalui sungai tersebut sejak abad ke-19. Salah satu contohnya adalah bangsa Prancis yang mulai mendirikan sekolah pendeta pada tahun 1887. Adapun kapal-kapal Jerman dan Amerika Serikat mulai merapat dua tahun kemudian. Setelah meletusnya perang Cina-Jepang pada tahun 1894, pasukan Jepang mulai menguasai daerah Mapo dan Yongsan di sepanjang tepi sungai Han. Di dalam Seoul sendiri, banyak komunitas penduduk asing mulai mendirikan pangkalan militer, kedutaan, dan konsulat asing bagi Amerika Serikat.
Potret Duta Besar dan Konsulat Jenderal Amerika di Korea tahun 1905
Sumber: Willard Dickerman Straight Collection, Cornell University Library
Gereja Katedral Eonyang di Ulsan, dibangun sejak tahun 1936 oleh Lembaga Misi Prancis.
Insyinyur dari gereja ini adalah seorang Tionghoa.
Sumber: colonialkorea.files.wordpress.com/2015/12/dsc5849.jpg
Memasuki abad ke-20, Seoul berkembang pesat menuju urbanisasi dan mulai mendesak keberadaan sungai Han. Pembangunan yang tidak terkendali memaksa sungai Han untuk dimasukkan ke dalam pembangunan kota. Han-gang memegang peran penting dalam membentuk dua distrik, Gangnam (selatan) dan Gangbuk (utara). Sungai Han kemudia dirawat dalam Proyek Pemeliharan Han-gang  sejak tahun 1967-1970. Tepi sungai  dirancang sebagai sistem tanggul yang dirancang untuk melindungi kota dari bencana banjir. Apartemen mulai dibangun pesat pada tahun 1970 hingga mengakibatkan mahalnya harga lahan pada kawasan tersebut. Salah satu kawasan yang dikenal adalah Yeouido, sebuah pulau pasir yang kini dikenal sebagai ”'Manhattan-nya Seoul”.
            Sungai Han memang berperan besar dalam perekonomian dan politik Korea. Namun, ada satu sungai lagi yang berperan dalam terbentuknya Korea modern saat ini, yaitu Sungai Cheonggyecheon di Seoul. sungai Cheonggyecheon telah mengalami proses pemugaran dan pengerukan oleh pemerintah Korea. Sungai ini pada awalnya mengalir sebagai sungai utama bagi penduduk Seoul, namun mulai tertutupi bangunan padat yang merusak ekologi sekitar.
            Pada masa Dinasti Joseon, sungai Cheonggyecheon merupakan sungai kecil dan dangkal yang kadangkala meluap pada musim penghujan. Setelah Dinasti Joseon memindahkan ibu kotanya ke Hanyang (Seoul), pertumbuhan penduduk yang cukup besar membentuk perubahan arus sungai yang sudah ada. Proyek perawatan sungai tersebut sudah ada sejak zaman pemerintahan Raja Taejong (1400-1418). Proyek pertama Pemerintah mulai dimulai pada tahun 1412. Pemerintah mulai membangun sistem pengairan  dengan tanggul-tanggul batu. Namun hal tersebut tidak membuat sungai membaik, justru tetap mengalami banjir saat mengalami musim penghujan.
Proyek besar kemudian dimulai pada tahun 1760 untuk mengeruk dasar sungai. Keluarga-keluarga kaya di Seoul juga mengerahkan banyak tenaga, di sisi lain penduduk lokal dan warga luar kota untuk membantu proyek tersebut. Menurut Buku Tahunan Dinasti Joseon, Cheonggyecheon telah dikeruk sebanyak 8 kali setelah kelahiran Raja Jeongjo. Setelah kondisi mulai  membaik, jembatan batu dibangun untuk mobilitas penduduk. Ada beberapa jenis jembatan batu selama masa Dinasti Joseon, yaitu Ogansugyo (Gerbang Air Ogansugyo), Supyogyo (mengawasi ketinggian air), dan Gwangtonggoyo (jembatan terbesar di ibu kota).
Pada masa pendudukan Kolonial Jepang, Cheonggyecheon adalah magnet bagi masyarakat kota berpenghasilan rendah. Namun, bagi pemerintahan kolonial Jepang, sungai tersebut adalah garis batas kebudayaan antara bangsa Korea yang tidak beradab  dengan bangsa Jepang yang beradab. Sejak tahun 1910, pemerintahan kolonial Jepang menyebut sungai tersebut yang berarti "air lembah bersih”. Pemerintah Jepang juga baru melaksanakan pengerukan sungai tersebut pada tahun 1918 sebagai proyek pekerjaan umum. Namun, usaha ini gagal meningkatkan kondisi kualitas lingkungan di sekitarnya. Hal ini dikarenakan lumpur dan sampah yang dikeruk dari dasar sungai dibuang di jalanan permukiman masyarakat. Hal tersebut membuat kondisi lingkungan yang tidak sehat. Surat kabar Korea banyak mengkritik kebijakan tersebut mengenai ketidakadilan dalam pengelolaan sungai tersebut. Kawasan tersebut dikenal sebagai “penyakit kota”. Akhirnya, gagasan untuk menutup sungai mulai digagas oleh Jepang dengan membangun jalan di atas permukaannya.

Perkembangan Wilayah Sungai Cheonggyecheon dari masa ke masa
Sumber: arch.mcgill.ca/prof/mellin/arch671/winter2004/student/Lee/pics/09sitedocu/004-2.jpg
Roadmap normalisasi Sungai Cheonggyecheon
Sumber: .arch.mcgill.ca/prof/mellin/arch671/winter2004/student/Lee/pics/09sitedocu/004-2.jpg
Sentra Pasar Bekas Sewoon
Sumber: arch.mcgill.ca/prof/mellin/arch671/winter2004/student/Lee/pics/09sitedocu/006-1.jpg
  Pascakemerdekaan, sungai tersebut mulai ditutup secara total pada tahun 1958. Selama lebih dari 4 tahun sesudahnya, daerah pusat sungai dari Jembatan Gwanggyo menuju Gerbang Air Ogansumun ditutup dengan beton dan pada ahun 1966 hilir sungai paling bawah juga ditutup. Kekumuhan kota mulai hilang dari pandangan masyarakat. Daerah-daerah di sekitarnya menjadi pusat kegiatan industri dan perdagangan. Kawasan tersebut mulai dikenal sebagai sentra kios barang-barang elektronik dan perabotan rumah, terutama di Pasar Sewoon. Pasar barang antik juga dapat ditemukan di kawasan Hwanghak-dong. Akibat semakin padatnya penduduk dan beragam permasalahnnya, pemerintah Korea berencana untuk memugar kembali Cheonggyecheon sebagai pengendali banjir seperti semula
Peta Lama Kota Seoul Berdasarkan Pungsu atau Fengsui Korea
Sumber: http://www.san-shin.net/Pungsu-jiri.html
Selain keberadaa sungai, peradaban masyarakat Korea juga terbentuk dari keberadaan pegunungan. Salah satu barisan Pegunungan Korea adalah barisan gunung Baekdudaegan. Barisan pegunungan ini mengelilingi Kota Seoul sebagai pusat pemerintahan Dinasti Joseon. Kota Seoul dikelilingi oleh empat pegunungan, yaitu Bukhan-san di sebelah utara, Nam-san di sebelah selatan, Nak-san di sebelah timur, dan Inwang-san di sebelah utara. Menurut kepercayaan masyarakat Korea, Kota Seoul dijaga oleh Naga Biru, Harimau Putih, Burung Phoenix Merah, dan Kura-Kura Hitam. Seoul juga dikelilingi sekitar 26 gunung sehingga membentuk lingkaran dinding luar yang mengelilingi kota. Bisa dibilang, Seoul merupakan desa pegunungan.
Pungsu Korea beraksara Korea-Tiongkok tahun 1848
Sumber: http://www.antiquealive.com/Blogs/Korean_Feng_Shui.html
Dari segi fengsui atau pungsu, gunung merupakan tempat suci bagi dewa yang bersemayam. Gunung Bukhan-sam digambarkan sebagai sumber tenaga yang memberikan kekuatan hidup bagi gunung-guung yang mengelilingi Kota Seoul. Atas dasar inilah, pendiri Dinasti Joseon memilih Seoul sebagai ibu kota kerajaannya. Bagi masyarakat Korea, gunung diibaratkan sebagai seekor naga. Sebuah gunung dapat dilacak melalui jejak geologisnya. Pegunungan Korea umumnya berasal dari jalur pegunungan Himalaya, melalui Mongolia, dan mencapai Baekdu-san. Baekdu-san inilah dianggap sebagai gunung leluhur Korea di dalam prinsip-prinsip fengsui. Gunung adalah penggambaran unsur yin  dan sungai adalah unsur yang. Bagi pengikut shaman di Seoul, Bukhan-san dipuja sebagai gunung tersuci dan mata air bagi shamanisme.
Masyarakat Korea sangat percaya akan pentingnya pegunungan untuk kehidupan mereka. Bentuk rasa syukur diwujudkan dalam  ritual-ritual pemujaan  dan keagamaan. Pada zaman kerajaan, pemerintah menyelenggarakan gukhaengje atau ritual memuja gunung, sedangkan masyarakat desa mengadakan rituak sansinje untuk menghormati dewa-dewa gunung. Para penganut Shaman seringkali mendirikan altar-altar pemujaan, sedangkan masyarakat biasa banyak membuat gubuk-gubuk jerami. Salah satu contoh  dari altar penganut shaman adalah Gua Donjungul di dalam Benteng Bukhansanseong maupun tempat pemujaan Bohyeonsansingak di bawah puncak Bohyeonbong. Kawasan Bukhan-san juga menawarkan gutdang atau barang-barang yang disewakan untuk menyelenggarakan ritual Shaman. Hal ini disebabkan perubahan komunitas masyarakat desa ke kota, sehingga mereka membutuhkan barang kebutuhan ritual yang cepat dan berkualitas.
Tempat pemujaan Kaum Sansin di Korea
Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/75/Korea-Saseongam_11-08081_Sanshingak.JPG
Bagian dalam kuil pemujaan Sansin
Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b1/Korea-Saseongam_11-08082_Sanshingak.JPG
Kesatuan yang harmoni antara sungai dan pegunungan membuat Korea memiliki toponimi permukiman yang unik dan kuat. Hal tersebut kemudian diwujudkan dalam membentuk daerah perbentengan yang memanfaatkan topografi gunung dan sungai. Korea dikenal memiliki ribuan benteng yang telah dibangun sejak ribuan tahun lamanya. Benteng di Korea umumnya berfungsi sebagai pertahanan utama maupun pusat logistik pada masa peperangan. Pegunungan Bukhan-san, yang bentuknya menyerupai batu karang terjal dan puncak yang curam menjadi tempat strategis untuk membuat benteng pertahanan Kota Seoul. Memasuki era modern, benteng dibuat dengan memanfaatkan bahan berkualitas di sekitarnya disertai kemajuan teknologi arsitektur dan tata kota.
Korea dikenal memiliki benteng-bentneg yang rata-rata berusia 3.000 tahun, diperkirakan terdapat 2.600 benteng yang dibangun melintasi sebuah area yang memanjang dari Manchuria ke Jepang. Dalam hal ukuran, benteng dibuat dengan ukuran kurang dari 100 m hingga 20 km. Pembangunan benteng paling aktif dilakukan selama masa 3 kerajaan (1 SM – 7 M), Silla Bersatu (676-935 M), dan masa kerajaan Balhae (698-929 M). Benteng juga dibuat sebagai media pertahanan pada masa Dinasti Goryeo.
Pembangunan benteng pertama di Korea dilakukan sejak Zaman Perunggu. Daerah berbukit dengan daerah dataran dilidungi oleh aliran parit dengan jarak tertentu. Kemudian dikembangkan menjadi tembok-tembok tanah yang kemudian berubah menjadi tembok kokoh berbahan dasar batu alam. Benteng di Korea umumnya dikembangkan dengan 2 tipe utama, yaitu benteng yang dibangun dengan dataran rendah yang dilintasi sungai maupun benteng pegunungan yang dibangun di dataran tinggi. Benteng di Korea memiliki karakteristik lengkung dan garis yang tidak teratur karena memanfaatkan topografi alam di sekitarnya. Hal ini berbeda dengan benteng di Tiongkok yang berbentuk persegi maupun benteng dengan garis dan sudut tegak lurus pada masa Jepang Modern.
Memasuki pertengahan abad ke-16, benteng pegunungan mulai sedikit aktif karena bergeser menuju dataran rendah. Hanya ada sekitar 41 benteng pegunungan yang masih aktif di seluruh wilayah Korea. Tembok kota mulai dibangun di dataran rendah seperti halnya Tiongkok dan Jepang. Namun, benteng pegunungan tetap digunakan karena memiliki banyak keuntungan, yaitu dapat mengamati gerakan musuh dari jauh, pertahanan berlapis, dan sumber daya yang melimpah. Beberapa contoh benteng pegunungan di Korea, antara lain benteng Daeseong-sanseong, Baengma-sanseong, dan Onyeonsanseong, Ondalsanseong, Gongju Gongsanseong, dan Joreong Gwanmunseong. 
Potret benteng Bukhansanseong di Pegunungan
Sumber: tong.visitkorea.or.kr/cms/resource/94/1808494_image2_1.jpg
Salah satu benteng pegunungan yang dibuat pada masa modern adalah benteng Bukhansanseong yang dibangun sejak tahun 1711 oleh Raja Sukjong. Benteng ini dibuat untuk mempertahankan ibukota dari serangan arah utara. Benteng ini memiliki dinding yang membentuk garis keliling sepanjang kurang lebih 8 km, dibangun utnuk melindungi tiga daerah untuk Komando Latihan Militer, Garnisun Ibu Kota, dan Komando Brigade Kerajaan. Di sepanjang dinging terdapat 14 pintu gerbang, lima di antaranya terdiri dari lengkungan batu dan tenda kayu yang besar. Sisanya ada 9 pintu gerbang rahasia, termasuk pintu gerang timur kecil yang dibangun untuk menuju ke lapangan, dan pintu gerbang air. Sebanyak 143 menara benteng dibangun di sepanjang dinding dengan berbagai jarak.

Ammun adalah pintu kecil sebagai pintu masuk tersembunyi.
Lokasinya juga harus sulit dijangkau oleh musuh.

Ongseong adalah tembok yang berbentuk setengah lingkaran di depan benteng.
Bagian ini berfungsi untuk melindungi gerbang benteng atau dinding benteng.
Sumber: world.kbs.co.kr/special/unesco/contents/excellent/e11.htm?lang=

Yeojang adalah pagar yang dibangun secara rendah di atas tembok
Sumber: world.kbs.co.kr/special/unesco/contents/excellent/e11.htm?lang=i
Benteng lainnya yang dibuat adalah benteng Hwaseong di Kota Suwon, dibangun pada abad ke 18 oleh Raja Jeongjo dari Dinasti Joseon. Pembangunan benteng ini rupanya  dilatarbelakangi kepentingan politik setelah kematian tragis ayahnya. Di sisi lain, Suwon adalah kota yang strategis dan terletak antara Seoul dan wilayah selatan sehingga arus barang sangatlah tinggi. Pembangunan benteng dirancang oleh Jeong Yak-yong, seorang pegawai perpustakaan kerajaan. Buku-buku teknologi dari Tiongkok dan Barat menjadi dasar pembangunan benteng di daerah Suwon. Pembangunan benteng direncanakan dimulai pada musim semi tahun 1794 dan selesai pada musim gugur tahun 1796. Benteng ini diproyeksikan untuk menahan serangan artileri dengan membangun dinding dalam untuk kekuatan tambahan. Sarana di dalam benteng sama seperti lainnya, hanya saja sepanjang kubu pertahanannya dipasang meriam dan senapan dengan jarak sekitar 100 meter.
 
Benteng Hwaseong tampak dari depan
Sumber: korea.net/upload/content/editImage/181023_Suwon%201_in.jpg


Benteng Hwaseong tampak dari samping
Sumber: commons.wikimedia.org/wiki/File:Hwaseong_Fortress-002.jpg
Memasuki abad ke-19, banyak tembok kota atau eupsong berukuran kecil hingga besar banyak dibangun dengan teknologi mutakhir. Tembok kota merupakan tempat interaksi masyarakat umum dengan pihak kerajaan. Pintu gerbang kota dibangun di titik-titik strategis. Bagian utara kota biasanya terdapat bangunan pemerintah dan bagian selatan dipenuhi dengan pasar dan rumah penduduk. Dalam mebangun tembok kota, masyarakat dan wilayah di sekitarnya dikerahkan. Setiap desa juga ditugaskan membangun bagian tertentu dari tembok kota. Desa yang hasil panennya melimpah ditugaskan lebih banyak daripada desa lainnya. Ukurannya lebih besar dan panjang dari desa lainnya. Pada titik awal tiap bagian, sebuah batu tulis penanda ditempatkan untuk mengetahui pembangunnya. Banyak tradisi juga dilakukan untuk mengenang pembuatan tembok kota, yaitu Festival Menjejak Tembok yang diselenggarakan di Gochang setiap tahun pada hari ke-9 bulan ke-9 dan ditetapkan sebagai Hari Warga Gochang.
Kondisi alam dan masyarakat Korea yang majemuk tentunya juga memengaruhi bentuk kebudayaan lain berupa dolmen. Apa itu dolmen? Dolmen merupakan salah satu bentuk kebudayaan Megalitikum atau zaman Batu Besar. Dolmen berbentuk meja batu besar yang berfungsi sebagai media pemujaan terhadap nenek moyang. Jumlah dolmen di Korea berkisar sekitar 29.510 dolmen. Selain di Korea, dolmen juga dapat ditemukan di wilayah Asia Timur lainnya seperti Tiongkok dan Jepang. Bentuk peninggalan dolmen inilah yang menarik para penjelajah dan misionaris dari Eropa untuk datang ke Korea pada akhir abad ke-19.
Dolmen Ghanghwa
Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/en/3/36/Dolmen_korea_ganghwa.jpg
Dolmen yang ditemukan di Korea mayoritas merupakan dolmen berkelompok yang terdiri dari 10 atau lebih dolmen. Namun, ada juga dolmen yang berjumlah lebih dari 400-500 dolmen. Sejauh ini, wilayah Semenanjung Korea memiliki tingkat konsentrasi dolmen lebih banyak bila dibandingkan daerah lain di Eurasia. Bentuk dan karakteristik dolmen di Korea dapat dikelompokkan ke dalam model utara dan model selatan. Dolmen model utara banyak ditemukan di wilayah semenanjung utara dan timur laut, sedangkan dolmen model selatan banyak ditemukan terletak di sebelah selatan Semenanjung Korea dan Kyushu, Jepang. Dolmen model selatan memiliki ruang makam yang digali ke dalam tanah, dan batu ditempatkan di sekeliling ruang makam. Adapun dolmen model utara dibangun di atas permukaan tanah, terdiri dari sebuah ruang yang dipagari oleh empat dinding batu tegak dan ditutupi oleh batu pipih yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan ukuran luas ruang makam. Perbedaan antara dolmen Asia Timur Laut dengan model Eropa Barat, yaitu dolmen Asia Timur Laut dibangun dengan ruang makam tunggal, sedangkan dolmen Eropa Barat mencakup bangunan untuk beberapa makam.
Dolmen gaya utara di Pulau Ganghwa
Sumber: upload.wikimedia.org/Example_of_a_northern-style_dolmen_at_Ganghwa_Island.jpg
Dolmen gaya selatan di Pulau Ganghwa
Sumber: upload.wikimedia.org/Example_of_a_southern-style_dolmen_at_Ganghwa_Island.jpg
Dalam membangun sebuah dolmen, hal utama yang harus dasar dan perlu diperhatikan adalah usaha untuk menggali dan memindahkan batu penutup. Sebagian batu penutup dibuat dengan cara memotong batu besar bundar dari pegunungan. Batu besar tersebut akan dibentuk menjadi batu pipih yang berbentuk persegi, adapun batu penutup berbentuk persegi atau oval. Membangun dolmen tentunya membutuhkan tenaga kerja yang sangat besar. Struktur sosial juga memengaruhi pembagian kerja. Mayoritas berat dolmen lebih dari 40-100 ton.
 
 Dolmen Pingmaebawi berinskripsikan Korea tahun 1920, tertulis "Milik Keluarga Min"
Sumber: upload.wikimedia.org/Hwasun_Dolmen_IMG_20161001_140032.jpg
Beberapa contoh dolmen yang ada di Korea adalah dolmen Gochang, dolmen Hwasun, dan dolmen Ganghwa. Dolmen Gochang berada di wilayah seluas 1,8 km2 dan berjumlah 442 buah. Dolmen di daerah ini berbentuk meja permainan dan memiliki benda-benda permakaman seoerti keramik tanah. Dolmen Hwasun berbentuk meja catur berukuran besar yang digunakan sebagai upacara keagamaan. Banyak juga ditemukan benda pemakaman seperti pecahan keramik, mata panah batu, peralatan memahat, pedang, dan lumpang. Dolmen Ganghwa sendiri memiliki jumlah 127 dolmen dan berbentuk ruang pemakaman maupun monumen. Dolmen ini terletak di sepanjang punggung gunung yang cukup tinggi.
Bagi masyarakat Korea, dolmen merupakan tempat sakral sebagai altar persembahan terhadap roh nenek moyang. Oleh sebab itu, banyak festival budaya bertemakan dolmen dilaksanakan, salah satunya adalah Festival Dolmen Ganghwado. Kegiatan yang dilakukan, antara lain pengalaman penmbuatan dolmen, pembuatan peralatan baru maupun keramik, pembuatan api, dan wisata sejarah. Beberapa wilayah juga membuat taman dolmen sebagai sarana pendidikan, salah satunya adalah Taman Dolmen Suncheon. Taman ini dibangun untuk melestarikan dolmen dari ancaman proyek pembangunan bendungan baru.
Bentuk peninggalan zaman Batu Besar lainnya adalah lukisan dinding gua. Lukisan dinding juga diadopsi oleh masyarakat Korea. Salah satu bentuk lukisan dinding yang dikenal di Korea adalah lukisan dinding makam kerajaan Goguryeo. Makam ini terletak di wilayah Korea Utara dan Cina Timur Laut. Ada 100 lukisan dinding makam yang sudah teridentifikasi. Sejak abad ke-4, sebagian besar lukisan makam Goguryeo dibuat dengan menggunakan tinta Cina dan cat-cat yang digoreskan ke atas dinding dalam berplester. Dinding-dinding tersebut terbuat dari batu datar dan dilukis secara langsung. Teknik langsung digunakan pada daerah-daerah yang memiliki granit berkualitas tinggi.
Makam Raja Goguryeo
Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/ad/Tomb_of_the_General_1.jpg

Denah Makam Anak Raja Goguryeo No.3
Sumber: nkcp.or.kr/nkcp/eng/mn_01/img/img04.gif
Secara umum lukisan dinding makam Goguryeo mencakup dua tipe utama, yaitu kapur dan batu. Teknik yang paling umum digunakan adalah lukisan kapur. Teknik fresco atau melukis menggunakan cat air merupakan metode yang umum digunakan untuk melukis potret. Teknik tersebut digunakan sejak abad ke 4 sampai ke-6. Lukisan yang sering dibuat berupa penggambaran matahari, bulan, potret penghuni makam, Dewa-Dewa Tao, binatang, dan tanaman suci. Beberapa motif juga dipengaruhi oleh lukisan dan motif  dari Cina masa Dinasti Han, Sui, dan Tang. Pada abad ke 4-6, lukisan dinding populer menggunakan berbagai motif, sedangkan pada abad ke 6-7, motif yang digunakan menggunakan gambar Empat Dewa. Taoisme dan Buddhisme sangat kental dalam lukisan dinding makam tersebut.
 
Mural Sang Raja di Pemakaman Anak No 3
Sumber: art-and-archaeology.com/korea/goguryeo
Mural bersimbolkan 4 hewan suci
Sumber: nkcp.or.kr/nkcp/eng/mn_01/mn01_04.html
Mural orang berstatus tinggi
Sumber: nkcp.or.kr/nkcp/eng/mn_01/mn01_04.html

Mural bunga Lotus yang melambangkan keabadian
Sumber: nkcp.or.kr/nkcp/eng/mn_01/mn01_04.html
Mural berlambangkan naga, burung merak, atau burung yang dikeramatkan
Sumber: nkcp.or.kr/nkcp/eng/mn_01/mn01_04.html
Mural naga kuning yang melambangkan simbol Raja Goguryeo
Sumber: nkcp.or.kr/nkcp/eng/mn_01/mn01_04.html
Agar lukisan pada dinding makam awet maka metode yang digunakan mengandalkan tingkat kelembapan, teknik fresco, dan mengandalkan perekat tradisional (esktrak kulit sapi, ikan, rusa, dan ganggang laut). Perekat yang digunakan harus memiliki kekentalan yang rendah dan kejernihan yang tinggi (efektif menyerap kelembapan tinggi). Beberapa lukisan dinding di Dunguang menggunakan teknik tempera barat atau menggunakan kelembapan alami gua. Selain itu, beberapa pelukis juga menggunakan cat khusus berbahan tradisional maupun kimia dan teknik lukisan tebal agar lukisan menjadi awet.
Peta dunia tertua bernama GangnidoSumber: henry-davis.com/MAPS/LMwebpages/236.html
Selain lukisan dinding makam maupun gua, Korea juga memiliki bentuk peninggalan peta kuno. Sebagian besar peta kuno Korea berbahan cetakan balok kayu hingga kertas. Dinasti Joseon juga menghasilkan peta dunia tertua yang bernama Honilgangniyeokdaegukdojido. Peta ini dibuat dalam model seperti peta astronomi. Raja Taejo membuat sebuah diagram astronomi yang  dibuat dan diukir di atas lempengan batu. Peta tersebut kemudian digabungkan dengan peta Cina dan Jepang pada masa Raja Taejong berkuasa. Peta ini juga menggambarkan kawasan lain seperti Afrika dan Eropa.
Peta dunia Cheonhado abad ke-17
Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f3/Cheonhado_Map.jpg

Peta dunia Cheonhado yang menggambarkan satu sisi adalah Dinasti Ming.
Adapun sisi lainnya menggambarkan sisi lain dunia.
Sumber: loc.gov/item/93684246/
Sisi lain peta dunia Cheonhado yang dibuat pada abad ke-18
Sumber: loc.gov/item/93684246/
 Salah satu peta modern yang dibuat oleh sarjana Joseon pada abad ke-18 adalah peta Cheonhado yang menggambarkan seluruh dunia. Peta ini dibuat berdasarkan Peta Lengkap Semua Negara dari buku Penjelasan Geografi yang ditulis oleh Giulio Aleni. Saat ini ada lebih dari 10 jenis peta Cheonhado yang menggambarkan paduan antara dunia yang sebenarnya dengan dunia fiksi, termasuk duplikat dan cetakan balok-balok kayu yang masih ada. Puncak pembuatan peta dunia terjadi pada masa akhir Dinasti Joseon, yaitu pada pembuatan cetak balok kayu Daedongnyeojido oleh Kim Jeong-ho. Teknik kartografi yang unik  dan metode penggambarannya juga menambah estetika dan informasi peta yang disajikan. Keunikan dari peta ini adalah pegunungan digambar sebagai suatu barisan yang terus menyambung dengan aliran sungai. Ini digambarkan sebagai konsep yang memandang gunung dan sungai sebagai sistem rangka dan sirkulasi dari tubuh manusia.