Senin, 06 Januari 2020

Jejak Islam di Kauman Mangkunegaran


Jejak Islam di Kauman Mangkunegaran
Oleh: Yuwana Galih Nugrahatama
Masjid Al-Wustha Mangkunegaran
Sumber: Dokumentasi Pribadi
          Dalam tipologi kampung di Jawa, Kauman adalah bagian penting dalam struktur pemerintahan kerajaan Islam sejak abad ke-15. Kauman dihuni oleh para santri dan pedagang yang berdekatan langsung dengan masjid Agung di suatu daerah. Beberapa dihuni oleh masyarakat lokal maupun pendatang seperti Arab, India, Minangkabau, maupun Banjar. Dalam tata kota yang bercorak keraton sentris, masjid menjadi simbol keagamaan, sedangkan pasar disimbolkan sebgai roda perekonomian. Kondisi semacam ini membuat beberapa kampung Kauman di beberapa daerah menjadi pusat perekonomian dengan berbagai komoditas, terutama komoditas tekstil.
            Di Surakarta, masyarakat umum hanya mengenal kampung Kauman yang berdekatan dengan masjid Agung Solo. Selain itu, kampung Kauman juga dikenal sebagai sentra penghasil kain batik bercorak keraton. Beberapa penduduk Kauman memasok kain batik ke Pasar Klewer maupun dikirim ke luar kota. Adapun Kauman sendiri juga berperan penting dalam mengembangkan pendidikan Islam modern di Solo pada awal abad ke-20. Atas prakarsa Raja Pakubuwono X  maka berdirilah Sekolah Mambaul Ulum yang bertujuan untuk mencetak ulama sekaligus membendung kekuatan zending pada waktu tersebut.
            Namun, keberadaan kampung Kauman tidak hanya ada pada toponimi permukiman Keraton Kasunanan Surakarta. Keberadaan lain kampung Kauman juga ada pada toponimi permukiman keraton Mangkunegaran. Untuk lebih jelasnya, letak keberadaan kampung Kauman Mangkunegaran berada persis di sebelah utara Pura Mangkunegaran atau sebelah barat daya Pasar Legi.
            Saya berkesempatan menjelajahi kampung Kauman Mangkunegaran bersama komunitas Solo Societeit pada bulan Mei 2018 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Titik awal penjelajahan kali ini dimulai dari kawasan sebelah barat Pasar Legi. Sebelum menjadi Pasar Legi, dulu kawasan Praja Mangkunegaran memiliki dua pasar, yaitu Pasar Legi dan Pasar Totogan. Keduanya sudah ada sejak zaman Mangkunegara I.
Selain mendirikan pasar sebagai pusat perekonomian Praja Mangkunegaran, Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I berinisiatif untuk mendirikan permukiman khusus untuk masyarakat santri yang dinamakan kampung Kauman. Sebelum mendirikan masjid Al-Wustha, terdapat beberapa langgar yang didirikan di kampung Kauman, seperti langgar Rawatib. Langgar ini merupakan langgar tua yang tersisa di Kauman. Berdasarkan informasi dari keluarga Ibu Salamun maupun Serat Pusarani tahun 1930, langgar ini dibangun pada tahun 1935 oleh Muhammad Abid dari Rembang yang datang ke Solo untuk mengadu nasib sebagai pedagang. Hal ini masih terlihat dengan angka tahun pada langgar tersebut.

Langgar Rawatib
Sumber: Dokumentasi Pribadi
           Selain keberadaan langgar rawatib, juga terdapat bekas pendapa dan kediaman pribadi Mangkunegara I sebelum menandatangani perjanjian Tuntang di Salatiga mengenai pembagian wilayah kekuasaan Mangkunegaran dan Kasunanan di Surakarta. Dahulu, kompleks pendapa dan bekas masjid Kauman lama berada di kawasan sebelah barat daya Pasar Legi. Titik utamanya sendiri berada masuk di bagian toko ABC. Di bagian dalam rumah masih dapat ditemukan sumur maupun kamar yang menjadi bagian pendapat utama Praja Mangkunegaran sebelum pindah ke lokasi sekarang ini. Bangunan kompleks pendapa tersebut pernah ditinggali oleh cucu Mangkunegara I bernama Raden Ayu Penghulu Iman. Pada masa Mangkunegara III, masjid Kauman lama memiliki penghulu bernama K.H Abdul Kadir.
 
Toko ABC
Sumber: Dokumentasi Pribadi
           Bagian dari kompleks pendapa ini rupanya sekarang difungsikan sebagai galeri seni sejak tahun 1972. Sebelumnya, bangunan ini dulunya merupakan milik Patih Mangkuyudho yang merupakan negosiator dan penghubung antara Raja Pakubuwono III dengan Pangeran Sambernyawa saat perang saudara. Bentuk peninggalan fisik lainnya adalah adanya pintu buthulan  atau samping yang kini tidak begitu lengkap karena perkembangan zaman. Menurut penuturunan keluarga keturunan Nitiredjo, Pangeran Sambernyawa menetap disini selama setahun sejak tahun 1756-1757 menjelang penandatangan perjanjian Tuntang di Salatiga tahun 1757.
Gedung Pakuwon, sebelah barat Alun-alun Salatiga
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Bagian Pendapa  Luar
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Bagian Pendapa Dalam
Sumber: Dokumentasi Pribadi
 
    Di dekat pendapa, dahulu terdapat bangunan masjid Kauman lama sebelum akhirnya dipindah ke tempat sekarang. Sisa-sisa puing dibersihkan oleh Mangkunegara IV. Situs ini sudah ada dalam Babad Lelampahan. Makam tersebut berisi cucu maupun kerabat Mangkunegara I. Kompleks pemakaman ini masih berada di dalam salah satu warga dan sering diziarahi oleh abdi dalem Mangkunegaran.
Makam cucu/kerabat Mangkunegaran
Sumber: Dokumentasi Pribadi
            Tradisi yang mengakar kuat pada masyarakat Kauman Mangkunegaran berimbas pada kehidupan masyarakat di sekitar Pura Mangkunegaran. Beberapa catatan sejarah mencatat bahwa masyarakat Kauman menawarkan diri untuk menjadi bagian dalam pembangunan Pendapa Mangkunegaran maupun memperbaiki bagian yang rusak di dalam Pura Mangkunegaran. Masyarakat Kauman tidak hanya memiliki kecakapan dalam ilmu agama, melainkan juga dibekali ilmu militer langsung oleh Mangkunegara I. Tidak hanya itu, perempuan dari kampung Kauman juga dikenal sebagai ulama dan prajurit perempuan tangguh yang tergabung dalam Prajurit Estri Mangkunegaran yang dibentuk oleh Matah Ati, istri dari Mangkunegara I[i]. Untuk menjadi prajurit ini, seseorang harus memiliki kemampuan memainkan senjata, menunggang kuda, pandai bernyanyi dan menari, hingga memainkan alat musik[ii]. Di Aceh, prajurit estri juga memiliki kedudukan sebagai pengawal yang diistimewakan dialam hierarki perempuan kerajaan Aceh[iii].
            Kontribusi Kauman terhadap Mangkunegaran mulai pudar semenjak Mangkunegara IV mulai berfokus pada kegiatan perekonomian dengan mendirikan Pabrik Gula Tasikmadu dan Colomadu di Karanganyar, membuat beliau dikenal sebagai pengusaha besar yang bergerak di industri gula dan perkebunan. Walaupun demikian, semangat keislaman mereka ditunjukkan dengan membangun Praja Mangkunegaran maupun eks keresidenan Surakarta menjadi daerah yang maju dan beradab. Puncaknya terjadi saat masa pemerintahan Mangkunegara VII dan Pakubuwono X karena keduanya giat membangun kota Solo menjadi kota modern dan berpengaruh pada awal abad ke-20.



[i] Keberadaan prajurit estri tidak hanya ada di Mangkunegara, melainkan di wilayah lain seperti Aceh. Menurut Laksamana Prancis, Agustin de Beualieu yang pernah datang ke Aceh pada tahun 1620-1621 melaporkan bahwa Sultan Iskandar Muda memiliki 3.000 prajurit perempuan yang bertugas mengawal istana. Lihat Fika Handayani, Prajurit Wanita Jawa dalam Istana Mngkunegara I Surakarta, halaman 39.
[ii] Sejak masa pemerintahan Mangkunegara I, anggota Prajurit Estri Mangkunegaran tidak diperbolehkan untuk menjadi selir melainkan istri di luar lingkup praja Mangkunegaran. Inilah sebabnya mereka lebih memilih menjadi istri dari kerajaan lain karena keistimewaan tersebut.
[iii] Ibid, halaman 39.