Jejak Islam di Kauman Mangkunegaran
Dalam
tipologi kampung di Jawa, Kauman adalah bagian penting dalam struktur
pemerintahan kerajaan Islam sejak abad ke-15. Kauman dihuni oleh para santri
dan pedagang yang berdekatan langsung dengan masjid Agung di suatu daerah.
Beberapa dihuni oleh masyarakat lokal maupun pendatang seperti Arab, India,
Minangkabau, maupun Banjar. Dalam tata kota yang bercorak keraton sentris,
masjid menjadi simbol keagamaan, sedangkan pasar disimbolkan sebgai roda
perekonomian. Kondisi semacam ini membuat beberapa kampung Kauman di beberapa
daerah menjadi pusat perekonomian dengan berbagai komoditas, terutama komoditas tekstil.
Di
Surakarta, masyarakat umum hanya mengenal kampung Kauman yang berdekatan dengan
masjid Agung Solo. Selain itu, kampung Kauman juga dikenal sebagai sentra
penghasil kain batik bercorak keraton. Beberapa penduduk Kauman memasok kain
batik ke Pasar Klewer maupun dikirim ke luar kota. Adapun Kauman sendiri juga
berperan penting dalam mengembangkan pendidikan Islam modern di Solo pada awal
abad ke-20. Atas prakarsa Raja Pakubuwono X maka
berdirilah Sekolah Mambaul Ulum yang bertujuan untuk mencetak ulama sekaligus membendung kekuatan zending pada waktu tersebut.
Namun,
keberadaan kampung Kauman tidak hanya ada pada toponimi permukiman Keraton
Kasunanan Surakarta. Keberadaan lain kampung Kauman juga ada pada toponimi
permukiman keraton Mangkunegaran. Untuk lebih jelasnya, letak keberadaan
kampung Kauman Mangkunegaran berada persis di sebelah utara Pura Mangkunegaran
atau sebelah barat daya Pasar Legi.
Saya
berkesempatan menjelajahi kampung Kauman Mangkunegaran bersama komunitas Solo
Societeit pada bulan Mei 2018 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Titik awal
penjelajahan kali ini dimulai dari kawasan sebelah barat Pasar Legi. Sebelum
menjadi Pasar Legi, dulu kawasan Praja Mangkunegaran memiliki dua pasar, yaitu
Pasar Legi dan Pasar Totogan. Keduanya sudah ada sejak zaman Mangkunegara I.
Selain mendirikan pasar sebagai pusat perekonomian Praja
Mangkunegaran, Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I berinisiatif untuk
mendirikan permukiman khusus untuk masyarakat santri yang dinamakan kampung
Kauman. Sebelum mendirikan masjid Al-Wustha, terdapat beberapa langgar yang
didirikan di kampung Kauman, seperti langgar Rawatib. Langgar ini merupakan
langgar tua yang tersisa di Kauman. Berdasarkan informasi dari keluarga Ibu
Salamun maupun Serat Pusarani tahun 1930, langgar ini dibangun pada tahun 1935
oleh Muhammad Abid dari Rembang yang datang ke Solo untuk mengadu nasib sebagai
pedagang. Hal ini masih terlihat dengan angka tahun pada langgar tersebut.
Langgar Rawatib Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Selain keberadaan langgar rawatib, juga terdapat bekas
pendapa dan kediaman pribadi Mangkunegara I sebelum menandatangani perjanjian
Tuntang di Salatiga mengenai pembagian wilayah kekuasaan Mangkunegaran dan
Kasunanan di Surakarta. Dahulu, kompleks pendapa dan bekas masjid Kauman lama
berada di kawasan sebelah barat daya Pasar Legi. Titik utamanya sendiri berada
masuk di bagian toko ABC. Di bagian dalam rumah masih dapat ditemukan sumur
maupun kamar yang menjadi bagian pendapat utama Praja Mangkunegaran sebelum
pindah ke lokasi sekarang ini. Bangunan kompleks pendapa tersebut pernah ditinggali
oleh cucu Mangkunegara I bernama Raden Ayu Penghulu Iman. Pada masa
Mangkunegara III, masjid Kauman lama memiliki penghulu bernama K.H Abdul Kadir.
Bagian dari kompleks pendapa ini rupanya sekarang
difungsikan sebagai galeri seni sejak tahun 1972. Sebelumnya, bangunan ini
dulunya merupakan milik Patih Mangkuyudho yang merupakan negosiator dan penghubung
antara Raja Pakubuwono III dengan Pangeran Sambernyawa saat perang saudara.
Bentuk peninggalan fisik lainnya adalah adanya pintu buthulan atau samping yang kini tidak begitu lengkap
karena perkembangan zaman. Menurut penuturunan keluarga keturunan Nitiredjo,
Pangeran Sambernyawa menetap disini selama setahun sejak tahun 1756-1757
menjelang penandatangan perjanjian Tuntang di Salatiga tahun 1757.
Gedung Pakuwon, sebelah barat Alun-alun Salatiga Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Bagian Pendapa Luar Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Bagian Pendapa Dalam Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Di dekat pendapa, dahulu terdapat bangunan masjid Kauman lama sebelum akhirnya dipindah ke tempat sekarang. Sisa-sisa puing dibersihkan oleh Mangkunegara IV. Situs ini sudah ada dalam Babad Lelampahan. Makam tersebut berisi cucu maupun kerabat Mangkunegara I. Kompleks pemakaman ini masih berada di dalam salah satu warga dan sering diziarahi oleh abdi dalem Mangkunegaran.
Makam cucu/kerabat Mangkunegaran Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Tradisi
yang mengakar kuat pada masyarakat Kauman Mangkunegaran berimbas pada kehidupan
masyarakat di sekitar Pura Mangkunegaran. Beberapa catatan sejarah mencatat
bahwa masyarakat Kauman menawarkan diri untuk menjadi bagian dalam pembangunan
Pendapa Mangkunegaran maupun memperbaiki bagian yang rusak di dalam Pura
Mangkunegaran. Masyarakat Kauman tidak hanya memiliki kecakapan dalam ilmu
agama, melainkan juga dibekali ilmu militer langsung oleh Mangkunegara I. Tidak
hanya itu, perempuan dari kampung Kauman juga dikenal sebagai ulama dan
prajurit perempuan tangguh yang tergabung dalam Prajurit Estri Mangkunegaran
yang dibentuk oleh Matah Ati, istri dari Mangkunegara I[i]. Untuk
menjadi prajurit ini, seseorang harus memiliki kemampuan memainkan senjata,
menunggang kuda, pandai bernyanyi dan menari, hingga memainkan alat musik[ii]. Di
Aceh, prajurit estri juga memiliki kedudukan sebagai pengawal yang
diistimewakan dialam hierarki perempuan kerajaan Aceh[iii].
Kontribusi
Kauman terhadap Mangkunegaran mulai pudar semenjak Mangkunegara IV mulai
berfokus pada kegiatan perekonomian dengan mendirikan Pabrik Gula Tasikmadu dan
Colomadu di Karanganyar, membuat beliau dikenal sebagai pengusaha besar yang
bergerak di industri gula dan perkebunan. Walaupun demikian, semangat keislaman
mereka ditunjukkan dengan membangun Praja Mangkunegaran maupun eks keresidenan
Surakarta menjadi daerah yang maju dan beradab. Puncaknya terjadi saat masa
pemerintahan Mangkunegara VII dan Pakubuwono X karena keduanya giat membangun
kota Solo menjadi kota modern dan berpengaruh pada awal abad ke-20.
[i] Keberadaan
prajurit estri tidak hanya ada di Mangkunegara, melainkan di wilayah lain
seperti Aceh. Menurut Laksamana Prancis, Agustin de Beualieu yang pernah datang
ke Aceh pada tahun 1620-1621 melaporkan bahwa Sultan Iskandar Muda memiliki
3.000 prajurit perempuan yang bertugas mengawal istana. Lihat Fika Handayani, Prajurit
Wanita Jawa dalam Istana Mngkunegara I Surakarta, halaman 39.
[ii] Sejak masa
pemerintahan Mangkunegara I, anggota Prajurit Estri Mangkunegaran tidak
diperbolehkan untuk menjadi selir melainkan istri di luar lingkup praja
Mangkunegaran. Inilah sebabnya mereka lebih memilih menjadi istri dari kerajaan
lain karena keistimewaan tersebut.