Resume Kebudayaan Korea: Tanah dan Lingkungan Hidup
Oleh: Yuwana Galih Nugrahatama S.S
Korea
merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Asia Timur. Negara ini
memiliki beragam kekayaan alam yang luar biasa, baik berupa pegunungan,
sungai, dan pantai. Wilayah pegunungan
di Korea membentuk sebuah benteng pertahanan alami yang dapat menghalau
serangan dari luar. Adapun keberadaaan sungai di Korea menjadi kekuatan
pendorong dalam pembangunan ekonomi Korea. Kondisi geografis tersebut turut
serta membentuk bentuk kebudayaan masyarakat Korea, terutama dari segi animisme
dan dinamisme. Salah satu bentuk kebudayaan Korea yang paling terkenal adalah
Dolmen yang berjumlah ribuan. Dolmen merupakan salah satu bentuk peninggalan
masa Batu Besar. Bentuk peninggalan lainnya adalah lukisan dinding di gua yang
menggambarkan keadaan alam dan masyarakat pada waktu itu.
Pembentukan
peradaban di suatu daerah tidak terlepas dari adanya sungai di sekitarnya. Di
Korea sendiri, ada 4 sungai besar yang membentk peradaban di sekitarnya, yaitu
sungai Amnok-gang, duman-gag,
Nakdong, dan Han-gang. Keempat sungai tersebut memiliki hulu di
daerah Lembah Han-gang. Lembah tersebut dikenal menjadi tempat
perkembangan kebudayaan di zaman Neolitik maupun 3 kerajaan, yaitu kerajaan
Goguryeo, Baekje, dan Silla. Kerajaan
Baekje merupakan kerajaan pertama di Korea yang menguasai sungai Han-gang
sejak tahun 18 SM-660 M. Kemudian, kerajaan Goguryeo mengambil alih kekuasaan
atas sungai tersebut sejak masa pemerintahan Raja Jangsu (413-491 M) dari
kerajaan Baekje. Sungai Han kemudian diambil oleh kerajaan Silla atas bantuan
kerajaan Tang dari Tiongkok. Dinasti Joseon (1392-1910) kemudian membawa Korea
menuju zaman modern. Pada masa kerajaan Joseon, ritual-ritual keagamaan banyak
dilakukan untuk menyembah empat sungai suci.
|
Kota Seoul Tahun 1905
Sumber: english.seoul.go.kr/seoul-around-1905/ |
|
Pada masa Dinasti Joseon, sungai Han berperan besar
sebagai pintu masuk menuju kerajaan. Artinya, sungai tersebut berperan besar
sebagai jalur transportasi utama penduduk. Bangsa asing juga mulai memasuki
Korea melalui sungai tersebut sejak abad ke-19. Salah satu contohnya adalah
bangsa Prancis yang mulai mendirikan sekolah pendeta pada tahun 1887. Adapun kapal-kapal
Jerman dan Amerika Serikat mulai merapat dua tahun kemudian. Setelah meletusnya
perang Cina-Jepang pada tahun 1894, pasukan Jepang mulai menguasai daerah Mapo
dan Yongsan di sepanjang tepi sungai Han. Di dalam Seoul sendiri, banyak
komunitas penduduk asing mulai mendirikan pangkalan militer, kedutaan, dan
konsulat asing bagi Amerika Serikat.
|
Potret Duta Besar dan Konsulat Jenderal Amerika di Korea tahun 1905
Sumber: Willard Dickerman Straight Collection, Cornell University Library |
|
Gereja Katedral Eonyang di Ulsan, dibangun sejak tahun 1936 oleh Lembaga Misi Prancis.
Insyinyur dari gereja ini adalah seorang Tionghoa.
Sumber: colonialkorea.files.wordpress.com/2015/12/dsc5849.jpg |
Memasuki abad ke-20, Seoul berkembang pesat menuju
urbanisasi dan mulai mendesak keberadaan sungai Han. Pembangunan yang tidak
terkendali memaksa sungai Han untuk dimasukkan ke dalam pembangunan kota. Han-gang
memegang peran penting dalam membentuk dua distrik, Gangnam (selatan) dan
Gangbuk (utara). Sungai Han kemudia dirawat dalam Proyek Pemeliharan Han-gang
sejak tahun 1967-1970. Tepi
sungai dirancang sebagai sistem tanggul
yang dirancang untuk melindungi kota dari bencana banjir. Apartemen mulai
dibangun pesat pada tahun 1970 hingga mengakibatkan mahalnya harga lahan pada
kawasan tersebut. Salah satu kawasan yang dikenal adalah Yeouido, sebuah pulau
pasir yang kini dikenal sebagai ”'Manhattan-nya Seoul”.
Sungai
Han memang berperan besar dalam perekonomian dan politik Korea. Namun, ada satu
sungai lagi yang berperan dalam terbentuknya Korea modern saat ini, yaitu
Sungai Cheonggyecheon di Seoul. sungai Cheonggyecheon telah mengalami proses
pemugaran dan pengerukan oleh pemerintah Korea. Sungai ini pada awalnya
mengalir sebagai sungai utama bagi penduduk Seoul, namun mulai tertutupi
bangunan padat yang merusak ekologi sekitar.
Pada
masa Dinasti Joseon, sungai Cheonggyecheon merupakan sungai kecil dan dangkal
yang kadangkala meluap pada musim penghujan. Setelah Dinasti Joseon memindahkan
ibu kotanya ke Hanyang (Seoul), pertumbuhan penduduk yang cukup besar membentuk
perubahan arus sungai yang sudah ada. Proyek perawatan sungai tersebut sudah
ada sejak zaman pemerintahan Raja Taejong (1400-1418). Proyek pertama Pemerintah
mulai dimulai pada tahun 1412. Pemerintah mulai membangun sistem pengairan dengan tanggul-tanggul batu. Namun hal
tersebut tidak membuat sungai membaik, justru tetap mengalami banjir saat
mengalami musim penghujan.
Proyek besar kemudian dimulai pada tahun 1760 untuk
mengeruk dasar sungai. Keluarga-keluarga kaya di Seoul juga mengerahkan banyak
tenaga, di sisi lain penduduk lokal dan warga luar kota untuk membantu proyek
tersebut. Menurut Buku Tahunan Dinasti Joseon, Cheonggyecheon telah dikeruk
sebanyak 8 kali setelah kelahiran Raja Jeongjo. Setelah kondisi mulai membaik, jembatan batu dibangun untuk
mobilitas penduduk. Ada beberapa jenis jembatan batu selama masa Dinasti
Joseon, yaitu Ogansugyo (Gerbang Air Ogansugyo), Supyogyo (mengawasi ketinggian
air), dan Gwangtonggoyo (jembatan terbesar di ibu kota).
Pada masa pendudukan Kolonial Jepang, Cheonggyecheon
adalah magnet bagi masyarakat kota berpenghasilan rendah. Namun, bagi
pemerintahan kolonial Jepang, sungai tersebut adalah garis batas kebudayaan
antara bangsa Korea yang tidak beradab
dengan bangsa Jepang yang beradab. Sejak tahun 1910, pemerintahan
kolonial Jepang menyebut sungai tersebut yang berarti "air lembah bersih”.
Pemerintah Jepang juga baru melaksanakan pengerukan sungai tersebut pada tahun
1918 sebagai proyek pekerjaan umum. Namun, usaha ini gagal meningkatkan kondisi
kualitas lingkungan di sekitarnya. Hal ini dikarenakan lumpur dan sampah yang
dikeruk dari dasar sungai dibuang di jalanan permukiman masyarakat. Hal
tersebut membuat kondisi lingkungan yang tidak sehat. Surat kabar Korea banyak
mengkritik kebijakan tersebut mengenai ketidakadilan dalam pengelolaan sungai
tersebut. Kawasan tersebut dikenal sebagai “penyakit kota”. Akhirnya, gagasan
untuk menutup sungai mulai digagas oleh Jepang dengan membangun jalan di atas
permukaannya.
|
Perkembangan Wilayah Sungai Cheonggyecheon dari masa ke masa Sumber: arch.mcgill.ca/prof/mellin/arch671/winter2004/student/Lee/pics/09sitedocu/004-2.jpg |
|
Roadmap normalisasi Sungai Cheonggyecheon
Sumber: .arch.mcgill.ca/prof/mellin/arch671/winter2004/student/Lee/pics/09sitedocu/004-2.jpg |
|
Sentra Pasar Bekas Sewoon
Sumber: arch.mcgill.ca/prof/mellin/arch671/winter2004/student/Lee/pics/09sitedocu/006-1.jpg |
Pascakemerdekaan, sungai tersebut mulai ditutup secara
total pada tahun 1958. Selama lebih dari 4 tahun sesudahnya, daerah pusat
sungai dari Jembatan Gwanggyo menuju Gerbang Air Ogansumun ditutup dengan beton
dan pada ahun 1966 hilir sungai paling bawah juga ditutup. Kekumuhan kota mulai
hilang dari pandangan masyarakat. Daerah-daerah di sekitarnya menjadi pusat
kegiatan industri dan perdagangan. Kawasan tersebut mulai dikenal sebagai
sentra kios barang-barang elektronik dan perabotan rumah, terutama di Pasar
Sewoon. Pasar barang antik juga dapat ditemukan di kawasan Hwanghak-dong.
Akibat semakin padatnya penduduk dan beragam permasalahnnya, pemerintah Korea
berencana untuk memugar kembali Cheonggyecheon sebagai pengendali banjir
seperti semula
|
Peta Lama Kota Seoul Berdasarkan Pungsu atau Fengsui Korea
Sumber: http://www.san-shin.net/Pungsu-jiri.html |
Selain keberadaa sungai, peradaban masyarakat Korea juga
terbentuk dari keberadaan pegunungan. Salah satu barisan Pegunungan Korea
adalah barisan gunung Baekdudaegan. Barisan pegunungan ini mengelilingi Kota
Seoul sebagai pusat pemerintahan Dinasti Joseon. Kota Seoul dikelilingi oleh
empat pegunungan, yaitu Bukhan-san di sebelah utara, Nam-san di sebelah
selatan, Nak-san di sebelah timur, dan Inwang-san di sebelah utara. Menurut
kepercayaan masyarakat Korea, Kota Seoul dijaga oleh Naga Biru, Harimau Putih,
Burung Phoenix Merah, dan Kura-Kura Hitam. Seoul juga dikelilingi sekitar 26
gunung sehingga membentuk lingkaran dinding luar yang mengelilingi kota. Bisa
dibilang, Seoul merupakan desa pegunungan.
|
Pungsu Korea beraksara Korea-Tiongkok tahun 1848
Sumber: http://www.antiquealive.com/Blogs/Korean_Feng_Shui.html |
Dari segi fengsui atau pungsu, gunung merupakan
tempat suci bagi dewa yang bersemayam. Gunung Bukhan-sam digambarkan sebagai
sumber tenaga yang memberikan kekuatan hidup bagi gunung-guung yang
mengelilingi Kota Seoul. Atas dasar inilah, pendiri Dinasti Joseon memilih
Seoul sebagai ibu kota kerajaannya. Bagi masyarakat Korea, gunung diibaratkan
sebagai seekor naga. Sebuah gunung dapat dilacak melalui jejak geologisnya.
Pegunungan Korea umumnya berasal dari jalur pegunungan Himalaya, melalui
Mongolia, dan mencapai Baekdu-san. Baekdu-san inilah dianggap sebagai gunung
leluhur Korea di dalam prinsip-prinsip fengsui. Gunung adalah penggambaran
unsur yin dan sungai adalah unsur
yang. Bagi pengikut shaman di Seoul, Bukhan-san dipuja sebagai gunung
tersuci dan mata air bagi shamanisme.
Masyarakat Korea sangat percaya akan pentingnya
pegunungan untuk kehidupan mereka. Bentuk rasa syukur diwujudkan dalam ritual-ritual pemujaan dan keagamaan. Pada zaman kerajaan,
pemerintah menyelenggarakan gukhaengje atau ritual memuja gunung,
sedangkan masyarakat desa mengadakan rituak sansinje untuk menghormati
dewa-dewa gunung. Para penganut Shaman seringkali mendirikan altar-altar
pemujaan, sedangkan masyarakat biasa banyak membuat gubuk-gubuk jerami. Salah
satu contoh dari altar penganut shaman
adalah Gua Donjungul di dalam Benteng Bukhansanseong maupun tempat pemujaan
Bohyeonsansingak di bawah puncak Bohyeonbong. Kawasan Bukhan-san juga
menawarkan gutdang atau barang-barang yang disewakan untuk
menyelenggarakan ritual Shaman. Hal ini disebabkan perubahan komunitas
masyarakat desa ke kota, sehingga mereka membutuhkan barang kebutuhan ritual
yang cepat dan berkualitas.
|
Tempat pemujaan Kaum Sansin di Korea
Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/75/Korea-Saseongam_11-08081_Sanshingak.JPG |
|
Bagian dalam kuil pemujaan Sansin
Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b1/Korea-Saseongam_11-08082_Sanshingak.JPG |
Kesatuan yang harmoni antara sungai dan pegunungan
membuat Korea memiliki toponimi permukiman yang unik dan kuat. Hal tersebut
kemudian diwujudkan dalam membentuk daerah perbentengan yang memanfaatkan
topografi gunung dan sungai. Korea dikenal memiliki ribuan benteng yang telah
dibangun sejak ribuan tahun lamanya. Benteng di Korea umumnya berfungsi sebagai
pertahanan utama maupun pusat logistik pada masa peperangan. Pegunungan
Bukhan-san, yang bentuknya menyerupai batu karang terjal dan puncak yang curam
menjadi tempat strategis untuk membuat benteng pertahanan Kota Seoul. Memasuki
era modern, benteng dibuat dengan memanfaatkan bahan berkualitas di sekitarnya
disertai kemajuan teknologi arsitektur dan tata kota.
Korea dikenal memiliki benteng-bentneg yang rata-rata
berusia 3.000 tahun, diperkirakan terdapat 2.600 benteng yang dibangun
melintasi sebuah area yang memanjang dari Manchuria ke Jepang. Dalam hal
ukuran, benteng dibuat dengan ukuran kurang dari 100 m hingga 20 km.
Pembangunan benteng paling aktif dilakukan selama masa 3 kerajaan (1 SM – 7 M),
Silla Bersatu (676-935 M), dan masa kerajaan Balhae (698-929 M). Benteng juga
dibuat sebagai media pertahanan pada masa Dinasti Goryeo.
Pembangunan benteng pertama di Korea dilakukan sejak
Zaman Perunggu. Daerah berbukit dengan daerah dataran dilidungi oleh aliran
parit dengan jarak tertentu. Kemudian dikembangkan menjadi tembok-tembok tanah
yang kemudian berubah menjadi tembok kokoh berbahan dasar batu alam. Benteng di
Korea umumnya dikembangkan dengan 2 tipe utama, yaitu benteng yang dibangun
dengan dataran rendah yang dilintasi sungai maupun benteng pegunungan yang
dibangun di dataran tinggi. Benteng di Korea memiliki karakteristik lengkung
dan garis yang tidak teratur karena memanfaatkan topografi alam di sekitarnya.
Hal ini berbeda dengan benteng di Tiongkok yang berbentuk persegi maupun
benteng dengan garis dan sudut tegak lurus pada masa Jepang Modern.
Memasuki pertengahan abad ke-16, benteng pegunungan mulai
sedikit aktif karena bergeser menuju dataran rendah. Hanya ada sekitar 41
benteng pegunungan yang masih aktif di seluruh wilayah Korea. Tembok kota mulai
dibangun di dataran rendah seperti halnya Tiongkok dan Jepang. Namun, benteng
pegunungan tetap digunakan karena memiliki banyak keuntungan, yaitu dapat
mengamati gerakan musuh dari jauh, pertahanan berlapis, dan sumber daya yang
melimpah. Beberapa contoh benteng pegunungan di Korea, antara lain benteng
Daeseong-sanseong, Baengma-sanseong, dan Onyeonsanseong, Ondalsanseong, Gongju
Gongsanseong, dan Joreong Gwanmunseong.
|
Potret benteng Bukhansanseong di Pegunungan Sumber: tong.visitkorea.or.kr/cms/resource/94/1808494_image2_1.jpg |
Salah satu benteng pegunungan yang dibuat pada masa modern
adalah benteng Bukhansanseong yang dibangun sejak tahun 1711 oleh Raja Sukjong.
Benteng ini dibuat untuk mempertahankan ibukota dari serangan arah utara.
Benteng ini memiliki dinding yang membentuk garis keliling sepanjang kurang
lebih 8 km, dibangun utnuk melindungi tiga daerah untuk Komando Latihan
Militer, Garnisun Ibu Kota, dan Komando Brigade Kerajaan. Di sepanjang dinging
terdapat 14 pintu gerbang, lima di antaranya terdiri dari lengkungan batu dan
tenda kayu yang besar. Sisanya ada 9 pintu gerbang rahasia, termasuk pintu
gerang timur kecil yang dibangun untuk menuju ke lapangan, dan pintu gerbang
air. Sebanyak 143 menara benteng dibangun di sepanjang dinding dengan berbagai jarak.
|
Ammun adalah pintu kecil sebagai pintu masuk tersembunyi.
Lokasinya juga harus sulit dijangkau oleh musuh. |
|
Ongseong adalah tembok yang berbentuk setengah lingkaran di depan benteng.
Bagian ini berfungsi untuk melindungi gerbang benteng atau dinding benteng.
Sumber: world.kbs.co.kr/special/unesco/contents/excellent/e11.htm?lang= |
|
Yeojang adalah pagar yang dibangun secara rendah di atas tembok
Sumber: world.kbs.co.kr/special/unesco/contents/excellent/e11.htm?lang=i |
Benteng lainnya yang dibuat adalah benteng Hwaseong di
Kota Suwon, dibangun pada abad ke 18 oleh Raja Jeongjo dari Dinasti Joseon.
Pembangunan benteng ini rupanya
dilatarbelakangi kepentingan politik setelah kematian tragis ayahnya. Di
sisi lain, Suwon adalah kota yang strategis dan terletak antara Seoul dan
wilayah selatan sehingga arus barang sangatlah tinggi. Pembangunan benteng
dirancang oleh Jeong Yak-yong, seorang pegawai perpustakaan kerajaan. Buku-buku
teknologi dari Tiongkok dan Barat menjadi dasar pembangunan benteng di daerah
Suwon. Pembangunan benteng direncanakan dimulai pada musim semi tahun 1794 dan
selesai pada musim gugur tahun 1796. Benteng ini diproyeksikan untuk menahan
serangan artileri dengan membangun dinding dalam untuk kekuatan tambahan.
Sarana di dalam benteng sama seperti lainnya, hanya saja sepanjang kubu
pertahanannya dipasang meriam dan senapan dengan jarak sekitar 100 meter.
|
Benteng Hwaseong tampak dari depan
Sumber: korea.net/upload/content/editImage/181023_Suwon%201_in.jpg |
|
Benteng Hwaseong tampak dari samping
Sumber: commons.wikimedia.org/wiki/File:Hwaseong_Fortress-002.jpg |
Memasuki abad ke-19, banyak tembok kota atau eupsong berukuran kecil hingga
besar banyak dibangun dengan teknologi mutakhir. Tembok kota merupakan tempat
interaksi masyarakat umum dengan pihak kerajaan. Pintu gerbang kota dibangun di
titik-titik strategis. Bagian utara kota biasanya terdapat bangunan pemerintah
dan bagian selatan dipenuhi dengan pasar dan rumah penduduk. Dalam mebangun
tembok kota, masyarakat dan wilayah di sekitarnya dikerahkan. Setiap desa juga
ditugaskan membangun bagian tertentu dari tembok kota. Desa yang hasil panennya
melimpah ditugaskan lebih banyak daripada desa lainnya. Ukurannya lebih besar
dan panjang dari desa lainnya. Pada titik awal tiap bagian, sebuah batu tulis
penanda ditempatkan untuk mengetahui pembangunnya. Banyak tradisi juga
dilakukan untuk mengenang pembuatan tembok kota, yaitu Festival Menjejak Tembok
yang diselenggarakan di Gochang setiap tahun pada hari ke-9 bulan ke-9 dan
ditetapkan sebagai Hari Warga Gochang.
Kondisi alam dan masyarakat Korea yang majemuk tentunya
juga memengaruhi bentuk kebudayaan lain berupa dolmen. Apa itu dolmen? Dolmen
merupakan salah satu bentuk kebudayaan Megalitikum atau zaman Batu Besar.
Dolmen berbentuk meja batu besar yang berfungsi sebagai media pemujaan terhadap
nenek moyang. Jumlah dolmen di Korea berkisar sekitar 29.510 dolmen. Selain di
Korea, dolmen juga dapat ditemukan di wilayah Asia Timur lainnya seperti
Tiongkok dan Jepang. Bentuk peninggalan dolmen inilah yang menarik para
penjelajah dan misionaris dari Eropa untuk datang ke Korea pada akhir abad
ke-19.
|
Dolmen Ghanghwa
Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/en/3/36/Dolmen_korea_ganghwa.jpg |
Dolmen yang ditemukan di Korea mayoritas merupakan dolmen
berkelompok yang terdiri dari 10 atau lebih dolmen. Namun, ada juga dolmen yang
berjumlah lebih dari 400-500 dolmen. Sejauh ini, wilayah Semenanjung Korea
memiliki tingkat konsentrasi dolmen lebih banyak bila dibandingkan daerah lain
di Eurasia. Bentuk dan karakteristik dolmen di Korea dapat dikelompokkan ke
dalam model utara dan model selatan. Dolmen model utara banyak ditemukan di
wilayah semenanjung utara dan timur laut, sedangkan dolmen model selatan banyak
ditemukan terletak di sebelah selatan Semenanjung Korea dan Kyushu, Jepang.
Dolmen model selatan memiliki ruang makam yang digali ke dalam tanah, dan batu
ditempatkan di sekeliling ruang makam. Adapun dolmen model utara dibangun di
atas permukaan tanah, terdiri dari sebuah ruang yang dipagari oleh empat
dinding batu tegak dan ditutupi oleh batu pipih yang ukurannya lebih besar dibandingkan
dengan ukuran luas ruang makam. Perbedaan antara dolmen Asia Timur Laut dengan
model Eropa Barat, yaitu dolmen Asia Timur Laut dibangun dengan ruang makam
tunggal, sedangkan dolmen Eropa Barat mencakup bangunan untuk beberapa makam.
|
Dolmen gaya utara di Pulau Ganghwa
Sumber: upload.wikimedia.org/Example_of_a_northern-style_dolmen_at_Ganghwa_Island.jpg |
|
Dolmen gaya selatan di Pulau Ganghwa
Sumber: upload.wikimedia.org/Example_of_a_southern-style_dolmen_at_Ganghwa_Island.jpg |
Dalam membangun sebuah dolmen, hal utama yang harus dasar
dan perlu diperhatikan adalah usaha untuk menggali dan memindahkan batu
penutup. Sebagian batu penutup dibuat dengan cara memotong batu besar bundar
dari pegunungan. Batu besar tersebut akan dibentuk menjadi batu pipih yang
berbentuk persegi, adapun batu penutup berbentuk persegi atau oval. Membangun
dolmen tentunya membutuhkan tenaga kerja yang sangat besar. Struktur sosial
juga memengaruhi pembagian kerja. Mayoritas berat dolmen lebih dari 40-100 ton.
|
Dolmen Pingmaebawi berinskripsikan Korea tahun 1920, tertulis "Milik Keluarga Min"
Sumber: upload.wikimedia.org/Hwasun_Dolmen_IMG_20161001_140032.jpg |
Beberapa contoh dolmen yang ada di Korea adalah dolmen
Gochang, dolmen Hwasun, dan dolmen Ganghwa. Dolmen Gochang berada di wilayah
seluas 1,8 km2 dan berjumlah 442 buah. Dolmen di daerah ini
berbentuk meja permainan dan memiliki benda-benda permakaman seoerti keramik
tanah. Dolmen Hwasun berbentuk meja catur berukuran besar yang digunakan
sebagai upacara keagamaan. Banyak juga ditemukan benda pemakaman seperti
pecahan keramik, mata panah batu, peralatan memahat, pedang, dan lumpang.
Dolmen Ganghwa sendiri memiliki jumlah 127 dolmen dan berbentuk ruang pemakaman
maupun monumen. Dolmen ini terletak di sepanjang punggung gunung yang cukup
tinggi.
Bagi masyarakat Korea, dolmen merupakan tempat sakral
sebagai altar persembahan terhadap roh nenek moyang. Oleh sebab itu, banyak
festival budaya bertemakan dolmen dilaksanakan, salah satunya adalah Festival
Dolmen Ganghwado. Kegiatan yang dilakukan, antara lain pengalaman penmbuatan
dolmen, pembuatan peralatan baru maupun keramik, pembuatan api, dan wisata
sejarah. Beberapa wilayah juga membuat taman dolmen sebagai sarana pendidikan,
salah satunya adalah Taman Dolmen Suncheon. Taman ini dibangun untuk
melestarikan dolmen dari ancaman proyek pembangunan bendungan baru.
Bentuk peninggalan zaman Batu Besar lainnya adalah lukisan
dinding gua. Lukisan dinding juga diadopsi oleh masyarakat Korea. Salah satu
bentuk lukisan dinding yang dikenal di Korea adalah lukisan dinding makam
kerajaan Goguryeo. Makam ini terletak di wilayah Korea Utara dan Cina Timur Laut. Ada 100 lukisan dinding
makam yang sudah teridentifikasi. Sejak abad ke-4, sebagian besar
lukisan makam Goguryeo dibuat dengan menggunakan tinta Cina dan cat-cat yang
digoreskan ke atas dinding dalam berplester. Dinding-dinding tersebut terbuat
dari batu datar dan dilukis secara langsung. Teknik langsung digunakan pada
daerah-daerah yang memiliki granit berkualitas tinggi.
|
Makam Raja Goguryeo Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/ad/Tomb_of_the_General_1.jpg |
|
|
Denah Makam Anak Raja Goguryeo No.3 Sumber: nkcp.or.kr/nkcp/eng/mn_01/img/img04.gif |
Secara umum lukisan dinding makam Goguryeo mencakup dua
tipe utama, yaitu kapur dan batu. Teknik yang paling umum digunakan adalah
lukisan kapur. Teknik fresco atau melukis menggunakan cat air merupakan metode
yang umum digunakan untuk melukis potret. Teknik tersebut digunakan sejak abad
ke 4 sampai ke-6. Lukisan yang sering dibuat berupa penggambaran matahari,
bulan, potret penghuni makam, Dewa-Dewa Tao, binatang, dan tanaman suci.
Beberapa motif juga dipengaruhi oleh lukisan dan motif dari Cina masa Dinasti Han, Sui, dan Tang.
Pada abad ke 4-6, lukisan dinding populer menggunakan berbagai motif, sedangkan
pada abad ke 6-7, motif yang digunakan menggunakan gambar Empat Dewa. Taoisme
dan Buddhisme sangat kental dalam lukisan dinding makam tersebut.
|
Mural Sang Raja di Pemakaman Anak No 3 Sumber: art-and-archaeology.com/korea/goguryeo |
|
Mural bersimbolkan 4 hewan suci Sumber: nkcp.or.kr/nkcp/eng/mn_01/mn01_04.html |
|
Mural orang berstatus tinggi Sumber: nkcp.or.kr/nkcp/eng/mn_01/mn01_04.html |
|
Mural bunga Lotus yang melambangkan keabadian Sumber: nkcp.or.kr/nkcp/eng/mn_01/mn01_04.html |
|
Mural berlambangkan naga, burung merak, atau burung yang dikeramatkan Sumber: nkcp.or.kr/nkcp/eng/mn_01/mn01_04.html |
|
Mural naga kuning yang melambangkan simbol Raja Goguryeo Sumber: nkcp.or.kr/nkcp/eng/mn_01/mn01_04.html |
Agar lukisan pada dinding makam awet maka metode yang
digunakan mengandalkan tingkat kelembapan, teknik fresco, dan mengandalkan
perekat tradisional (esktrak kulit sapi, ikan, rusa, dan ganggang laut).
Perekat yang digunakan harus memiliki kekentalan yang rendah dan kejernihan
yang tinggi (efektif menyerap kelembapan tinggi). Beberapa lukisan dinding di
Dunguang menggunakan teknik tempera barat atau menggunakan kelembapan alami
gua. Selain itu, beberapa pelukis juga menggunakan cat khusus berbahan
tradisional maupun kimia dan teknik lukisan tebal agar lukisan menjadi awet.
|
Peta dunia tertua bernama GangnidoSumber: henry-davis.com/MAPS/LMwebpages/236.html |
Selain lukisan dinding makam maupun gua, Korea juga
memiliki bentuk peninggalan peta kuno. Sebagian besar peta kuno Korea berbahan
cetakan balok kayu hingga kertas. Dinasti Joseon juga menghasilkan peta dunia
tertua yang bernama Honilgangniyeokdaegukdojido. Peta ini dibuat dalam
model seperti peta astronomi. Raja Taejo membuat sebuah diagram astronomi
yang dibuat dan diukir di atas lempengan
batu. Peta tersebut kemudian digabungkan dengan peta Cina dan Jepang pada masa
Raja Taejong berkuasa. Peta ini juga menggambarkan kawasan lain seperti Afrika
dan Eropa.
|
Peta dunia Cheonhado abad ke-17 Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f3/Cheonhado_Map.jpg |
|
Peta dunia Cheonhado yang menggambarkan satu sisi adalah Dinasti Ming. Adapun sisi lainnya menggambarkan sisi lain dunia. Sumber: loc.gov/item/93684246/ |
|
Sisi lain peta dunia Cheonhado yang dibuat pada abad ke-18 Sumber: loc.gov/item/93684246/ |
Salah satu peta modern yang dibuat oleh sarjana Joseon
pada abad ke-18 adalah peta Cheonhado yang menggambarkan seluruh dunia.
Peta ini dibuat berdasarkan Peta Lengkap Semua Negara dari buku Penjelasan
Geografi yang ditulis oleh Giulio Aleni. Saat ini ada lebih dari 10 jenis
peta Cheonhado yang menggambarkan paduan antara dunia yang sebenarnya
dengan dunia fiksi, termasuk duplikat dan cetakan balok-balok kayu yang masih
ada. Puncak pembuatan peta dunia terjadi pada masa akhir Dinasti Joseon, yaitu
pada pembuatan cetak balok kayu Daedongnyeojido oleh Kim Jeong-ho. Teknik
kartografi yang unik dan metode
penggambarannya juga menambah estetika dan informasi peta yang disajikan.
Keunikan dari peta ini adalah pegunungan digambar sebagai suatu barisan yang
terus menyambung dengan aliran sungai. Ini digambarkan sebagai konsep yang
memandang gunung dan sungai sebagai sistem rangka dan sirkulasi dari tubuh
manusia.