Selasa, 04 Juni 2019

Aksi Pemogokan Masyarakat Tionghoa Surabaya 1946


Resume Aksi Pemogokan Masyarakat Tionghoa Surabaya 1946  karya Andjarwati Noordjanah
Oleh : Yuwana Galih Nugrahatama S.S


                Orang-orang Tionghoa datang ke Nusantara dengan motif ekonomi maupun politik pascakonflik berkepanjangan di Tiongkok. Mereka mulai tertarik dengan kekayaan di luar Tiongkok, terutama kawasan Hindia Belanda. Para imigran dari Tiongkok ini bukan berasal dari satu kelompok suku bangsa, melainkan dari berbagai suku bangsa. Setidaknya ada empat suku bangsa Tionghoa yang masuk ke dalam daftar sensus Pemerintah Hindia Belanda. Mereka adalah suku Hokkian, Hakka, Teo Chiu, dan Kwang Fu. Suku Hokkian menempati jumlah teratas bila dibandingkan dengan suku lainnya. Mereka berasal dari daerah Fukien Selatan dan memiliki keahlian berdagang bagus dan kuat. Etos kerja mereka dapat ditunjang oleh sifat mereka, yaitu ulet dan pekerja keras. Keberadaan etnis Tionghoa di Nusantara tidak hanya berperan dalam hal ekonomi, namun juga dalam segi sosial budaya dalam struktur masyarakat kolonial. Masyarakat Tionghoa dibagi menjadi dua golongan, yaitu totok dan peranakan. Mereka yang disebut peranakan karena dilahirkan di Hindia Belanda dari ibu pribumi dan ayah dari Tiongkok, sedangkan totok adalah mereka yang berdarah murni Tionghoa dan lahir di luar Hindia Belanda. Perbedaan keduanya dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari terutama bahasa. Bahasa yang digunakan kaum peranakan menggunakan bagasa setempat karena pengaruh lingkungan keluarga yang tinggal dengan orang pribumi atau menikahinya, sedangkan kaum totok sangat fasih berbahasa Mandarin namun tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa setempat.
            
Rumah Abu Keluarga Han di Jalan Karet, Surabaya
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Rumah Abu Keluarga The di Jalan Karet, Surabaya
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Dari segi pendidikan, kaum totok lebih suka memasukkan anak-anak mereka ke sekolah khusus Tionghoa, sedangkan kaum peranakan lebih memilih dengan pendidikan ala Barat. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap gaya hidup, agama dan kepercayaan, kebudayaan, maupun orientasi hidup. Intinya adalah kaum peranakan cenderung terbuka terhadap sekitar, sedangkan kaum totok cenderung protektif terhadap identitasnya sendiri. Satu hal yang paling mendasar dari keduanya adalah perbedaan tingkat sosial dan ekonomi tersamarkan oleh penggunaan nama keluarga atau she. Ini diakibatkan karena kuatnya ikatan klan. Hal tersebut diwujudkan dengan adanya perkumpulan “rumah abu” khususnya bagi mereka yang menjalankan tradisi kremasi.
Masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda umumnya menetap di kawasan pesisir maupun pedalaman dengan potensi perekonomian yang menguntungkan bagi mereka. Pada mulanya, mereka mendirikan permukiman bersamaan dengan etnis lainnya. Bentuk permukiman inilah menjadi semacam pertemuan berbagai kontak kebudayaan terhadap masyarakat lokal maupun etnis lain di  kawasan pesisir pantai. Beberapa permukiman Tionghoa di Nusantara tersebar di beberapa daerah, seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, Pasuruan, Lasem, Pekalongan, Palembang, Padang, Pontianak, Makassar, dan lain-lain.

Menara Syahbandar Kalimas
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Jembatan Merah di Atas Sungai Kalimas
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Keberadaan permukiman Tionghoa dikenal sejak adanya pelabuhan Ujung Galuh yang berdekatan dengan pelabuhan Gresik di muara sungai Brantas. Kebanyakan mereka tinggal di sekitar sungai karena menjadi jalur pelayaran strategis dari dan ke luar Surabaya. Hal ini juga diperkuat dengan adanya status Ujung Galuh sebagai bandar pelabuhan strategis sejak era Majapahit hingga Mataram Islam.

Masyarakat Tionghoa pada Masa Pendudukan Belanda
Permukiman Tionghoa di Kembang Jepun, Surabaya. Peta Tahun 1940
Sumber : maps.library.leiden.edu
Pada awal abad ke-19, terjadi perubahan signifikan mengenai peraturan permukiman asing yang disebut passenstelsel dan wijkenstelsel. Masyarakat terbagi dalam tiga lapisan, yaitu lapisan pertama adalah orang Belanda dan Eropa lainnya, lapisan kedua adalah orang Timur asing atau ooosterlingen (Tionghoa, Melayu, India dan Arab), dan ketiga adalah masyarakat bumiputera secara keseluruhan. Pada masa pendudukan Jepang, susunan strata masyarakat berubah drastis dengan menempatkan orang pribumi di bagian teratas, sedangkan paling bawah adalah masyarakat Eropa.
Pada masa pendudukan Belanda, penduduk Timur Asing harus tetap tinggal di wilayah yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Apabila melakukan pelanggaran dengan tetap tinggal di luar wilayah yang ditentukan, maka mereka harus masuk ke dalam wilayah baik secara sukarela atau paksaan. Mereka juga diharuskan membawa kartu jalan atau reichtpass, berlaku untuk semua kegiatan, kecuali perdagangan candu. Penghapusan surat jalan baru dilaksanakan pada tahun 1918
Setiap perkampungan Timur Asing dipimpin oleh Opsir Tionghoa dengan jabatan Mayor, Kapitan, dan Letnan. Pejabat ini bertugas sebagai pemimpin dan penghubung antara masyarakat Tionghoa dengan pemerintahan kolonial Belanda dalam hal administratif. Mekanisme pemilihan opsir Tionghoa menjadi hak sepenuhnya dari warga Tionghoa. Kedua golongan mempunyai hak sama untuk dicalonkan. Opsir yang diangkat selalu orang yang sesuai dengan selera penguasa. Loyalitas dan tingkat sosial ekonominya diperhitungkan. Jabatan ini diemban secara turun temurun.
Kapitan Medan Tjong A Fie
Sumber: kitlv.nl

Beberapa kota besar memiliki hal semacam ini, tidak terkecuali Surabaya. Dalam sejarah, opsir Tionghoa di Surabaya dipegang dua keluarga, yaitu keluarga Han dan The. Sejak penerapan sistem tersebut, keluarga Han selalu mendominasi jabatan tersebut hingga tahun 1920-an. Jabatan tersebut kemudian digantikan oleh keluarga The.
Hotel Ganefo, Eks Keluarga The Pada Masanya
Sumber : Surabaya Historical

Keluarga The tinggal di daerah Kapasan dan menguasai hampir seluruh tanah di Kapasan. Mereka juga memiliki salah satu istana (kini hotel Ganefo), sedangkan keluarga Han tinggal di daerah Bongkaran. Mereka memiliki usaha penginapan dan bandar judi besar di Surabaya (Pewarta Soerabaia, 1 Juli 1914). Jabatan opsir Tionghoa kemudian dihapus secara berkala hingga tahun 1926 tetapi masih diberlakukan jabatan Titulair, yaitu jabatan kehormatan. Jabatan ini kemudian diganti dengan nama Lotia atau semacam pejabat kampung setempat yang ditunjuk langsung oleh pemerintah lokal.
Beberapa permukiman Tionghoa di Surabaya terdapat perkumpulan yang bergerak di bidang sosial. Salah satunya adalah perkumpulan Tong Hiang Hwee, semacam rukun kampung yang menyediakan perabotan untuk pernikahan, penguburan jenazah, dan menyelenggarakan pendidikan gratis bagi anak-anak Tionghoa. Beberapa pemuda Tionghoa juga mendirikan Sport en Gymnastiek Vereniging. Para perempuan Tionghoa juga memiliki organisasi khusus perempuan bernama Hoedjin Hwee, bertujuan memperjuangkan perbaikan hidup dari berbagai sisi terutama pendidikan.
Masyarakat Tionghoa juga memiliki perserikatan bernama Tionghoa Heww Koan yang dibentuk pada awal 1900-an, sedangkan kamar dagang Tionghoa atau Siang Hwee pada tahun 1907. THHK berfokus pada bidang kesehatan, pendidikan, maupun bidang lainnya.
Pandangan politik masyarakat Tionghoa Surabaya memiliki perbedaan tersendiri. Beberapa di antaranya gencar mengkritik pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Pewarta Tionghoa milik kaum totok adalah salah satunya. Golongan Tionghoa beraliran nasionalis dekat dengan aliran Sin Po yang berkembang di Batavia. Gerakan ini merupakan sebuah ekspresi ketidakpuasaan masyarakat Tionghoa.
Kelompok lainnya adalah kaum peranakan yang pro kolonial Belanda. Kelompok CHH atau Chung Hwa Hui berisi orang-orang kaya, seperti opsir, tuan tanah, dan pengusaha. Kelompok ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bukti keberpihakannya terhadap Belanda. Kelompok terakhir adalah Partai Tionghoa Indonesia. Partai ini hanya menerima peranakan sebagai anggota biasa, sedangkan kaum totok hanya dapat diterima sebagai anggota luar biasa yang tidak punya hak suara. Partai ini meraih suara banyak ketika krisis Malase melanda Hindia Belanda tahun 1930-an.

Masyarakat Tionghoa Surabaya pada Masa Pendudukan Jepang
            Pada masa pendudukan Jepang, beberapa organisasi pergerakan milik Tionghoa mulai diawasi secara ketat akibat perlawanan oleh masyarakat Tionghoa. Ada perbedaan pandangan mengenai aksi perlawanan antara golongan totok dan peranakan. Golongan totok menunjukkan solidaritas dan patriotisme terhadap saudaranya di Tiongkok maupun di Surabaya. Mereka tid menolak keras bekerja sama dengan Jepang. Golongan peranakan lebih suka membantu gerakan antifasisme Jepang di Jawa daripada mengirim bantuan ke Tiongkok. Mereka tidak memungkiri memungkiri adanya usaha untuk bekerja sama dengan Jepang ketika diperlukan dan terpaksa.
            Salah satu bentuk perlawanan terhadap Jepang, yaitu aksi pemboikotan terhadap produk Jepang yang disponsori oleh Siang Hwee Surabaya. Gerakan ini juga disebut Tjin Tjay Hwee. Gerakan ini dibantu pula oleh organisasi-organisasi Tionghoa, baik totok maupun peranakan di Surabaya, seperti Bio Hoo Hio Hap dan Sing Khie. Gerakan ini bertujuan untuk mengumpulkan dana ke Tiongkok
            Berbagai perlawanan masyarakat Tionghoa di beberapa titik di Surabaya membuat Jepang berinisiatif melakukan penangkapan tokoh anti-Jepang dan dibawa ke kamp internira, salah satunya kamp interniran Cimahi, Jawa Barat. Untuk meredam beberapa gerakan anti-Jepang, pemerintah Jepang mendirikan sebuah badan spionase untuk mengatur aktivitas politik masyarakat Tionghoa. Mereka mendirikan Kakyo Han atau kantor urusan Tionghoa di setiap kota besar di Jawa yang berpusat di Batavia. Kantor ini berada di bawah pengawasan langsung kempetai.
Jepang juga mendirikan organisasi bernama Hwa Chiao Chung Hui atau HCCH, atau Kakyosokai. Organisasi ini didirikan di setiap daerah untuk mengumpulkan dana kepada korban perang dunia kedua, mengelola sekolah-sekolah Tionghoa, dan mengurusi masyarakat Tionghoa miskin. Seluruh biaya operasional  ditanggung masyarakat Tionghoa. Momentum masuknya Jepang di Indonesia dimanfaatkan oleh berbagai organisasi pergerakan di Surabaya untuk menerima orang-orang Tionghoa peranakan sebagai anggota, seperti Persatuan Bangsa Indonesia yang dipimpin dr. Soetomo.

Aksi Pemboikotan 10 Januari 1946 di Surabaya
            Peristiwa pemogokan yang digerakkan masyarakat Tionghoa terjadi pada Januari 1946 di Surabaya, tepatnya di pasar Pabean. Tempat ini menjadi pasar induk Surabaya bergaya Neo Klasik. Peristiwa pemogokan terjadi selama empat hari melumpuhkan aktivitas kota khususnya kegiatan perekonomian. Kejadian ini mendapat perhatian berita baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
            Pada Kamis, 10 Januari 1946 akivitas perdagangan di kawasan pasar Pabean berjalan normal dengan adanya bongkar muat barang. Aksi pemboikotan dimulai ketika pedagang Tionghoa dituduh mencuri makanan dari gudang milik sekutu. Padahal hasil makanan tersebut adalah murni milik masyarakat Tionghoa sendiri. Tuduhan ini dilakukan oleh oknum tentara Gurka dan Ambon. Hal tersebut kemudian diketahui oleh anggota AMA-Police yang sedang berpatroli dan kebetulan lewat.
            Orang-orang Tionghoa yang dituduh mencuri kemudian dibawa ke kantor Allied Military Civil Affair Buerau atau AMACAB. Tentara yang berpatroli mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa telah melakukan pencurian di gudang makanan milik tentara sekutu dan sebagian dijual  untuk kepentingan komersil. Atas dasar tersebut, masyarakat Tionghoa melakukan pemboikotan kepada sekutu.
            Adanya aksi tersebut membuat seluruh pedagang di cabang-cabang AMACAB meninggalkan pekerjaannya sebagai bentuk protes terhadap sekutu. Masyarakat Tionghoa menuntut beberapa hal, yaitu: tindakan perampokan, perampasan, dan pemerkosaan oleh oknum tentara gurka, sikap berat sebela AMACAB terhadap pembagian bahan makanan, serta tentara Inggris sering memancing warga Tionghoa untuk melakukan penyerbuan dan penggedoran gudang makanan.
            Aksi mogok terus berlanjut selama empat hari, beberapa pemuda menempelkan plakat-plakat di berbagai tempat. Saat menempel beberapa plakat di jalan Kapasan, terjadi bentrokan antara tentara India dengan sekelompok pemuda Tionghoa. Bentrokan tersebut mengakibatkan kedua kubu mengalami luka-luka. Untuk mengatasi hal tersebut, sekutu mulai datang dengan membawa senjata lengkap untuk membubarkan massa.
            Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, tokoh dari Siang Hwee bernama Oei Chiao Liong dan beberapa pengurus dan ketua organisasi Tionghoa yang ada di Surabaya datang untuk meredakan kemarahan kedua kubu. Oei Chiao Liong menampung semua tuntutan para pemogok, yaitu: pengembalian barang rampasan oleh tentara Inggris, melepaskan orang Tionghoa yang ditangkap dalam aksi pemogokan, menindak oknum anggota AMACAB sesuai hukum yang berlaku, dan perlakuan yang sama terhadap masyarakat Timur Asing dalam pembagian jatah makanan.
            Aksi ini kemudian menjadi sorotan media asing, pemimpin Siang Hwee dan AMACAB memberikan klarifikasi bahwa pemogokan terjadi karena perbuatan oleh oknum Indo, Ambon, dan tentara AMACAB. Pada tanggal 12-13 Januari 1946 pemogokan masih terus berlanjut. Pada akhirnya, tanggal 13 Januari 1946 terjadi pertemuan antara sekutu dan masyarakat Tionghoa. Mayor Jenderal E.C Mansergh selaku Pemimpin Tentara Darat Serikat di Jawa Timut mengatakan penyesalannya atas aksi pemogokan tersebut hingga menimbulkan korban di antara kedua belah pihak. Dampaknya sangat signifikan hingga melumpuhkan perekonomian Surabaya. Aksi protes ini menunjukkan adanya perlawanan akibat diskriminasi ras, suku, maupun ideologi.