Resume Aksi Pemogokan Masyarakat Tionghoa Surabaya 1946 karya Andjarwati Noordjanah
Oleh : Yuwana Galih Nugrahatama S.S
Orang-orang Tionghoa datang ke Nusantara dengan motif
ekonomi maupun politik pascakonflik berkepanjangan di Tiongkok. Mereka mulai
tertarik dengan kekayaan di luar Tiongkok, terutama kawasan Hindia Belanda.
Para imigran dari Tiongkok ini bukan berasal dari satu kelompok suku bangsa,
melainkan dari berbagai suku bangsa. Setidaknya ada empat suku bangsa Tionghoa
yang masuk ke dalam daftar sensus Pemerintah Hindia Belanda. Mereka adalah suku
Hokkian, Hakka, Teo Chiu, dan Kwang Fu. Suku Hokkian menempati jumlah teratas
bila dibandingkan dengan suku lainnya. Mereka berasal dari daerah Fukien
Selatan dan memiliki keahlian berdagang bagus dan kuat. Etos kerja mereka dapat
ditunjang oleh sifat mereka, yaitu ulet dan pekerja keras. Keberadaan etnis
Tionghoa di Nusantara tidak hanya berperan dalam hal ekonomi, namun juga dalam
segi sosial budaya dalam struktur masyarakat kolonial. Masyarakat Tionghoa
dibagi menjadi dua golongan, yaitu totok dan peranakan. Mereka yang disebut
peranakan karena dilahirkan di Hindia Belanda dari ibu pribumi dan ayah dari
Tiongkok, sedangkan totok adalah mereka yang berdarah murni Tionghoa dan lahir
di luar Hindia Belanda. Perbedaan keduanya dapat dilihat dari kehidupan
sehari-hari terutama bahasa. Bahasa yang digunakan kaum peranakan menggunakan
bagasa setempat karena pengaruh lingkungan keluarga yang tinggal dengan orang
pribumi atau menikahinya, sedangkan kaum totok sangat fasih berbahasa Mandarin
namun tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa setempat.
Rumah Abu Keluarga Han di Jalan Karet, Surabaya Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Rumah Abu Keluarga The di Jalan Karet, Surabaya Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Dari segi pendidikan, kaum totok lebih suka memasukkan
anak-anak mereka ke sekolah khusus Tionghoa, sedangkan kaum peranakan lebih
memilih dengan pendidikan ala Barat. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap
gaya hidup, agama dan kepercayaan, kebudayaan, maupun orientasi hidup. Intinya
adalah kaum peranakan cenderung terbuka terhadap sekitar, sedangkan kaum totok
cenderung protektif terhadap identitasnya sendiri. Satu hal yang paling
mendasar dari keduanya adalah perbedaan tingkat sosial dan ekonomi tersamarkan
oleh penggunaan nama keluarga atau she.
Ini diakibatkan karena kuatnya ikatan klan. Hal tersebut diwujudkan dengan
adanya perkumpulan “rumah abu” khususnya bagi mereka yang menjalankan tradisi
kremasi.
Masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda umumnya menetap di
kawasan pesisir maupun pedalaman dengan potensi perekonomian yang menguntungkan
bagi mereka. Pada mulanya, mereka mendirikan permukiman bersamaan dengan etnis
lainnya. Bentuk permukiman inilah menjadi semacam pertemuan berbagai kontak
kebudayaan terhadap masyarakat lokal maupun etnis lain di kawasan pesisir pantai. Beberapa permukiman
Tionghoa di Nusantara tersebar di beberapa daerah, seperti Batavia, Bandung,
Semarang, Surabaya, Pasuruan, Lasem, Pekalongan, Palembang, Padang, Pontianak,
Makassar, dan lain-lain.
Menara Syahbandar Kalimas Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Jembatan Merah di Atas Sungai Kalimas Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Keberadaan permukiman Tionghoa dikenal sejak adanya
pelabuhan Ujung Galuh yang berdekatan dengan pelabuhan Gresik di muara sungai
Brantas. Kebanyakan mereka tinggal di sekitar sungai karena menjadi jalur
pelayaran strategis dari dan ke luar Surabaya. Hal ini juga diperkuat dengan
adanya status Ujung Galuh sebagai bandar pelabuhan strategis sejak era
Majapahit hingga Mataram Islam.
Masyarakat
Tionghoa pada Masa Pendudukan Belanda
Permukiman Tionghoa di Kembang Jepun, Surabaya. Peta Tahun 1940 Sumber : maps.library.leiden.edu |
Pada awal abad ke-19, terjadi perubahan signifikan
mengenai peraturan permukiman asing yang disebut passenstelsel dan wijkenstelsel.
Masyarakat terbagi dalam tiga lapisan, yaitu lapisan pertama adalah orang
Belanda dan Eropa lainnya, lapisan kedua adalah orang Timur asing atau ooosterlingen (Tionghoa, Melayu, India
dan Arab), dan ketiga adalah masyarakat bumiputera secara keseluruhan. Pada
masa pendudukan Jepang, susunan strata masyarakat berubah drastis dengan
menempatkan orang pribumi di bagian teratas, sedangkan paling bawah adalah
masyarakat Eropa.
Pada masa pendudukan Belanda, penduduk Timur Asing harus
tetap tinggal di wilayah yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Apabila
melakukan pelanggaran dengan tetap tinggal di luar wilayah yang ditentukan,
maka mereka harus masuk ke dalam wilayah baik secara sukarela atau paksaan.
Mereka juga diharuskan membawa kartu jalan atau reichtpass, berlaku untuk semua kegiatan, kecuali perdagangan
candu. Penghapusan surat jalan baru dilaksanakan pada tahun 1918
Setiap perkampungan Timur Asing dipimpin oleh Opsir
Tionghoa dengan jabatan Mayor, Kapitan, dan Letnan. Pejabat ini bertugas
sebagai pemimpin dan penghubung antara masyarakat Tionghoa dengan pemerintahan
kolonial Belanda dalam hal administratif. Mekanisme pemilihan opsir Tionghoa
menjadi hak sepenuhnya dari warga Tionghoa. Kedua golongan mempunyai hak sama
untuk dicalonkan. Opsir yang diangkat selalu orang yang sesuai dengan selera
penguasa. Loyalitas dan tingkat sosial ekonominya diperhitungkan. Jabatan ini
diemban secara turun temurun.
Kapitan Medan Tjong A Fie Sumber: kitlv.nl |
Beberapa kota besar memiliki hal semacam ini, tidak
terkecuali Surabaya. Dalam sejarah, opsir
Tionghoa di Surabaya dipegang dua keluarga, yaitu keluarga Han dan The. Sejak
penerapan sistem tersebut, keluarga Han selalu mendominasi jabatan tersebut
hingga tahun 1920-an. Jabatan tersebut kemudian digantikan oleh keluarga The.
Hotel Ganefo, Eks Keluarga The Pada Masanya Sumber : Surabaya Historical |
Keluarga The tinggal di daerah Kapasan dan menguasai
hampir seluruh tanah di Kapasan. Mereka juga memiliki salah satu istana (kini
hotel Ganefo), sedangkan keluarga Han tinggal di daerah Bongkaran. Mereka
memiliki usaha penginapan dan bandar judi besar di Surabaya (Pewarta Soerabaia,
1 Juli 1914). Jabatan opsir Tionghoa kemudian dihapus secara berkala hingga
tahun 1926 tetapi masih diberlakukan jabatan Titulair, yaitu jabatan
kehormatan. Jabatan ini kemudian diganti dengan nama Lotia atau semacam pejabat kampung setempat yang ditunjuk langsung
oleh pemerintah lokal.
Beberapa permukiman Tionghoa di Surabaya terdapat
perkumpulan yang bergerak di bidang sosial. Salah satunya adalah perkumpulan Tong Hiang Hwee, semacam rukun kampung
yang menyediakan perabotan untuk pernikahan, penguburan jenazah, dan
menyelenggarakan pendidikan gratis bagi anak-anak Tionghoa. Beberapa pemuda
Tionghoa juga mendirikan Sport en Gymnastiek
Vereniging. Para perempuan Tionghoa juga memiliki organisasi khusus
perempuan bernama Hoedjin Hwee,
bertujuan memperjuangkan perbaikan hidup dari berbagai sisi terutama
pendidikan.
Masyarakat Tionghoa juga memiliki perserikatan bernama Tionghoa Heww Koan yang dibentuk pada
awal 1900-an, sedangkan kamar dagang Tionghoa atau Siang Hwee pada tahun 1907. THHK berfokus pada bidang kesehatan,
pendidikan, maupun bidang lainnya.
Pandangan politik masyarakat Tionghoa Surabaya memiliki
perbedaan tersendiri. Beberapa di antaranya gencar mengkritik pemerintah yang
berkuasa pada waktu itu. Pewarta Tionghoa milik kaum totok adalah salah
satunya. Golongan Tionghoa beraliran nasionalis dekat dengan aliran Sin Po yang berkembang di Batavia.
Gerakan ini merupakan sebuah ekspresi ketidakpuasaan masyarakat Tionghoa.
Kelompok lainnya adalah kaum peranakan yang pro kolonial
Belanda. Kelompok CHH atau Chung Hwa Hui
berisi orang-orang kaya, seperti opsir, tuan tanah, dan pengusaha. Kelompok ini
menggunakan bahasa Belanda sebagai bukti keberpihakannya terhadap Belanda.
Kelompok terakhir adalah Partai Tionghoa Indonesia. Partai ini hanya menerima
peranakan sebagai anggota biasa, sedangkan kaum totok hanya dapat diterima
sebagai anggota luar biasa yang tidak punya hak suara. Partai ini meraih suara
banyak ketika krisis Malase melanda Hindia Belanda tahun 1930-an.
Masyarakat
Tionghoa Surabaya pada Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, beberapa organisasi
pergerakan milik Tionghoa mulai diawasi secara ketat akibat perlawanan oleh
masyarakat Tionghoa. Ada perbedaan pandangan mengenai aksi perlawanan antara
golongan totok dan peranakan. Golongan totok menunjukkan solidaritas dan
patriotisme terhadap saudaranya di Tiongkok maupun di Surabaya. Mereka tid
menolak keras bekerja sama dengan Jepang. Golongan peranakan lebih suka
membantu gerakan antifasisme Jepang di Jawa daripada mengirim bantuan ke
Tiongkok. Mereka tidak memungkiri memungkiri adanya usaha untuk bekerja sama
dengan Jepang ketika diperlukan dan terpaksa.
Salah
satu bentuk perlawanan terhadap Jepang, yaitu aksi pemboikotan terhadap produk
Jepang yang disponsori oleh Siang Hwee Surabaya.
Gerakan ini juga disebut Tjin Tjay Hwee.
Gerakan ini dibantu pula oleh organisasi-organisasi Tionghoa, baik totok maupun
peranakan di Surabaya, seperti Bio Hoo
Hio Hap dan Sing Khie. Gerakan
ini bertujuan untuk mengumpulkan dana ke Tiongkok
Berbagai
perlawanan masyarakat Tionghoa di beberapa titik di Surabaya membuat Jepang
berinisiatif melakukan penangkapan tokoh anti-Jepang dan dibawa ke kamp
internira, salah satunya kamp interniran Cimahi, Jawa Barat. Untuk meredam
beberapa gerakan anti-Jepang, pemerintah Jepang mendirikan sebuah badan
spionase untuk mengatur aktivitas politik masyarakat Tionghoa. Mereka
mendirikan Kakyo Han atau kantor
urusan Tionghoa di setiap kota besar di Jawa yang berpusat di Batavia. Kantor
ini berada di bawah pengawasan langsung kempetai.
Jepang juga mendirikan organisasi bernama Hwa Chiao Chung Hui atau HCCH, atau Kakyosokai. Organisasi ini didirikan di
setiap daerah untuk mengumpulkan dana kepada korban perang dunia kedua,
mengelola sekolah-sekolah Tionghoa, dan mengurusi masyarakat Tionghoa miskin.
Seluruh biaya operasional ditanggung
masyarakat Tionghoa. Momentum masuknya Jepang di Indonesia dimanfaatkan oleh
berbagai organisasi pergerakan di Surabaya untuk menerima orang-orang Tionghoa
peranakan sebagai anggota, seperti Persatuan Bangsa Indonesia yang dipimpin dr.
Soetomo.
Aksi
Pemboikotan 10 Januari 1946 di Surabaya
Peristiwa pemogokan yang digerakkan masyarakat Tionghoa
terjadi pada Januari 1946 di Surabaya, tepatnya di pasar Pabean. Tempat ini
menjadi pasar induk Surabaya bergaya Neo Klasik. Peristiwa pemogokan terjadi
selama empat hari melumpuhkan aktivitas kota khususnya kegiatan perekonomian.
Kejadian ini mendapat perhatian berita baik dari dalam negeri maupun luar
negeri.
Pada
Kamis, 10 Januari 1946 akivitas perdagangan di kawasan pasar Pabean berjalan
normal dengan adanya bongkar muat barang. Aksi pemboikotan dimulai ketika
pedagang Tionghoa dituduh mencuri makanan dari gudang milik sekutu. Padahal
hasil makanan tersebut adalah murni milik masyarakat Tionghoa sendiri. Tuduhan
ini dilakukan oleh oknum tentara Gurka dan Ambon. Hal tersebut kemudian
diketahui oleh anggota AMA-Police yang sedang berpatroli dan kebetulan lewat.
Orang-orang
Tionghoa yang dituduh mencuri kemudian dibawa ke kantor Allied Military Civil Affair Buerau atau AMACAB. Tentara yang
berpatroli mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa telah melakukan pencurian di
gudang makanan milik tentara sekutu dan sebagian dijual untuk kepentingan komersil. Atas dasar
tersebut, masyarakat Tionghoa melakukan pemboikotan kepada sekutu.
Adanya
aksi tersebut membuat seluruh pedagang di cabang-cabang AMACAB meninggalkan pekerjaannya
sebagai bentuk protes terhadap sekutu. Masyarakat Tionghoa menuntut beberapa
hal, yaitu: tindakan perampokan, perampasan, dan pemerkosaan oleh oknum tentara
gurka, sikap berat sebela AMACAB terhadap pembagian bahan makanan, serta
tentara Inggris sering memancing warga Tionghoa untuk melakukan penyerbuan dan
penggedoran gudang makanan.
Aksi
mogok terus berlanjut selama empat hari, beberapa pemuda menempelkan
plakat-plakat di berbagai tempat. Saat menempel beberapa plakat di jalan
Kapasan, terjadi bentrokan antara tentara India dengan sekelompok pemuda
Tionghoa. Bentrokan tersebut mengakibatkan kedua kubu mengalami luka-luka.
Untuk mengatasi hal tersebut, sekutu mulai datang dengan membawa senjata
lengkap untuk membubarkan massa.
Untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut, tokoh dari Siang Hwee bernama Oei Chiao Liong dan beberapa pengurus dan ketua
organisasi Tionghoa yang ada di Surabaya datang untuk meredakan kemarahan kedua
kubu. Oei Chiao Liong menampung semua tuntutan para pemogok, yaitu: pengembalian
barang rampasan oleh tentara Inggris, melepaskan orang Tionghoa yang ditangkap
dalam aksi pemogokan, menindak oknum anggota AMACAB sesuai hukum yang berlaku,
dan perlakuan yang sama terhadap masyarakat Timur Asing dalam pembagian jatah
makanan.
Aksi ini
kemudian menjadi sorotan media asing, pemimpin Siang Hwee dan AMACAB memberikan klarifikasi bahwa pemogokan
terjadi karena perbuatan oleh oknum Indo, Ambon, dan tentara AMACAB. Pada
tanggal 12-13 Januari 1946 pemogokan masih terus berlanjut. Pada akhirnya,
tanggal 13 Januari 1946 terjadi pertemuan antara sekutu dan masyarakat
Tionghoa. Mayor Jenderal E.C Mansergh selaku Pemimpin Tentara Darat Serikat di
Jawa Timut mengatakan penyesalannya atas aksi pemogokan tersebut hingga
menimbulkan korban di antara kedua belah pihak. Dampaknya sangat signifikan
hingga melumpuhkan perekonomian Surabaya. Aksi protes ini menunjukkan adanya
perlawanan akibat diskriminasi ras, suku, maupun ideologi.