Penelusuran
Makam Orang Eropa di Kota Pekalongan
Sejarah
Singkat Kota Pekalongan
Kota Pekalongan adalah salah satu kota pesisir di kawasan
pantai utara Jawa Tengah serta penghubung antara Jakarta – Semarang – Surabaya[i].
Titik tengah pulau Jawa atau tugu mylpaal
berada di kawasan lapangan Jetayu, salah satu kawasan cagar budaya yang
memiliki beragam macam bangunan bernuansa kolonial[ii].
Kota ini juga dikenal sebagai penghasil batik terbesar selain Yogyakarta dan
Solo. Warna khas dari batik Pekalongan adalah biru muda[iii],
warna khas yang hanya ditemukan di dalam kain batik Tiga Negeri[iv].
Asal mula nama Pekalongan sendiri mempunyai beberapa
versi diantaranya :
- Nama kerajaan yaitu “Pou Kia Loung” yang tetulis di naskah kuno Sunda dari akhir abad ke – 16 oleh Bujangga Manik ketika melakukan perjalanan menuju Pekalongan
- Menurut Keputusan Pemerintah Hindia Belanda atau Gouvernements Besluit nomor 40 tahun 1931, nama Pekalongan diambil dari kata “Halong”
- Pekalongan berasal dari kata “A Pek Along An” yang berarti penangkapan ikan laut
- Pekalongan berasal dari nama suatu desa dari Kesesi, Kabupaten Pekalongan. Suatu tempat Topo Ngalongnya Joko Bau (Bau Rekso) putra Kyai Cempluk yang dikenal sebagai pahlawan daerah Pekalongan dan pahlawan kerajaan Mataram.
Sumber : Sri Puji Astuti, 2002, Rumah tinggal etnis Arab di Pekalongan : Kajian Organisasi Ruang Rumah Tinggal Etnis Keturunan Arab di Kelurahan Sugihwaras, Kota Pekalongan. Tesis : Magister Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Pekalongan kemudian berkembang menjadi lumbung perbekalan
baik senjata maupun pangan oleh Sultan Agung penguasa Mataram Islam, beliau
menunjuk pangeran Manduraredja dan Bahu Reksa sebagai panglima perang dalam
menghalau serangan VOC dari pesisir utara Jawa[v].
Wilayah Pekalongan termasuk dalam Pesisiran Kulon, Pekalongan dan Pemalang
adalah sebuah tanah lungguh. Tanah lungguh Pemalang milik Pangeran Purbaya
sedangkan Pangeran Uposonto memiliki tanah lunggung Pekalongan[vi].
Kota Pekalongan kemudian menjadi wilayah gubernemen sejak
tahun 1800 hingga 1942 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda[vii].
Kebijakan desentralisasi yang digulirkan tahun 1903 oleh pemerintah kolonial
membuat kawasan karesidenan Pekalongan memiliki sebuah kotamadya atau gementee di kota Pekalongan[viii],
karesidenan Pekalongan membawahi berbagai daerah seperti Tegal, Pekalongan,
Comal, Sragi, Pemalang, dan Batang. Karesidenan Pekalongan dikenal sebagai
penghasil gula terbanyak di kawasan pesisir utara Jawa Tengah selain Kendal dan
Pati.
Stasiun Pekalongan Kondisi Sekarang Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Perkembangan kota Pekalongan sebagai pusat perekonomian srategis disebabkan oleh pembangunan jalur kereta api yang dilakukan oleh perusahaan kereta api swasta Samarang – Chirebon Stoomtram Maatschappij, kantor pusat perusahaan ini berada di sebelah utara stasiun besar Tegal (eks gedung Universitas Pancasila Tegal) serta memiliki stasiun induk yaitu Semarang Poncol. Stasiun Pekalongan dibuka tahun 1899 dengan jalur awal dari Pemalang – Pekalongan sejauh 33,1 km. Tahun 1919, jalur yang semula untuk trem ditingkatkan menjadi jalur berat seperti sekarang. Stasiun pekalongan juga memiliki jalur lori yang berasal dari pabrik gula di kawasan Wonopringgo yang dibangun pada masa ekonomi liberal tahun 1870[ix] an.
Kawasan
pesisir utara Jawa Tengah merupakan pusat kawasan perkebunan tebu seperti :
Tegal, Pekalongan, sampai Semarang. Tanaman tebu merupakan tanaman favorit yang
ditanam di 13 karesidenan dari 18 karesidenan yang ada di Jawa[x].
Luasnya areal perkebunan komoditas ekspor merupakan pengaruh adanya hak eigendom, yaitu hak milik mutlak bagi
benda-benda tidak bergerak termasuk di dalamnya hak kepemilikan atas tanah dan
berakibat terbukanya kesempatan kaum pemodal atau pihak swasta untuk
berinvetsasi di Jawa dan Sumatra agar ditanami komoditas ekspor maupun pendirian
pabrik industri[xi].
Selain
jalur kereta api, pembangunan jalan pos Daendels sudah dibangun lebih dahulu
saat Perancis berkuasa di Jawa, pembangunan diawali dari titik awal Anyer
hingga pelabuhan Panarukan sejauh 1.100 km dan selesai dalam kurun waktu 2-3
tahun saja. Jalan yang dibuat hanya jalan setapak serta membangun jaringan
telekomunikasi berupa kantor pos, telegram, hingga jaringan telepon sepanjang
jalur tersebut[xii].
Akses jalan raya dan rel kereta api menunjang kegiatan sarana transportasi
untuk mengangkut barang-barang ekspor dari pedalaman ke pelabuhan.
Pengaruh
adanya pembangunan infrastruktur di kawasan kota Pekalongan rupanya turut andil
dalam pertumbuhan pemukiman di suatu perkotaan. Kota Pekalongan pada masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda rupanya dikelompokkan dalam suatu
klaster-klaster dan diatur berdasarkan tata perencanaan suatu wilayah
perkotaan. Pemukiman berdasarkan suku bangsa atau ras diatur dalam suatu
peraturan passenstelsel dan wijkenstelsel[xiii].
Klaster-klaster ini bersifat suatu tatanan simbolik struktural namun juga
mencerminkan fungsional untuk mendukung suatu kehidupan kota[xiv].
Kantor Bakorwil Kota Pekalongan, Eks Kantor Residen Pekalongan Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Pemerintahan kolonial Belanda memilii sebuah hak istimewa bernama hak exhobirtante Pembagian strata masyarakat Pekalongan pada masa kolonial dibagi menjadi 3 lapisan yaitu : 1. Masyarakat Eropa atau kulit putih, 2. Masyarakat Timur Asing atau Oosterlingen (Tionghoa, Arab, dll), 3. Masyarakar Bumiputera. kota-kota Indonesia pada masa kolonial memiliki karakteristik sebagai kota tripartit karena melibatkan tiga unsur yang terkait : yakni unsur pribumi yang terdiri dari kampung-kampung, unsur Timur asing (Cina dan Arab) dengan rumah-rumah tokonya, dan unsur Barat dengan benteng dan rumah kolonialnya[xv].
Rumah Masyarakat Arab di Kampung Sugihwaras Kota Pekalongan Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Rumah Masyarakat Tionghoa di Pecinan Pekalongan Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Orang-orang Eropa bermukim di sekitar kawasan Jetayu dan
memiliki tempat tinggal bergaya arsitetektur Eropa maupun campuran[xvi].
Klaster kedua adalah masyarakat timur asing, biasanya bermukim di tempat
strategis seperti pesisir pantai atau pusat perekonomian. Dalam persebaran
penduduk, biasanya orang-orang timur asing lebih suka mengelompok di suatu
tempat tertentu yaitu dekat dengan tempat strategis[xvii].
Hasil penelitian dari Alan Gilbert dan Joseph Gugler membuktikan bahwa
mayoritas migran yang ditanya selalu menjawab bahwa prospek ekonomi perkotaan
lebih baik dibandingkan pedesaan[xviii].
Dalam hal aspek sosial dan budaya, menurut Kuntowijoyo dalam Warto (1985 : 102)
perkampungan etnis asing di tengah kota adalah kampung yang memiliki sifat
eksklusif dan intensitas dengan penduduk setempat terbatas, namun dalam
masyarakat kota pesisir memiliki sifat terbuka dan intensitas dengan penduduk setempat
sangat beragam. Klaster terakhir adalah masyarakat bumiputera[xix],
mayoritas adalah orang Jawa. Sejak memasuki masa politik etis abad ke – 20,
masyarakat Jawa di Pekalongan tergolong Islam pesisir yang bersifat puritan. Sedangkan
dalam aspek kebudayaan mulai ditemukan kebudayaan Indis antara masyarakat lokal
dan pendatang sehingga menambah ragam identitas sosial suatu kawasan perkotaan.
Keberadaan
Pemakaman Orang Eropa di Kota Pekalongan
Keberadaan makam orang Eropa di suatu wilayah menandakan
adanya suatu komunitas orang Eropa baik di pemukiman maupun suatu bangunan
seperti pabrik gula, tempat tinggal, maupun gereja. Makam Eropa di belakang
pabrik gula biasanya menandakan pemilik pabrik tersebut, makam di samping
gereja menandakan pastur atau pendeta yang mengabdi kepada gereja tersebut
semasa hidupnya, sedangkan makam umum orang Eropa biasanya ditandai dengan
simbol + pada peta lama yang dibuat pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Ada
keunikan tersendiri ketika menemukan makam Eropa, salah satu contohnya adalah
museum Prasasti di Jakarta. Awal mulanya merupakan kompleks pemakaman orang
Eropa di pusat ibukota, beberapa diantaranya meninggalkan simbol-simbol yang
memiliki nilai dan arti tersendiri seperti simbol ular yang mengigit ekornya
sendiri atau ouroborous hingga logo
jangka sorong yang berafiliasi dengan organisasi persaudaraan rahasia freemasons. Makam-makam ini jumlahnya
tidak hanya satu, tapi tersebar banyak di beberapa kota besar maupun kecil di
Indonesia.
Kota
Pekalongan rupanya memiliki bekas kompleks pemakaman orang Eropa yang kini
dipakai sebagai Makam Kristen Panjang Wetan, 1.5 kilometer ke arah utara dari
lapangan Jetayu. Kondisi terakhir saat saya melihat langsung adalah sering kena
banjir rob pantai utara Jawa, ini dapat merusak struktur marmer makam ketika
rob melanda. Di sisi lain, kondisi dari komplels pemakaman ini kurang terawat
di beberapa bagian, terutama makam Eropa yang sebagian kondisinya sudah rusak
dan hilang dicuri oleh oknum tidak bertanggung jawab.
Pintu Masuk Kerkhoff Pekalongan, ada logo hourglass dan kupu-kupu Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Kondisi Terakhir Kerkhoff Pekalongan Sumber : Dokumenyasi Pribadi |
Bagian Kompleks Kerkhoff Pekalongan dari arah selatan Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Pintu
masuk menuju makam rupanya masih terjaga keaslinya, saat memasuki areal
pemakaman saya menemukan dua simbol yang lazim dalam kompleks pemakaman Eropa
yaitu hourglass dan kupu-kupu atau butterfly. Simbol jam pasir bersayap atau hourglass melambangkan kehidupan
seseorang ada batas waktunya, sedangkan simbol kupu-kupu merupakan perwujudan
gambaran perjalanan hidup manusia dari lahir hingga meninggal dunia, hingga
akhirnya terbang ke tempat lain seperti halnya kupu-kupu.
Simbolisme banyak ditemukan di makam Eropa, ini adalah logo Ouroborous dan Hourglass Sumber : images.google.com |
Saat
memasuki makam, keberadaan batu nisan orang Eropa sangat sedikit semenjak
ditinggalkan oleh orang Eropa pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Kompleks
ini kemudian beralih fungsi menjadi makam orang kristen, mayoritas orang
Tionghoa dan orang Jawa. Keberadaan makam orang Eropa sendiri kini hanya tersisa 9 - 15 batu nisan dan tidak ada sistem penomoran. Berikut adalah daftar nama orang Eropa yang dimakamkan disini :
- Mevr The Tie Siet, Overleden : Pekalongan 5-3-1942
- J.G Willmesz, Geboren : Pekalongan, 9 Juni 1880, Overleden : Pekalongan den 16 Maart 1940
- Mevr Carolina Maria Meijer de Bats, Geboren : Solo, 16 Februari 1850, Overleiden: Pekalongan 12 Mei 1960
- A.H.E Meijer vanden Berg, Geboren : Solo, 10 Januari 1875, Overleden : Pekalongan 18 October 1908
- Johannes Martinus Heck, Geboren : Tegal, 2 December 1888, Overleden : Pekalongan, 17 Maart 1921
- Victor Stauber, Geboren: 12 December 1892 Stad Swiss, in leven Directeur der M.V.C.O Kalilamang. Overleden : 2 Juni 1958 Te Djakarta
- Henricus Josephus Hopp, Overleden : Pekalongan, 16 Januari 1937
- Mevr. K. Grunewald, Geboren : 15 Februari 1886, Overleden : 29 Juni 1956
Keterangan : Geboren : lahir, Overleden : Wafat.
Kondisi makam mulai mengelupas Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Menurut penulis, sebagian keluarga Meijer ada di TPU Sukun, Malang Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Makam seorang Direktur sebuah perusahaan di Kalilamang Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Simpulan
Keberadaan makam orang Eropa di Pekalongan membuktikan adanya keberadaan orang Eropa di sekitar kawasan Jetayu, disamping itu ada beberapa orang Tionghoa mulai dimakamkan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Simbolisme di berbagai makam Eropa di Hindia Belanda membuktikan bahwa simbol-simbol tersebut diambil dari beberapa mitologi maupun kepercayaan dari peradaban lain di dunia. Sampai saat ini, penulis belum menemukan keberadaan makam khusus orang Tionghoa maupun Arab di Kota Pekalongan. Keberadaan mereka membuktikan bahwa Kota Pekalongan adalah salah satu kota dagang strategis sejak zaman pra kolonial hingga sekarang, ini terbukti dengan adanya batik Tiga Negeri khas Pekalongan maupun pabrik gula di kawasan eks Karesidenan Pekalongan. Semoga kawasan Jetayu maupun kompleks pemakaman ini perlu dijaga kelestariannya oleh masyarakat maupun pihak terkait, karena ini adalah identitas penting kota Pekalongan. Satu pesan penting di setiap pemakaman orang Eropa adalah memento mori (latin) : "Ingatlah Kematian".
[i] Kawasan pesisiran Barat (Tegal, Pekalongan) lebih berwawasan perdagangan
dibanding kawasan pesisiran Timur (Demak, Kudus, Jepara) yang bernafaskan Islam.
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa,
Balai Pustaka : Jakarta.
[ii] Beberapa bangunan diantaranya adalah : 1. Kantor Bakorwil Kota Pekalongan
(eks rumah jabatan Residen Pekalongan), 2. Museum Batik Pekalongan, 3. GOR
Jetayu (Eks Societet De Selectatio), 4. PT Pertani (eks National Handelsbank),
5. Kantor Pos besar Pekalongan, 6. Lapas Kelas 1A dan 2A Kota Pekalongan, 7.
Jembatan Lodji, 8. Pabrik Limun Oriental, 9. Gedung Batik TV
[iii] Batik Pesisiran dilhat dari segi pewarnaanya sangat khas dengan warna-warna
terangnya (Pekalongan : biru, Lasem : merah darah). Warna dari kain batik
tersebut dapat dibedakan berdasarkan coraknya yaitu milik masyarakat lokal
maupun Tionghoa/Arab. Arif Sakti Wibowo, 2007, Peranan Keturunan Arab dalam Jaringan Batik di Surakarta Abad XX,
Skripsi : Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret, Tidak Diterbitkan.
[iv] Produk Mataram yang laku keras di pantai utara Jawa adalah kain kelengan
(batik warna biru sederhana) dan kain lurik/ginggang. Lihat Anton Haryono,
2015, Mewarisi Tradisi Menemukan Solusi :
Industri Rakyat Daerah Yogyakarta Masa Kolonial (1830 – 1930), Universitas Sanata Dharma : Yogyakarta, halaman : 3.
[v] Zaenuddin Hm, 2014, Asal-usul
kota-kota di Indonesia Tempo Doeloe, Change Publisher : Jakarta, halaman :
401.
[vi] Sri Puji Astuti, 2002, Rumah tinggal
etnis Arab di Pekalongan : Kajian Organisasi Ruang Rumah Tinggal Etnis
Keturunan Arab di Kelurahan Sugihwaras, Kota Pekalongan. Tesis : Magister Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Tidak Diterbitkan.
[viii] Berdasarkan Staatblaad Nomor 124
tahun 1906, Pekalongan resmi ditetapkan sebagai kota besar atau Gementee yang memiliki hak otonomi
daerah.
[ix] Undang-undang Agraria atau agrarischewet
mulai disahkan pada tahun 1870, berisi setiap tanah yang tidak memiliki bukti
hak milik maka dimiliki oleh negara.
[x] Tanto Sukardi, 2014, Tanam Paksa di
Banyumas : Kajian Mengenai Sistem,
Pelaksanaan, dan Dampak Sosial Ekonomi, Pustaka Pelajar : Yogyakarta, Halaman
: 36.
[xii] Pramoedya Ananta Toer, 2006, Jalan Raya
Pos, Jalur Daendels. Lentera Dipantara. Lihat juga Tim Seri Tempo, 2017, Jalan Pos Daendels, Gramedia Pustaka
Utama : Jakarta.
[xiii] Ini merupakan imbas dari penetapan regering
reglement pada 1854 tentang pelapisan sosial. Andjarwati Noordjanah,2004, Komunitas
Tionghoa di Surabaya (1900-1946), Mesiass : Semarang, halaman : 70.
[xiv] Eko Punto Hendro, 2014, Perkembangan
Morfologi Kota Cirebon dari Masa Kerajaan
hingga Akhir Masa Kolonial, Jurnal Ilmiah : Jurusan Sejarah Universitas
Diponegoro, Halaman : 21.
[xv] Lihat Maslakhatul Khurul Aini. 2013. Masyarakat
Arab Islam di Ampel Surabaya dalam Struktur Kota Bawah Tanah Tahun 1816- 1918.
Skripsi : Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Tidak Diterbitkan
[xvi] Menurut Handinoto, mengutip dari kupasan Helen Jessup, dari abad ke 16
sampai 1940 an, perkembangan arsitektektur di Hindia Belanda dibagi menjadi 4
bagian yaitu : 1. Abad 16 – 18 : masa VOC dimana bangunan harus beradaptasi
dengan iklim dan lingkungan setempat. 2. Tahun 1800 – 1902 : masa dimana
pemerintah Belanda mulai mengambil bangunan bergaya neo-klasik, 3. Tahun 1901 –
1920 an : masa politik etis, dimana mulai bermunculan kebudayaan Indis. 4.
Tahuhn 1920 – 1940 an : munculnya gaya campuran. Sri Puji Astuti, 2002, Rumah tinggal etnis Arab di Pekalongan :
Kajian Organisasi Ruang Rumah Tinggal Etnis Keturunan Arab di Kelurahan
Sugihwaras, Kota Pekalongan. Tesis : Magister Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro, Tidak Diterbitkan, halaman : 61 – 66.
[xvii] Handinoto, 1996, Perkembangan Kota
dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya, Andi : Yogyakarta, Halaman : 48.
[xviii] Alan Gilbert & Joseph Gugler, 1996, Urbanisasi
& Kemiskinan di dunia ketiga,
Tiara Wacana : Yogyakarta, Halaman : 60
[xix] Istilah ini sebenarnya muncul pada media pers peranakan dan pribumi di
Hindia Belanda sejak dasawarsa kedua abad ke – 20. Bumiputera berasal dari dua
kata yaitu : bumi (dunia atau tanah air) dan putera (pangeran, anak laki-laki).
Leo Suryadinata, 1999, Etnis Tionghoa dan
Pembangunan Bangsa, LP3ES : Jakarta, halaman : 107.