Bisnis “Candu” Tempo Dulu di Hindia Belanda
Oleh : Yuwana Galih N. S.S
Sejak
bubarnya kongsi dagang Belanda atau VOC pada 31 Desember 1799, praktis kondisi
keuangan pemerintah kolonial Belanda mengalami defisit anggaran. Penyebabnya
tidak lain adalah korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan ketika
VOC menguasai hak monopoli rempah-rempah dan komoditi ekspor lainnya[i].
Belum lagi keuangan VOC dikuras habis untuk mengatasi berbagai perlawanan
internal maupun eksternal, terutama perang Jawa dan perang menghadapi Belgia
maupun Inggris. Untuk mengatasi masalah tersebut, van den Bosch memprakarsai
praktik yang disebut sebagai sistem tanam paksa atau cultuurstelsel agar pemerintahan Hindia Belanda mendapatkan kucuran
dana segar dalam membangun infrastruktur daearah koloni milik Belanda[ii].
Sistem
tanam paksa yang dilaksanakan tahun 1830 mulai memberikan dampak positif bagi
kondisi keuangan pemerintah kolonilal Hindia Belanda[iii].
Komoditas tanaman ekspor yang menjanjikan di pasaran internasional adalah : kopi,
nila, teh, hingga gula. Komoditas gula menjadi primadona ketika sistem ekonomi
liberal mulai diterapkan di Hindia Belanda pada tahun 1870[iv].
Pembangunan pabrik gula mulai digalakkan baik di kawasan pesisir maupun kawasan
pedalaman, terutama kawasan vorstenlanden[v] yaitu : Yogyakarta
dan Surakarta[vi]. UU Agraria tahun 1870
mulai menjamin kepemilikan tanah bagi individu maupun swasta untuk menanamkan
investasi di Hindia Belanda, ini adalah terobosan baru kebijakan agraria
semenjak penerapan sistem landrent
milik Thomas Stanford Raffles saat Hindia Belanda masih di bawah kekuasaan
Inggris[vii].
Stasiun Samarang NIS, pembangunan jalur kereta api di Hindia Belanda mendukung distribusi barang termasuk opium Sumber : http://heritage.kereta-api.co.id/?p=2854 |
Akibat pembangunan secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belanda, Jawa mulai mengalami kondisi berupa meningkatnya jumlah populasi penduduk di kawasan pesisir maupun pedalaman[viii]. Transformasi penduduk Jawa pada abad ke – 19 juga diiringi dengan kemajuan perekonomian hingga memunculkan suatu kaum ekonomi baru baik di kawasan pedalaman maupun perkotaan. Peningkatan pendapatan dan kualitas hidup rupanya telah mengubah gaya hidup sebagai masyarakat kelas bawah menengah untuk mengikuti gaya hidup ala barat. Perubahan dalam gaya hidup tersebut salah satunya berupa kegiatan menghisap opium atau candu dalam kehidupan sehari-hari. Pihak yang sangat terlibat dalam kegiatan jual beli candu dikelola oleh orang Tionghoa Jawa atau Peranakan.
Awal mula Opium di Hindia
Belanda
Asal
mula tanaman opium bukan dari tanah Hindia Belanda, melainkan dibawa oleh
saudagar Arab maupun Tionghoa saat Nusantara mengalami masa Imporium
perdagangan sejak abad – 17. Opium yang diimpor oleh kerajaan Belanda berasal
dari Afghanistan karena dikenal memiliki kualitas terbaik. Benda inilah yang
menjadi alat negosiasi pemerintahan kolonial dalam upaya mengimpor candu di
kawasan Mataram pada masa pemerintahan Raja Amangkurat II dengan VOC.
Semenjak
pengenalan sistem karesidenan oleh Daendels pada tahun 1807, Jawa mulai dibagi
ke dalam 9 karesidenan untuk mengatur tata kelola pemerintahan maupun komoditas
yang ada di wilayah tersebut. Sistem ini kemudian dilanjutkan oleh Belanda
untuk memasukkan opium ke dalam wilayah yang dibolehkan; Kecuali karesidenan
Banten, Batavia[ix], dan Priangan karena
ketiganya merupakan daerah terlarang penyebaran opium di Hindia Belanda.
Kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah pangsa pasar terbaik bagi para
pengepak dan importir sejak berakhirnya perang Jawa tahun 1830. Kemajuan
teknologi pelayaran dan pembangunan jalur kereta api di pulau Jawa rupanya
memberikan kemudahan dalam kegiatan distribusi opium baik di kawasan perkotaan maupun
pedesaaan.
Opium
bagi sebagaian masyarakat Jawa merupakan sebuah obat dalam mengatasi masalah
kehidupan sehari-hari[x].
Ini dibuktikan dengan kegemaran para pekerja paksa maupun petani perkebunan
mampu membeli opium kualitas menengah ke bawah, biasanya disebut sebagai tike
atau opium yang dicampur dengan bahan-bahan alami seperti tanaman awar-awar.
Walaupun hal ini sangat ditentang keras oleh kalangan santri, kebiasaan ini
tetap digemari sampai berakhirnya sistem pak opium di Hindia Belanda tahun 1930
an. Bagi masyarakat Tionghoa, menyediakan opium bagi kerabat sesama Tionghoa
adalah sebuah kebanggan dan menandakan status sosial yang dimilikinya[xi].
Biasanya mereka membeli opium kualitas terbaik dari Afghanistan maupun Maroko
kemudian dinikmati saat prosesi pesta maupun perjamuan setelah makan malam.
Baik masyarakat Jawa, Tionghoa, maupun Arab memiliki klub opium sendiri di
kawasan perkotaan maupun pedesaan.
Buah Opium/Candu, tumbuh subur di kawasan subtropis seperti India dan Afghanistan. Candu digunakan oleh gerilyawan Taliban sebagai sumber dana mereka. Sumber : https://plus.kapanlagi.com/5-macam-narkoba-dan-efek-sampingnya-00a97d-2.html |
Opium sendiri juga disebutkan dalam kitab sastra Jawa Gatholoco. Gatholoco adalah tokoh yang berbentuk seperti penis, membentengi dirinya untuk menghadapi golongan muslim dengan cara menelan bulat-bulat segumpal besar opium atau jicing. Raja Paku Buwono IV, penguasa keraton Surakarta Hadiningrat mengutuk keras kepada anak keturunannya agar tidak mengkonsumsi candu. Pandangannya ditulis dalam bentuk Serat Wulangreh atau ajaran-ajaran tentang perilaku yang benar. Hal ini didasarkan oleh ajaran ma lima yang diperoleh dari Sunan Ampel saat memperbaiki kondisi moral masyarakat Majapahit menjelang keruntuhannya pada abad ke – 16. Kebiasaan menghisap candu disebut madat.
Drie Opiumschuivers (Tiga Pecandu Opium) Sumber : http://collectie.wereldculturen.nl/default.aspx?idx=ALL&field=*&search=10012183 |
Mayoritas
penggunan opium di tanah Jawa rupanya adalah masyarakat Jawa sendiri, bukannya
orang Tionghoa maupun golongan timur asing lainnya. Pangsa pasar di Tanah Jawa
tidak boleh dilewatkan begitu saja. Pasokan opium sendiri diatur oleh sebuah
lembaga yang dirancang dan diatur oleh pemerintahan kolonial Belanda dalam
sebuah sistem bernama : pacht opium.
Sistem ini didasarkan kepada pelelangan dan pemberian hak monopoli candu
berdasarkan kurun waktu tertentu.
Sistem Pak Opium di Hindia
Belanda
Omah Candu di Surabaya Sumber : Surabaya Heritage Society |
Sistem pelelangan adalah
hal lazim dalam dunia perekonomian, barang siapa yang bisa memenuhi sebuah
permintaan harga barang tersebut, maka ia layak mendapatkan keuntungan dari
barang yang didapatkan. Opium sendiri juga tidak luput dari sistem pelelangan.
Pelelangan sendiri diselenggarakan di pendapa kediaman resmi bupati senior.
Orang yang boleh mengikuti kompetsi pelelangan adalah : para pejabat tinggi,
bupati, pejabat priyayi rendahan, orang Tionghoa maupun anggota pegawai
kolonial Hindia Belanda. Residen selaku wakil pemerintahan Belanda akan
memimpin prosesi pelelangan pak opium.
Pelelangan
opium bagi Residen Belanda ibarat sebuah penawaran tinggi yang menghasilkan
surplus keuangan bagi kolonial Belanda, disisi lain bagi orang Tionghoa
merupakan sebuah kebanggan dan mendapatkan keuntungan maupun hak monopoli dalam
beberapa komoditas, termasuk opium. Bagi mereka, kegiatan lelang opium ibarat
peperangan antara raja-raja. Banyak pengepak opium berasal dari kalangan
Tionghoa, masih sedikit ditemukan pengepak dari kalangan masyarakat yang
notabene memiliki kekuatan finansial bagus.
Keberhasilan
proses pelelangan ditentukan oleh kerjasama antar pengusaha Tionghoa, atau
disebut sebagai kongsi yang diikat oleh perjanjian hukum tertentu;Misalnya
pembagian keuntungan dan pengelolaan pak di daerah masing-masing. Beberapa
tokoh pengepak Opium terkenal diantaranya : Tion Sing Mo dari Surakarta, Liem
Kie Soen dari Surabaya, Be Biauw Tjoan dari Semarang, Tan Boe In, dan Liem Kie
Djan. Mereka adala segelintir pengepak opium yang berhasil mendapatkan
keuntungan sekaligus kerugian ketika berakhirnya sistem pak opium di Hindia
Belanda saat berjalannya kebijakan politik etis atau balas budi abad ke – 20.
Keuntungan
ketika mendapatkan pak opium adalah hak eksklusif untuk mengedarkan opium
secara resmi dari pemerintah Hindia Belanda, disamping mendapatkan hak monopoli
perdagangan seperti : beras, garam, kopi, hingga babi. Bentuk pengelolaan
sistem pak ini selalu berhubungan dari atas hingga ke tingkat paling bawah,
dari residen hingga tingkat kepala desa atau lurah dengan bentuk kerjasama
politik antar beberapa pihak. Penjualannya dilakukan oleh toko resmi yang
ditunjuk langsung oleh pemerintah Hindia Belanda maupun agen yang menjual dari
pak opium tersebut. Keuntungan sendiri juga dibagi rata berdasarkan perjanjian
kongsi, sebaliknya jika mengalami kerugian akan dituntut oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda dalam bentuk hukuman kurungan penjara ditambah membayar
denda dan kerugian sesuai nominalnya.
Golongan pak opium Tionghoa adalah elit kecil namun
berkuasa di wilayah Jawa kolonial, mereka adalah sebuah penghubung dan
penyangga eksklusif antara komunitas Tionghoa dan Pemerintah Belanda. Golongan
cabang atas Tionghoa mayoritas memegang posisi penting dalam koloni seperti
Mayor serta mendapatkan hak istimewa yang diatur dalam kebijakan passenstelsel dan wijkenstelsel yang mengatur pemukiman dan hak tertentu berdasarkan
ras dan suku bangsa. Hal ini lazim ditemukan dalam kota-kota pesisir di Jawa
maupun tempat lain.
Pasar Gelap Opium di
Hindia Belanda
Penjualan
opium sendiri tidak hanya dalam bentuk resmi, melainkan juga dijual dalam pasar
gelap. Biasanya para pengepak ini memanfaatkan celah dan kerjasama antar
birokrasi pemerintah pusat maupun daerah untuk mengeruk keuntungan di luar pak
resmi yang ditunjuk oleh pemerintah. Pusat-pusat penjualan opium gelap dan
orang-orang yang mengelolanya biasanya dikenal sebagai “Patungan”. Perdagangan
ini juga dikenal sebagai “Perdagangan Patungan”. Layaknya sebuah organisasi
sebuah pak, sistem ini juga cenderung beragam daripada seragam seperti pak
resmi. Pak tak resmi ini juga membuka pondok opium hingga ke daerah terpencil
sekalipun untuk menghemat biaya dan menghindari pajak yang dinilai merugikan
bagi mereka. Kebanyakan dikelola oleh seorang Jawa dan Tionghoa setempat yang
membeli opium dari toko pak dalam jumlah besar dan menawarkannya kepada
sejumlah pelanggan.
Pangsa
dagang opium gelap di kawasan terlarang juga merambah daerah seperti Priangan
dan Batavia dalam jumlah besar. Penyelundupan biasanya dilakukan dalam tempat
sepi sekaligus memanfaatkan moda transportasi seperti dokar, kapal, hingga
kereta api[xii]. Pengelolaan pangsa
opium gelap dan resmi tak hanya bergantung kepada variabel seperti kemampuan
mengolah candu dan tike melainkan
efisiensi manajemen pak, pengetahuan terhadap situasi setempat, serta
kepercayaan pekerja pak.
Corong
atau tempat utama peredaran pak opium gelap adalah di kawasan pesisir utara
Jawa, terutama di daerah Lasem, Jawa Tengah atau dikenal sebagai rumah Candu
Lasem. Biasanya mereka membawa opium gelap dari lepas pantai menggunakan kapal
berukuran sedang yang dibiarkan terombang-ambing di tengah pantai kemudian
diambil oleh para pekerja. Jalur peredarannya sendiri masuk dari Hindia lewat Eropa,
Cina, dan Singapura. Harga Opium di Hindia Belanda jauh lebih tinggi daripada
harga di Singapura. Hal tersebut diakibatkan karena tingginya permintaan baik
dalam pak resmi maupun pak gelap. Konkalikong atau kerjasama antara oknum
pemerintah Hindia Belanda hingga penguasa lokal membuat praktik ini semakin
menjamur dan membuat kemakmuran bagi sebagian masyarakat Tionghoa maupun oknum
terkait. Selain di Lasem, Bali dan Lombok adalah tempat asal mayoritas opium
gelap Jawa berpindahtangan dengan perantara pengepak resmi seperti The Tjiang
Siang dan Oei Soen Tjioe. Mayoritas opium tersebut berasal dari India, Turki,
Afghanistan, dan Singapura.
Rumah Candu Lawang Ombo, Lasem, Rembang Sumber : https://fahmianhar.wordpress.com/2013/12/05/eksotisme-rumah-candu-lawang-ombo-lasem/rumah-lawang-ombo-lasem/ |
Lubang Penyelundupan Candu di Lawang Ombo, Lasem, Rembang Sumber : https://fahmianhar.wordpress.com/2013/12/05/eksotisme-rumah-candu-lawang-ombo-lasem/lubang-penyelundupan-candu-rumah-candu-lasem/ |
Pemerintahan Hindia Belanda kemudian giat menggalakan patroli untuk mengurangi dan melawan pak gelap ini dengan memperbaiki birokrasi maupun mengganti oknum pegawai Belanda dengan orang yang memiliki integritas dalam melawan operasi penyelundupan opium kelas kakap. Operasi Marungan adalah salah satu dari sekian operasi melawan penyelundup antar daerah dimana para pejabat dan dunia kriminal saling kerjasama. Salah satu tokohnya adalah Te Mechellen, ia adalah seorang polisi sekaligus detektif Belanda yang mahir dalam operasi intelijen tingkat tinggi di kawasan corong opium yaitu Juwana[xiii] dan Rembang, Jawa Tengah.
Untuk menghapus
kegiatan penyelundupan, ia berusaha mengirimkan mata-mata di pak opium gelap
maupun di tingkat birokrasi pejabat tinggi maupun rendahan. Ini merupakan
indikasi keterlibatan dari bawah hingga atas, dari bupati hingga kepala sangat
umum ditemui dalam praktek gelap penyelundupan opium. Hasilnya, mereka yang
kalah akan berhadapan dengan pengadilan kolonial dan dihukum sesuai kerugian
yang dituntut oleh pemerintah kolonial Belanda.
Regi Opium
De vulkamer van een opiumfabriek te Weltevreden, Java (Ruang Pengisian Pabrik Opium di Weltevreden atau Jatinegara)Sumber : http://collectie.wereldculturen.nl |
Memasuki awal abad ke – 20, sistem pak opium mulai diganti dengan sistem baru bernama Regi Opium. Perang antipak-opium adalah bagian dari perluasan reorientasi pemikiran kolonial yang berawal pada 1880 an. Kebijakan ekonomi liberal rupanya lebih menguntungkan pengusaha namun tidak bagi kemakmuran masyarakat pribumi. Oleh karena itu, pada tahun 1901 Ratu Wilhemina secara resmi meminta maaf atas “berkurangnya kesejahteraaan penduduk Jawa”. Selang waktu kemudian, politik etis atau balas budi mulai digulirkan pemerintahan kolonial Belanda dalam memperbaiki kemakmuran penduduk diantaranya : irigasi, pendidikan, serta program transmigrasi penduduk.
Semangat
pembaruan ini juga ditandai dengan dimulainya sistem Regi Opium, sebuah
departemen pemerintahan yang didirikan untuk meluruskan kesalahan-kesalahan
masa lalu. Semua urusan opium dipusatkan di ibukota, dimana pemerintah di
Batavia menghasilkan produk-produk turunan opium dengan rasa dan kualitas yang
seragam. Sebelumnya, semua kegiatan produksi dan distribusi hanya dikelola oleh
pak setempat. Pabrik dan birokrasi diatur oleh biro pemerintah baru di bawah
Departemen Keuangan. Biro ini dikepalai oleh seorang inspektur kepala dan
memiliki 4 pegawai orang inspektur, seorang insinyur, seorang mekanik, dan
sekelompok kecil fungsionaris maupun jurutulis.
In een opiumfabriek te Weltevreden worden de hulzen in houten doosje verpakt, Java 1907
(Di Pabrik Opium Jatinegara, candu dimasukkan ke dalam kota kayu, tahun 1907)
Sumber : http://collectie.wereldculturen.nl
|
Pada tahun 1893, pabrik Regi Opium beroperasi di Batavia dengan kendala teknis dan administrasi. Teknologi modern digunakan untuk memproduksi candu dan tike dengan kualitas yang konsisten dan rasa yang disukai masyarakat luas. Beberapa pengepak opium mulai menentang keberadaan sistem ini. kota Batavia mulai menggunakan undang-undang lama untuk menegaskan hak regi sebagai hak pemerintah dalam melindungi pak opium. Di bawah Regi Opium, setiap karesidenan memiliki pusat depot opium yang dikelola oleh pemegang depot Eropa dan jaringan kerja luas yang terdiri dari toko-toko opium resmi. Di bawah toko-toko opium, setiap karesidenan memiliki jaringan kerja berupa pondok-pondok opium berlisensi. Namun dalam sistem Regi, pada pengisap opium diminta membeli opium di sebuah toko regi yang tidak memiliki fasilitas apapun.
Dalam
struktur pemerintahan, jabatan Regi Opium kira-kira sejajar dengan beberapa
jabatan lain dalam Pangreh Praja mulai dari asisten wedana ke bawah, intinya
sistem ini memperluas kesatuan Pangreh Praja. Sebagian pegawai regi angkatan
pertama dipilih berdasarkan rekomendasi priyayi setempat yang berpengaruh.
Proses mutasi dan promosi jabatan sebagian besar didasarkan pada keberasilan
prestasi kerja mereka. Jabatan pegawai Jawa di Regi Opium menggambarkan
perubahan siginifikan lembaga di Jawa yang melibatkan hubungan antara Pangreh
Praja dengan pemerintaha Belanda.
Opium
Regi mencapai masa kejayaan ketika menjadi yang termahal di dunia, tahun 1903
harganya mencapai 10 kali lipat harga opium di Singapura. Jawa masih menjadi corong
distribusi opium resmi maupun ilegal, sedangkan pada zaman regi, peran Bali
sebagai pusat redistribusi penting dan produksi perantara sudah surut secara
drastis. Di bawah Regi, kasus penyebaran opium ilegal maupun pelanggaran
lainnya masih diadili secara lokal di hadapan pengadilan keliling dan Landraaad. Pengadilan ini masih banyak
bergantung pada keterangan yang disiapkan oleh priyayi setempat. Untuk masalah
patroli, Regi Opium banyak mengambilalih pekerjaaan satuan tugas negara. Mereka
berpatroli di pantai-pantai utara Jawa, selat Surabaya dan Bali dengan
kapal-kapal pemburu bertenaga uap dengan spesifikasi mumpuni. Pada tahun 1897,
Lombok menjadi tuan rumah pertama Regi Opium.
Bisnis
Regi Opium mulai mengalami kejayaan pada tahun 1904, dimana Jawa mulai bangkit
dari depresi di bidang pertanian. Penjualan memuncak ketika waktu panen musim
panas, dan tahun 1905 penjualan Regi Opium di hampir semua karesidenan
melampaui penjualan yang dihasilkan pak-pak opium zaman sebelumnya. Sistem Regi
Opium merupakan pewaris sejati dari sistem sebelumnya yaitu Pak Opium atau Opiumpacht.
Akhir dari Kejayaan Opium
di Hindia Belanda
Raja Gula dari Semarang, Oei Tiong Ham Sumber : https://daerah.sindonews.com/read/1072142/29/riwayat-raja-gula-dari-semarang-oei-tiong-ham-1450997053 |
Kejayaan opium di Hindia Belanda mulai
mencapai waktunya ketika Politik Etis membawa perubahan revolusioner bagi
komunitas Jawa-Tionghoa. Pak opium yang menjadi peran penting dalam membentuk
struktur masyarakat Tionghoa seketika menghilang dan mempengaruhi bentuk struktur masyarakat secara umum. Hilangnya sistem pak memperburuk status sosial
dan ekonomi, terutama askes pengaturan mereka di daerah pedesaan semenjak
penerapan surat jalan (1897) dan surat izin tinggal (1900). Gelombang
penghapusan pak membuat mereka bergantung kepada ekonomi pedesaan. Kebangkrutan
pak mencerminkan runtuhnya jaringan kerja perdagangan Tionghoa yang sudah lama
bekerjasama dengan pak-pak opium.
Pada
tahun berikutnya, organisasi Sarekat Dagang Islam lahir di kota Solo. Tujuan
dibentuknya organisasi ini untuk membendung perekonomian Tionghoa dan Belanda
dimana para pengrajin batik pribumi Laweyan menginginkan sistem ekonomi
mandiri, walaupun pada kenyataaanya batik Tiga Negeri juga diproduksi di kota
dengan penduduk Tionghoa yaitu : Pekalongan, Solo, dan Lasem (Rembang).
Organisasi SDI kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam, sebuah organisasi
politik dalam memerangi ketidakadilan dalam segala bidang kehidupan, lebih dulu
daripada Budi Utomo yang terbatas ruang lingkupnya di Jawa-Bali maupun anggota
yang terbatas pada golongan cendekiawan. Sentimen Xenophobia pun mulai mengakar bersamaan dengan lahirnya
pergerakan nasional modern pada awal abad ke – 20.
Masyarakat
Tionghoa kemudian mendirikan sebagai perkumpulan bernama THHK, organisasi yang
berkembang menjadi organisasi sosial dan politik utama dengan cabang di seluruh
Jawa. Usaha mereka adalah pembaruan di segala bidang kehidupan terutama bidang
pendidika, sosial, dan ekonomi masyarakat Tionghoa pasca penghapusan sistem Pak.
Organisasi ini juga menjadi pionir propaganda anti-opium dan menekan penggunaan
opium di komunitas mereka. Tahun 1910, Budi Utomo mendekati pemerintahan
kolonial dalam bekerjasama dalam kampanye pendidikan anti-opium di Hindia
Belanda. Krisis ekonomi tahun 1930 atau masa Malase mengakibatkan pukulan telak
bagi sistem Regi Opium.
Regi
Opium masih beroperasi dari awal tahun 1900 hingga berakhir pada akhir tahun
1930, walaupun Belanda masih menjalankan usahanya. Bagi orang Jawa, Regi amasih
melayani orang-orang yang mengikuti aturan lama. Konsumsi Regi Opium juga tak
sebanyak dulu akibat propaganda anti-opium yang dilakukan oleh organisasi
masyarakat atau politik di Hindia Belanda. Beberapa tahun kemudian, Jepang
mulai menduduki kawasan Hindia Belanda. Pada pejuang kemerdekaan mulai melelang
habis stok opium regi yang berhasil diduduki untuk membantu perjuangan revolusi
melawan penjajah baik Jepang maupun Belanda.
[i] Hak istimewa VOC adalah hak oktroi atau occtroi,
salah satunya adalah monopoli perdagangan di suatu kawasan berdasarkan
perjanjian tertentu dengan penguasa setempat.
[ii] Sistem ini secara resmi diberlakukan pada 1840, sekalipun secara teknis
telah berjalan sejak 1836, ssekalioun sistem ini berakhir pada 1870, warisannya
tetap berjalan. Hermawan Sulistyo, 2000, Palu
Arit di Ladang Tebu : Sejarah
Pembantaian Massal yang Terlupakan 1965 – 1966. Gramedia : Jakarta, halaman
: 98.
[iii] Antara tahun 1831 dengan 1866, sekitar 672 juta gulden dipasok dari
keuntungan penjualan tanaman komoditas ekspor. Keuntungan ini digunakan untuk
membangun infrastruktur seperti jalan raya, jalur kereta api, pembuatan
jaringan telegraf, hingga membuat benteng pertahanan.
[iv] Beberapa pasal UU ini melarang penjualan tanah kepada nonpribumi, beberapa
pasal lagi mengatur soal tanah yang tidak dimiliki oleh pribumi. Ibid halaman : 99
[v] Belanda menyebut kawasan ini sebagai daerah yang dikuasai raja, vorsten dalam bahasa Belanda adalah
Raja, sedangkan landen berarti wilayah
atau kawasan. Kawasan ini dibagi menjadi dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta
dan Yogyakarta akibat perjanjian Giyanti tahun 1755.
[vi] Pembangunan jalur kereta api di kawasan vorstenlanden mutlak dilakukan,
keterbatasan jalur transportasi di wilayah ini membuat pihak kolonial Belanda
membutuhan terobosan komunikasi dan transportasi yaitu pembangunan jalut kereta
api. Waskito Widi Wardoyo, 2013, Dinamika
Sosial Ekonomi Masyarakat Vorstenladen 1864 – 1930. Tujju : Surakarta,
halaman : 11.
[vii] Kota-kota besar di Indonesia mulai mengalami percepatan cukup signifikan
semenjak penerapan UU Agraria tahun 1870, ini merupakan titik awal perkembangan
kota-kota di Hindia Belanda. Lihat, Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman. Penerbit Ombak : Yogyakarta, halaman : 4.
[viii] Setelah 1870, periode kolonial akhir dimulai dan disebut juga dengan
periode “kota kolonial keras” sebagai akibat dari politik pintu terbuka yang
mengizinkan orang-orang Eropa lainnya untuk datang ke Indonesia. Peter J.M Nas,
2007, Kota-kota di Indonesia : Bunga
Rampai. UGM Press : Yogyakarta, halaman : 305.
[ix] Pada tahun 1619, Jan Pieterzoen Coen membangun Batavia sebagai markas besar
VOC yang berkedudukan di kota Tua Jakarta. Batavia, dalam rencana besar Coen
akan menjadi ibukota imperium Asia baru milik Belanda. Lihat M.C Ricklefs,
1981, A History Modern of Indonesia,
London, halaman : 28.
[x] Seorang
Buruh Jawa yang bekerja pada orang Tionghoa rela menerima upah selain dalam
bentuk uang juga dalam bentuk candu. Menjelang tahun 1880 disebutkan bahwa
penggunakan candu sudah merata dan memiliki pengaruh yang tidak baik
terhadap kesejahteraan jasmani dan rohani penduduk. Penduduk kurang bergairah
dalam bekerja dan kehidupanya menjadi miskin. Lihat Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi putra: Perubahan Masyarakat
Mangkunegaran. LKIS : Yogyakarta, halaman 342-343.
[xi] Lihat, Liem Thian Joe, 1933, Riwajat Semarang
(Dari Djamannja Sam Poo Sampe Terhapoesnja Kongkoan, Boekhandel Ho Kiem Yo
: Semarang, halaman : 140.
[xii] Kereta api adalah salah satu media terbaik dalam penyelundupan opium,
biasanya opium ilegal dimasukkan dalam kargo barang atau tebu yang dibawa oleh
kereta lori atau penumpang. Pembangunan rel kereta api yang dimulai sejak tahun
1864 hingga semua kota-kota besar di pulau Jawa terhubung oleh kereta api.
Takashi Siraishi, 1997, Zaman Bergerak :
Radikalisme Rakyat di Jawa : 1912 – 1926. Grafiti Press : Jakarta, halaman
: 10.
[xiii] Jepara dan Juwana disebut termasuk wilayah Sandang Garba, raja kaum
pedagang dalam cerita mitos, yang dikalahkan oleh adiknya yang bungsu, Dandang
Gendis, raja kaum beragama yang memerintah di Jenggala (delta dungai Brantas).
Menurut Tome Pires, Juwana disebut sebagai Cajongam adalah kawasan pelabuhan
kurang penting untuk perdagangan laut pada masa kerajaan Demak, berbeda dengan
Jepara yang memiliki teluk yang baik. Lihat, H.J de Graaf dan TH. Pigeaud,
1989, Kerajaan Islam Pertama di Jawa :
Tinjauan Sejarah Politik Abad ke XV dan XVI. Grafiti Press : Jakarta,
halaman : 99.