Kamis, 02 Agustus 2018

Nikmatnya Bisnis Candu di Hindia Belanda


Bisnis “Candu” Tempo Dulu di Hindia Belanda

Oleh : Yuwana Galih N. S.S 


            Sejak bubarnya kongsi dagang Belanda atau VOC pada 31 Desember 1799, praktis kondisi keuangan pemerintah kolonial Belanda mengalami defisit anggaran. Penyebabnya tidak lain adalah korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan ketika VOC menguasai hak monopoli rempah-rempah dan komoditi ekspor lainnya[i]. Belum lagi keuangan VOC dikuras habis untuk mengatasi berbagai perlawanan internal maupun eksternal, terutama perang Jawa dan perang menghadapi Belgia maupun Inggris. Untuk mengatasi masalah tersebut, van den Bosch memprakarsai praktik yang disebut sebagai sistem tanam paksa atau cultuurstelsel agar pemerintahan Hindia Belanda mendapatkan kucuran dana segar dalam membangun infrastruktur daearah koloni milik Belanda[ii].
            Sistem tanam paksa yang dilaksanakan tahun 1830 mulai memberikan dampak positif bagi kondisi keuangan pemerintah kolonilal Hindia Belanda[iii]. Komoditas tanaman ekspor yang menjanjikan di pasaran internasional adalah : kopi, nila, teh, hingga gula. Komoditas gula menjadi primadona ketika sistem ekonomi liberal mulai diterapkan di Hindia Belanda pada tahun 1870[iv]. Pembangunan pabrik gula mulai digalakkan baik di kawasan pesisir maupun kawasan pedalaman, terutama kawasan vorstenlanden[v] yaitu : Yogyakarta dan Surakarta[vi]. UU Agraria tahun 1870 mulai menjamin kepemilikan tanah bagi individu maupun swasta untuk menanamkan investasi di Hindia Belanda, ini adalah terobosan baru kebijakan agraria semenjak penerapan sistem landrent milik Thomas Stanford Raffles saat Hindia Belanda masih di bawah kekuasaan Inggris[vii].
Stasiun Samarang NIS, pembangunan jalur kereta api di Hindia Belanda mendukung distribusi barang termasuk opium
Sumber : http://heritage.kereta-api.co.id/?p=2854

     
Akibat pembangunan secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belanda, Jawa mulai mengalami kondisi berupa meningkatnya jumlah populasi penduduk di kawasan pesisir maupun pedalaman[viii]. Transformasi penduduk Jawa pada abad ke – 19 juga diiringi dengan kemajuan perekonomian hingga memunculkan suatu kaum ekonomi baru baik di kawasan pedalaman maupun perkotaan. Peningkatan pendapatan dan kualitas hidup rupanya telah mengubah gaya hidup sebagai masyarakat kelas bawah menengah untuk mengikuti gaya hidup ala barat. Perubahan dalam gaya hidup tersebut salah satunya berupa kegiatan menghisap opium atau candu dalam kehidupan sehari-hari. Pihak yang sangat terlibat dalam kegiatan jual beli candu dikelola oleh orang Tionghoa Jawa atau Peranakan.
Awal mula Opium di Hindia Belanda
            Asal mula tanaman opium bukan dari tanah Hindia Belanda, melainkan dibawa oleh saudagar Arab maupun Tionghoa saat Nusantara mengalami masa Imporium perdagangan sejak abad – 17. Opium yang diimpor oleh kerajaan Belanda berasal dari Afghanistan karena dikenal memiliki kualitas terbaik. Benda inilah yang menjadi alat negosiasi pemerintahan kolonial dalam upaya mengimpor candu di kawasan Mataram pada masa pemerintahan Raja Amangkurat II dengan VOC.
            Semenjak pengenalan sistem karesidenan oleh Daendels pada tahun 1807, Jawa mulai dibagi ke dalam 9 karesidenan untuk mengatur tata kelola pemerintahan maupun komoditas yang ada di wilayah tersebut. Sistem ini kemudian dilanjutkan oleh Belanda untuk memasukkan opium ke dalam wilayah yang dibolehkan; Kecuali karesidenan Banten, Batavia[ix], dan Priangan karena ketiganya merupakan daerah terlarang penyebaran opium di Hindia Belanda. Kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah pangsa pasar terbaik bagi para pengepak dan importir sejak berakhirnya perang Jawa tahun 1830. Kemajuan teknologi pelayaran dan pembangunan jalur kereta api di pulau Jawa rupanya memberikan kemudahan dalam kegiatan distribusi opium baik di kawasan perkotaan maupun pedesaaan.
       Opium bagi sebagaian masyarakat Jawa merupakan sebuah obat dalam mengatasi masalah kehidupan sehari-hari[x]. Ini dibuktikan dengan kegemaran para pekerja paksa maupun petani perkebunan mampu membeli opium kualitas menengah ke bawah, biasanya disebut sebagai tike atau opium yang dicampur dengan bahan-bahan alami seperti tanaman awar-awar. Walaupun hal ini sangat ditentang keras oleh kalangan santri, kebiasaan ini tetap digemari sampai berakhirnya sistem pak opium di Hindia Belanda tahun 1930 an. Bagi masyarakat Tionghoa, menyediakan opium bagi kerabat sesama Tionghoa adalah sebuah kebanggan dan menandakan status sosial yang dimilikinya[xi]. Biasanya mereka membeli opium kualitas terbaik dari Afghanistan maupun Maroko kemudian dinikmati saat prosesi pesta maupun perjamuan setelah makan malam. Baik masyarakat Jawa, Tionghoa, maupun Arab memiliki klub opium sendiri di kawasan perkotaan maupun pedesaan.
Buah Opium/Candu, tumbuh subur di kawasan subtropis seperti India dan Afghanistan. Candu digunakan oleh gerilyawan Taliban sebagai sumber dana mereka.
Sumber : https://plus.kapanlagi.com/5-macam-narkoba-dan-efek-sampingnya-00a97d-2.html

         
Opium sendiri juga disebutkan dalam kitab sastra Jawa Gatholoco. Gatholoco adalah tokoh yang berbentuk seperti penis, membentengi dirinya untuk menghadapi golongan muslim dengan cara menelan bulat-bulat segumpal besar opium atau jicing. Raja Paku Buwono IV, penguasa keraton Surakarta Hadiningrat mengutuk keras kepada anak keturunannya agar tidak mengkonsumsi candu. Pandangannya ditulis dalam bentuk Serat Wulangreh atau ajaran-ajaran tentang perilaku yang benar. Hal ini didasarkan oleh ajaran ma lima yang diperoleh dari Sunan Ampel saat memperbaiki kondisi moral masyarakat Majapahit menjelang keruntuhannya pada abad ke – 16. Kebiasaan menghisap candu disebut madat.
Drie Opiumschuivers (Tiga Pecandu Opium)
Sumber : http://collectie.wereldculturen.nl/default.aspx?idx=ALL&field=*&search=10012183

           Mayoritas penggunan opium di tanah Jawa rupanya adalah masyarakat Jawa sendiri, bukannya orang Tionghoa maupun golongan timur asing lainnya. Pangsa pasar di Tanah Jawa tidak boleh dilewatkan begitu saja. Pasokan opium sendiri diatur oleh sebuah lembaga yang dirancang dan diatur oleh pemerintahan kolonial Belanda dalam sebuah sistem bernama : pacht opium. Sistem ini didasarkan kepada pelelangan dan pemberian hak monopoli candu berdasarkan kurun waktu tertentu.

Sistem Pak Opium di Hindia Belanda
Omah Candu di Surabaya
Sumber : Surabaya Heritage Society

            Sistem pelelangan adalah hal lazim dalam dunia perekonomian, barang siapa yang bisa memenuhi sebuah permintaan harga barang tersebut, maka ia layak mendapatkan keuntungan dari barang yang didapatkan. Opium sendiri juga tidak luput dari sistem pelelangan. Pelelangan sendiri diselenggarakan di pendapa kediaman resmi bupati senior. Orang yang boleh mengikuti kompetsi pelelangan adalah : para pejabat tinggi, bupati, pejabat priyayi rendahan, orang Tionghoa maupun anggota pegawai kolonial Hindia Belanda. Residen selaku wakil pemerintahan Belanda akan memimpin prosesi pelelangan pak opium.
            Pelelangan opium bagi Residen Belanda ibarat sebuah penawaran tinggi yang menghasilkan surplus keuangan bagi kolonial Belanda, disisi lain bagi orang Tionghoa merupakan sebuah kebanggan dan mendapatkan keuntungan maupun hak monopoli dalam beberapa komoditas, termasuk opium. Bagi mereka, kegiatan lelang opium ibarat peperangan antara raja-raja. Banyak pengepak opium berasal dari kalangan Tionghoa, masih sedikit ditemukan pengepak dari kalangan masyarakat yang notabene memiliki kekuatan finansial bagus.
            Keberhasilan proses pelelangan ditentukan oleh kerjasama antar pengusaha Tionghoa, atau disebut sebagai kongsi yang diikat oleh perjanjian hukum tertentu;Misalnya pembagian keuntungan dan pengelolaan pak di daerah masing-masing. Beberapa tokoh pengepak Opium terkenal diantaranya : Tion Sing Mo dari Surakarta, Liem Kie Soen dari Surabaya, Be Biauw Tjoan dari Semarang, Tan Boe In, dan Liem Kie Djan. Mereka adala segelintir pengepak opium yang berhasil mendapatkan keuntungan sekaligus kerugian ketika berakhirnya sistem pak opium di Hindia Belanda saat berjalannya kebijakan politik etis atau balas budi abad ke – 20.
            Keuntungan ketika mendapatkan pak opium adalah hak eksklusif untuk mengedarkan opium secara resmi dari pemerintah Hindia Belanda, disamping mendapatkan hak monopoli perdagangan seperti : beras, garam, kopi, hingga babi. Bentuk pengelolaan sistem pak ini selalu berhubungan dari atas hingga ke tingkat paling bawah, dari residen hingga tingkat kepala desa atau lurah dengan bentuk kerjasama politik antar beberapa pihak. Penjualannya dilakukan oleh toko resmi yang ditunjuk langsung oleh pemerintah Hindia Belanda maupun agen yang menjual dari pak opium tersebut. Keuntungan sendiri juga dibagi rata berdasarkan perjanjian kongsi, sebaliknya jika mengalami kerugian akan dituntut oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam bentuk hukuman kurungan penjara ditambah membayar denda dan kerugian sesuai nominalnya.
Golongan pak opium Tionghoa adalah elit kecil namun berkuasa di wilayah Jawa kolonial, mereka adalah sebuah penghubung dan penyangga eksklusif antara komunitas Tionghoa dan Pemerintah Belanda. Golongan cabang atas Tionghoa mayoritas memegang posisi penting dalam koloni seperti Mayor serta mendapatkan hak istimewa yang diatur dalam kebijakan passenstelsel dan wijkenstelsel yang mengatur pemukiman dan hak tertentu berdasarkan ras dan suku bangsa. Hal ini lazim ditemukan dalam kota-kota pesisir di Jawa maupun tempat lain.
Pasar Gelap Opium di Hindia Belanda
            Penjualan opium sendiri tidak hanya dalam bentuk resmi, melainkan juga dijual dalam pasar gelap. Biasanya para pengepak ini memanfaatkan celah dan kerjasama antar birokrasi pemerintah pusat maupun daerah untuk mengeruk keuntungan di luar pak resmi yang ditunjuk oleh pemerintah. Pusat-pusat penjualan opium gelap dan orang-orang yang mengelolanya biasanya dikenal sebagai “Patungan”. Perdagangan ini juga dikenal sebagai “Perdagangan Patungan”. Layaknya sebuah organisasi sebuah pak, sistem ini juga cenderung beragam daripada seragam seperti pak resmi. Pak tak resmi ini juga membuka pondok opium hingga ke daerah terpencil sekalipun untuk menghemat biaya dan menghindari pajak yang dinilai merugikan bagi mereka. Kebanyakan dikelola oleh seorang Jawa dan Tionghoa setempat yang membeli opium dari toko pak dalam jumlah besar dan menawarkannya kepada sejumlah pelanggan.
            Pangsa dagang opium gelap di kawasan terlarang juga merambah daerah seperti Priangan dan Batavia dalam jumlah besar. Penyelundupan biasanya dilakukan dalam tempat sepi sekaligus memanfaatkan moda transportasi seperti dokar, kapal, hingga kereta api[xii]. Pengelolaan pangsa opium gelap dan resmi tak hanya bergantung kepada variabel seperti kemampuan mengolah candu dan tike melainkan efisiensi manajemen pak, pengetahuan terhadap situasi setempat, serta kepercayaan pekerja pak.
            Corong atau tempat utama peredaran pak opium gelap adalah di kawasan pesisir utara Jawa, terutama di daerah Lasem, Jawa Tengah atau dikenal sebagai rumah Candu Lasem. Biasanya mereka membawa opium gelap dari lepas pantai menggunakan kapal berukuran sedang yang dibiarkan terombang-ambing di tengah pantai kemudian diambil oleh para pekerja. Jalur peredarannya sendiri masuk dari Hindia lewat Eropa, Cina, dan Singapura. Harga Opium di Hindia Belanda jauh lebih tinggi daripada harga di Singapura. Hal tersebut diakibatkan karena tingginya permintaan baik dalam pak resmi maupun pak gelap. Konkalikong atau kerjasama antara oknum pemerintah Hindia Belanda hingga penguasa lokal membuat praktik ini semakin menjamur dan membuat kemakmuran bagi sebagian masyarakat Tionghoa maupun oknum terkait. Selain di Lasem, Bali dan Lombok adalah tempat asal mayoritas opium gelap Jawa berpindahtangan dengan perantara pengepak resmi seperti The Tjiang Siang dan Oei Soen Tjioe. Mayoritas opium tersebut berasal dari India, Turki, Afghanistan, dan Singapura.
Rumah Candu Lawang Ombo, Lasem, Rembang
Sumber : https://fahmianhar.wordpress.com/2013/12/05/eksotisme-rumah-candu-lawang-ombo-lasem/rumah-lawang-ombo-lasem/

Lubang Penyelundupan Candu di Lawang Ombo, Lasem, Rembang
Sumber : https://fahmianhar.wordpress.com/2013/12/05/eksotisme-rumah-candu-lawang-ombo-lasem/lubang-penyelundupan-candu-rumah-candu-lasem/

           
Pemerintahan Hindia Belanda kemudian giat menggalakan patroli untuk mengurangi dan melawan pak gelap ini dengan memperbaiki birokrasi maupun mengganti oknum pegawai Belanda dengan orang yang memiliki integritas dalam melawan operasi penyelundupan opium kelas kakap. Operasi Marungan adalah salah satu dari sekian operasi melawan penyelundup antar daerah dimana para pejabat dan dunia kriminal saling kerjasama. Salah satu tokohnya adalah Te Mechellen, ia adalah seorang polisi sekaligus detektif Belanda yang mahir dalam operasi intelijen tingkat tinggi di kawasan corong opium yaitu Juwana[xiii] dan Rembang, Jawa Tengah.
            Untuk menghapus kegiatan penyelundupan, ia berusaha mengirimkan mata-mata di pak opium gelap maupun di tingkat birokrasi pejabat tinggi maupun rendahan. Ini merupakan indikasi keterlibatan dari bawah hingga atas, dari bupati hingga kepala sangat umum ditemui dalam praktek gelap penyelundupan opium. Hasilnya, mereka yang kalah akan berhadapan dengan pengadilan kolonial dan dihukum sesuai kerugian yang dituntut oleh pemerintah kolonial Belanda.
Regi Opium

De vulkamer van een opiumfabriek te Weltevreden, Java (Ruang Pengisian Pabrik Opium di Weltevreden atau Jatinegara)Sumber : http://collectie.wereldculturen.nl

           
Memasuki awal abad ke – 20, sistem pak opium mulai diganti dengan sistem baru bernama Regi Opium. Perang antipak-opium adalah bagian dari perluasan reorientasi pemikiran kolonial yang berawal pada 1880 an. Kebijakan ekonomi liberal rupanya lebih menguntungkan pengusaha namun tidak bagi kemakmuran masyarakat pribumi. Oleh karena itu, pada tahun 1901 Ratu Wilhemina secara resmi meminta maaf atas “berkurangnya kesejahteraaan penduduk Jawa”. Selang waktu kemudian, politik etis atau balas budi mulai digulirkan pemerintahan kolonial Belanda dalam memperbaiki kemakmuran penduduk diantaranya : irigasi, pendidikan, serta program transmigrasi penduduk.
            Semangat pembaruan ini juga ditandai dengan dimulainya sistem Regi Opium, sebuah departemen pemerintahan yang didirikan untuk meluruskan kesalahan-kesalahan masa lalu. Semua urusan opium dipusatkan di ibukota, dimana pemerintah di Batavia menghasilkan produk-produk turunan opium dengan rasa dan kualitas yang seragam. Sebelumnya, semua kegiatan produksi dan distribusi hanya dikelola oleh pak setempat. Pabrik dan birokrasi diatur oleh biro pemerintah baru di bawah Departemen Keuangan. Biro ini dikepalai oleh seorang inspektur kepala dan memiliki 4 pegawai orang inspektur, seorang insinyur, seorang mekanik, dan sekelompok kecil fungsionaris maupun jurutulis.
In een opiumfabriek te Weltevreden worden de hulzen in houten doosje verpakt, Java 1907 
(Di Pabrik Opium Jatinegara, candu dimasukkan ke dalam kota kayu, tahun 1907)

           
Pada tahun 1893, pabrik Regi Opium beroperasi di Batavia dengan kendala teknis dan administrasi. Teknologi modern digunakan untuk memproduksi candu dan tike dengan kualitas yang konsisten dan rasa yang disukai masyarakat luas. Beberapa pengepak opium mulai menentang keberadaan sistem ini. kota Batavia mulai menggunakan undang-undang lama untuk menegaskan hak regi sebagai hak pemerintah dalam melindungi pak opium. Di bawah Regi Opium, setiap karesidenan memiliki pusat depot opium yang dikelola oleh pemegang depot Eropa dan jaringan kerja luas yang terdiri dari toko-toko opium resmi. Di bawah toko-toko opium, setiap karesidenan memiliki jaringan kerja berupa pondok-pondok opium berlisensi. Namun dalam sistem Regi, pada pengisap opium diminta membeli opium di sebuah toko regi yang tidak memiliki fasilitas apapun.
            Dalam struktur pemerintahan, jabatan Regi Opium kira-kira sejajar dengan beberapa jabatan lain dalam Pangreh Praja mulai dari asisten wedana ke bawah, intinya sistem ini memperluas kesatuan Pangreh Praja. Sebagian pegawai regi angkatan pertama dipilih berdasarkan rekomendasi priyayi setempat yang berpengaruh. Proses mutasi dan promosi jabatan sebagian besar didasarkan pada keberasilan prestasi kerja mereka. Jabatan pegawai Jawa di Regi Opium menggambarkan perubahan siginifikan lembaga di Jawa yang melibatkan hubungan antara Pangreh Praja dengan pemerintaha Belanda.
            Opium Regi mencapai masa kejayaan ketika menjadi yang termahal di dunia, tahun 1903 harganya mencapai 10 kali lipat harga opium di Singapura. Jawa masih menjadi corong distribusi opium resmi maupun ilegal, sedangkan pada zaman regi, peran Bali sebagai pusat redistribusi penting dan produksi perantara sudah surut secara drastis. Di bawah Regi, kasus penyebaran opium ilegal maupun pelanggaran lainnya masih diadili secara lokal di hadapan pengadilan keliling dan Landraaad. Pengadilan ini masih banyak bergantung pada keterangan yang disiapkan oleh priyayi setempat. Untuk masalah patroli, Regi Opium banyak mengambilalih pekerjaaan satuan tugas negara. Mereka berpatroli di pantai-pantai utara Jawa, selat Surabaya dan Bali dengan kapal-kapal pemburu bertenaga uap dengan spesifikasi mumpuni. Pada tahun 1897, Lombok menjadi tuan rumah pertama Regi Opium.
            Bisnis Regi Opium mulai mengalami kejayaan pada tahun 1904, dimana Jawa mulai bangkit dari depresi di bidang pertanian. Penjualan memuncak ketika waktu panen musim panas, dan tahun 1905 penjualan Regi Opium di hampir semua karesidenan melampaui penjualan yang dihasilkan pak-pak opium zaman sebelumnya. Sistem Regi Opium merupakan pewaris sejati dari sistem sebelumnya yaitu Pak Opium atau Opiumpacht.
Akhir dari Kejayaan Opium di Hindia Belanda

Raja Gula dari Semarang, Oei Tiong Ham
Sumber : 
https://daerah.sindonews.com/read/1072142/29/riwayat-raja-gula-dari-semarang-oei-tiong-ham-1450997053
         Kejayaan opium di Hindia Belanda mulai mencapai waktunya ketika Politik Etis membawa perubahan revolusioner bagi komunitas Jawa-Tionghoa. Pak opium yang menjadi peran penting dalam membentuk struktur masyarakat Tionghoa seketika menghilang dan mempengaruhi bentuk struktur masyarakat secara umum. Hilangnya sistem pak memperburuk status sosial dan ekonomi, terutama askes pengaturan mereka di daerah pedesaan semenjak penerapan surat jalan (1897) dan surat izin tinggal (1900). Gelombang penghapusan pak membuat mereka bergantung kepada ekonomi pedesaan. Kebangkrutan pak mencerminkan runtuhnya jaringan kerja perdagangan Tionghoa yang sudah lama bekerjasama dengan pak-pak opium.
            Pada tahun berikutnya, organisasi Sarekat Dagang Islam lahir di kota Solo. Tujuan dibentuknya organisasi ini untuk membendung perekonomian Tionghoa dan Belanda dimana para pengrajin batik pribumi Laweyan menginginkan sistem ekonomi mandiri, walaupun pada kenyataaanya batik Tiga Negeri juga diproduksi di kota dengan penduduk Tionghoa yaitu : Pekalongan, Solo, dan Lasem (Rembang). Organisasi SDI kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam, sebuah organisasi politik dalam memerangi ketidakadilan dalam segala bidang kehidupan, lebih dulu daripada Budi Utomo yang terbatas ruang lingkupnya di Jawa-Bali maupun anggota yang terbatas pada golongan cendekiawan. Sentimen Xenophobia pun mulai mengakar bersamaan dengan lahirnya pergerakan nasional modern pada awal abad ke – 20.
            Masyarakat Tionghoa kemudian mendirikan sebagai perkumpulan bernama THHK, organisasi yang berkembang menjadi organisasi sosial dan politik utama dengan cabang di seluruh Jawa. Usaha mereka adalah pembaruan di segala bidang kehidupan terutama bidang pendidika, sosial, dan ekonomi masyarakat Tionghoa pasca penghapusan sistem Pak. Organisasi ini juga menjadi pionir propaganda anti-opium dan menekan penggunaan opium di komunitas mereka. Tahun 1910, Budi Utomo mendekati pemerintahan kolonial dalam bekerjasama dalam kampanye pendidikan anti-opium di Hindia Belanda. Krisis ekonomi tahun 1930 atau masa Malase mengakibatkan pukulan telak bagi sistem Regi Opium.
            Regi Opium masih beroperasi dari awal tahun 1900 hingga berakhir pada akhir tahun 1930, walaupun Belanda masih menjalankan usahanya. Bagi orang Jawa, Regi amasih melayani orang-orang yang mengikuti aturan lama. Konsumsi Regi Opium juga tak sebanyak dulu akibat propaganda anti-opium yang dilakukan oleh organisasi masyarakat atau politik di Hindia Belanda. Beberapa tahun kemudian, Jepang mulai menduduki kawasan Hindia Belanda. Pada pejuang kemerdekaan mulai melelang habis stok opium regi yang berhasil diduduki untuk membantu perjuangan revolusi melawan penjajah baik Jepang maupun Belanda.



[i] Hak istimewa VOC adalah hak oktroi atau occtroi, salah satunya adalah monopoli perdagangan di suatu kawasan berdasarkan perjanjian tertentu dengan penguasa setempat.
[ii] Sistem ini secara resmi diberlakukan pada 1840, sekalipun secara teknis telah berjalan sejak 1836, ssekalioun sistem ini berakhir pada 1870, warisannya tetap berjalan. Hermawan Sulistyo, 2000, Palu Arit di Ladang Tebu : Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan 1965 – 1966. Gramedia : Jakarta, halaman : 98.
[iii] Antara tahun 1831 dengan 1866, sekitar 672 juta gulden dipasok dari keuntungan penjualan tanaman komoditas ekspor. Keuntungan ini digunakan untuk membangun infrastruktur seperti jalan raya, jalur kereta api, pembuatan jaringan telegraf, hingga membuat benteng pertahanan.
[iv] Beberapa pasal UU ini melarang penjualan tanah kepada nonpribumi, beberapa pasal lagi mengatur soal tanah yang tidak dimiliki oleh pribumi. Ibid halaman : 99
[v] Belanda menyebut kawasan ini sebagai daerah yang dikuasai raja, vorsten dalam bahasa Belanda adalah Raja, sedangkan landen berarti wilayah atau kawasan. Kawasan ini dibagi menjadi dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta dan Yogyakarta akibat perjanjian Giyanti tahun 1755.
[vi] Pembangunan jalur kereta api di kawasan vorstenlanden mutlak dilakukan, keterbatasan jalur transportasi di wilayah ini membuat pihak kolonial Belanda membutuhan terobosan komunikasi dan transportasi yaitu pembangunan jalut kereta api. Waskito Widi Wardoyo, 2013, Dinamika Sosial Ekonomi Masyarakat Vorstenladen 1864 – 1930. Tujju : Surakarta, halaman : 11.
[vii] Kota-kota besar di Indonesia mulai mengalami percepatan cukup signifikan semenjak penerapan UU Agraria tahun 1870, ini merupakan titik awal perkembangan kota-kota di Hindia Belanda. Lihat, Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman. Penerbit Ombak : Yogyakarta, halaman : 4.
[viii] Setelah 1870, periode kolonial akhir dimulai dan disebut juga dengan periode “kota kolonial keras” sebagai akibat dari politik pintu terbuka yang mengizinkan orang-orang Eropa lainnya untuk datang ke Indonesia. Peter J.M Nas, 2007, Kota-kota di Indonesia : Bunga Rampai. UGM Press : Yogyakarta, halaman : 305.
[ix] Pada tahun 1619, Jan Pieterzoen Coen membangun Batavia sebagai markas besar VOC yang berkedudukan di kota Tua Jakarta. Batavia, dalam rencana besar Coen akan menjadi ibukota imperium Asia baru milik Belanda. Lihat M.C Ricklefs, 1981, A History Modern of Indonesia, London, halaman : 28.
[x] Seorang Buruh Jawa yang bekerja pada orang Tionghoa rela menerima upah selain dalam bentuk uang juga dalam bentuk candu. Menjelang tahun 1880 disebutkan bahwa penggunakan candu sudah merata dan memiliki pengaruh yang tidak baik terhadap kesejahteraan jasmani dan rohani penduduk. Penduduk kurang bergairah dalam bekerja dan kehidupanya menjadi miskin. Lihat Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran. LKIS : Yogyakarta,  halaman 342-343.
[xi] Lihat, Liem Thian Joe, 1933, Riwajat Semarang (Dari Djamannja Sam Poo Sampe Terhapoesnja Kongkoan, Boekhandel Ho Kiem Yo : Semarang, halaman : 140.
[xii] Kereta api adalah salah satu media terbaik dalam penyelundupan opium, biasanya opium ilegal dimasukkan dalam kargo barang atau tebu yang dibawa oleh kereta lori atau penumpang. Pembangunan rel kereta api yang dimulai sejak tahun 1864 hingga semua kota-kota besar di pulau Jawa terhubung oleh kereta api. Takashi Siraishi, 1997, Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa : 1912 – 1926. Grafiti Press : Jakarta, halaman : 10.
[xiii] Jepara dan Juwana disebut termasuk wilayah Sandang Garba, raja kaum pedagang dalam cerita mitos, yang dikalahkan oleh adiknya yang bungsu, Dandang Gendis, raja kaum beragama yang memerintah di Jenggala (delta dungai Brantas). Menurut Tome Pires, Juwana disebut sebagai Cajongam adalah kawasan pelabuhan kurang penting untuk perdagangan laut pada masa kerajaan Demak, berbeda dengan Jepara yang memiliki teluk yang baik. Lihat, H.J de Graaf dan TH. Pigeaud, 1989, Kerajaan Islam Pertama di Jawa : Tinjauan Sejarah Politik Abad ke XV dan XVI. Grafiti Press : Jakarta, halaman : 99.