Sejarah Masjid Menara
Kampung Melayu
Pendahuluan
Perkembangan Islam di
Nusantara tidak lepas dari peran penting kaum pedagang dari kawasan Timur Jauh.
Islam dibawa oleh para pedagang dari kawasan Hadramaut atau Yaman dengan
membawa beragam jenis barang kualitas ekspor[i].
Mereka juga mendirikan sebuah pemukiman[ii]
di kawasan pesisir hingga memiliki akses
langsung dengan penguasa setempat. Alhasil, Islam mulai berkembang melalui saluran
perkawinan dan perjanjian politik dengan penguasa setempat. Islam di Jawa
berkembang pesat sejak runtuhnya kekuasaan kerajaan Majapahit[iii].
Kawasan
pesisir pantai utara Jawa dikenal memiliki corak Islam puritan serta memiliki
pusat perekonomian dan perdagangan di kawasan pelabuhan. Kawasan pesisir utara
jawa dibagi menjadi dua bagian yaitu pesisir kulon dan pesisir wetan.
Pesisir kulon (Cirebon, Tegal,
Pekalongan) bercorak kebudayaan borjuis sedangkan pesisir wetan (Demak, Kudus, Rembang, Tuban hingga Gresik) memiliki corak
kebudayaan islam pesisir sesungguhnya[iv].
Kota Semarang adalah bandar pelabuhan strategis bagi
pedagang dari kawasan timur jauh seperti : India, Gujarat, Arab, Persia, hingga
Tiongkok[v].
Kehadiran orang Eropa abad ke – 18 membuat Semarang berkembang menjadi kota
metropolitan[vi]. Pengaturan pemukiman di
kota Semarang diatur dengan hak istimewa yaitu exhorbitante yang dimiliki oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Dalam peraturan regering reglement tahun
1851 diatur mengenai pemukiman masyarakat Eropa, timur asing atau oosterlingen, dan pribumi.
Kota Semarang adalah salah satu dari bagian kota-kota
kolonial dan memiliki karakteristik sebagai kota triparit[vii],
kota triparit memiliki 3 unsur yaitu masyarakat pribumi dengan kampung-kampung,
orang timur asing (Tionghoa/Arab) dengan rumah dan toko-tokonya, sedangkan
unsur Barat diwakili oleh benteng dan rumah bergaya arsitektur kolonial maupun
indis. Undang-undang desentralisasi atau desentralisatiwet
pada tahun 1903 serta baru dilaksanakan pada tahun 1905 bertujuan untuk
memberikan perubahan dalam strata pemerintahan berupa pembangunan pusat
pemerintahan kotamadya atau gementee.
Peta Kota Semarang tahun 1935
Sumber : maps.leiden.edu
Sumber : maps.leiden.edu
Pemukiman Arab Semarang dikenal sebagai pemilik modal
yang cukup besar serta kekayaan yang jumlahnya melimpah hingga sampai kepada
keturunan selanjutnya[viii].
Mayoritas adalah pengusaha yang bergerak di bidang tekstil maupun industri
lainnya, disamping para pengusaha keturunan Tionghoa[ix].
Tahun 1819, koloni ini sudah memiliki kepala koloni atau disebut sebagai
“Kapiten”. Masyarakat Arab di Semarang bermukim di kawasan Layur yang
berdekatan dengan Kali Semarang.
Kali Semarang dulunya
digunakan sebagai pintu masuk menuju Semarang melalui jalur laut, hal tersebut
dapat dibuktikan dengan keberadaan menara syahbandar atau Sleko untuk mengatur
hilir mudik kapal yang masuk maupun keluar dari dan menuju kota Semarang.
Perkembangan Kali Semarang sebagai
kawasan bandar dagang adalah awal mula perkembangan kota Semarang modern hingga
saat ini seperti halnya Kali Mas dan
Pegirian di kota Surabaya.
Menara Syahbandar di Jalan Sleko, proses revitalisasi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Di kawasan tersebut, sebanyak 1743 etnis Tionghoa pernah melakukan
pemberontakan kepada orang Belanda sedangkan masyarakat Arab mendirikan sebuah
masjid bergaya Hadrami dan lokal didirikan di kawasan Layur. Kawasan Layur
sendiri mayoritas ditempati oleh masyarakat Arab disamping adanya etnis
Tionghoa yang memiliki gudang besar penyimpanan barang di pinggir Kalikoping. Sebelumnya, gudang penyimpanan ini adalah milik VOC untuk menyimpan produk komoditas ekspor.
Hal tersebut membuat pemerintah kolonial Belanda
mendirikan sebuah perusahaan penyedia jasa ekspedisi muatan kapal di kawasan
kota lama Semarang bernama NV Bouw Matschappij.
Perusahaan ini kemudian menjadi milik pemerintah Republik Indonesia sejak
terkena kebijakan nasionalisasi tahun 1962 dan menjadi PT Pelni. Sedangkan
perusahaan penyedia armada kapal yaitu Stoomvart Matschappij Nederland (SMN)
memiliki kantor perwakilan di kawasan kota lama Semarang dan kini menjadi gedung
PT Jakarta Dlloyld (Persero).
Pembangunan
Masjid Menara Layur Semarang
Masjid ini menjadi bagian penting perkembangan kawasan
Layur sebagai awal mula berdirinya kota Semarang modern saat ini[x].
Masjid ini berada di kawasan kota lama Semarang dan berada 1 kilometer dari
stasiun Semarang Tawang milik NIS. Masyarakat Arab banyak menetap di kawasan Arabische Kamp karena kebijakan passen stelsel dan wijken stelsel. Pembangunan masjid ini dipelopori oleh saudagar
Arab untuk kepentingan keagamaan maupun politik[xi].
Masjid Layur Semarang di kawasan Kampung Melayu
Sumber : Dokumentasi pribadi
Sumber : Dokumentasi pribadi
Masjid
ini berdiri sejak kedatangan gelombang eksodus etnis Hadramaut pada abad ke – 18
dan menetap di kawasan Layur yang berdekatan dengan kali Semarang. Masjid ini
bercorak geometrik dengan cat warna-warni yang didominasi oleh cat hijau muda.
Bagian kanan dan kiri masjid masih terdapat bangunan tua dengan ukuran besar.
Ornamen dinding yang menghiasi masjid memiliki percampuran dari Jawa, Melayu
dan Arab[xii].
Nilai Jawa diwakili oleh bangunan masjid tumpang tiga[xiii]
sedangkan ornamen dinding memiliki corak Melayu dan Arab. Sedangkan menara yang
berada di kompleks masjid bergaya Hadrami awalnya digunakan sebagai mercusuar
pengatur hilir mudik kapal yang masuk dan keluar melewati Kali Semarang yang
berada tepat di belakang masjid.
Mercusuar yang kini digunakan sebagai menara masjid
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Beberapa
rumah di kawasan jalan Layur memiliki corak seperti rumah bergaya Melayu,
Banjar dan masih banyak lagi. Hal tersebut membuktikan bahwa kampung ini
dahulunya adalah kawasan perekonomian dan menjadi tempat bertemunya beragam
jenis pedagang baik dari Nusantara maupun kawasan jauh. Beragam jenis bangunan
di tempat ini sebagian sudah beralih fungsi menjadi tempat tinggal maupun
gudang penyimpanan. Kini, kawasan ini rawan sekali banjir rob yang berasal dari
Laut Jawa hingga membuat jumlah penduduk Arab di kawasan ini berkurang drastis
dan pindah ke tempat yang lebih aman seperti Tegal, Pekalongan, Gresik, hingga
Surabaya.
Salah satu sudut jalan di
Kampung Melayu Layur
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Warisan
besar yang diberikan oleh VOC dan pemerintah kolonial Belanda hingga saat ini
adalah pusat perekonomian yang berada di pesisir pantai atau disebut sebagai
pelabuhan. Titik pelabuhan ini kemudian saling berkesinambungan satu sama lain
untuk mengembangkan sebuah kota pantai maupun hinterland. Perkembangan kota pesisir besar seperti : Jakarta,
Pekalongan, Semarang, Surabaya, Padang adalah segelintir pusat kota pantai yang
berubah menjadi kota pesisir modern dengan corak budaya borjuis. Regulasi
maritim yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda membuat Semarang
berkembang menjadi salah satu bandar pelabuhan penting di Hindia Belanda sejak
abad ke – 16[xiv].
[i] Islam disebarkan melalui tiga metode yaitu : oleh para pedagang muslim yang
melakukan kunjungan dagang, para dai atau pendakawah dari jazirah Arab maupun
orang suci. Komunitas muslim di Asia Tenggara tumbuh setelah runtuhnya kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit seperti : Pasai, Malaka, Aceh, Minangkabau, dan Jawa.
Azyumardi Azra, 1989, Perspektif Islam di
Asia Tenggara, Yayasan Obor Indonesia : Jakarta.
[ii] Dalam persebaran penduduk, biasanya orang-orang Timur Asing lebih suka
mengelompok di suatu tempat tertentu yaitu dekat dengan tempat strategis
seperti kawasan pesisir pantai. Daerah kota pelabuhan seperti Surabaya dan
Semarang paling tidak terdapat kampung Pecinan, kampung Arab, dan kampung
Melayu. Handinoto, Perkembangan Kota,
halaman : 48.
[iii] Menurut Tome Pires, runtuhnya pusat kekusaan Majapahit tidak semata-mata
akibat berkembangnya komunitas muslim di kawasan pesisir, melainkan adanya
penyerangan kerajaan Kediri oleh dinasti Girindrahwardhana.
[iv] Islam pesisir memiliki sifat puritan atau murni, hal tersebut berbanding
terbalik dengan Islam di kawasan pedalaman yang memilki sifat akulturasi dan
asimilasi terhadap kebudayaan lokal. Menurut Pigeaud, Surabaya adalah gerbang
masuknya paham baru mengenai Islam yang dibawa oleh kaum cendekiawan dari Timur
Tengah, Asia Barat, maupun Afrika. Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka : Jakarta.
[v] Catatan Fa Hian dari Tiongkok membuktikan bahwa pada tahun 399 – 414
masehi, orang Tionghoa telah mengunjungi Jawa dalam perjalanan ke Hindia. Lihat
Benny G. Setiono, 2003, Tionghoa dalam
Pusaran Politik. Elkasa : Jakarta, halaman : 18 -19.
[vi] Menurut Mc Gee, keberadaan kota yang terletak di daerah pesisir pantai
maupun sungai sangat penting sebagai arus ekspor dan impor barang bagi
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Lihat T.G Mc Gee. 1967, The Southeast Asian City : A Social
Geography of the Primates Cities of Southeast Asia, University of
California : California.
[vii] Konsep
Triparit merupakan bagian dari kota bawah, sebuah kawasan yang dikelilingi
tembok kota dan kanal untuk mengelilingi kota. Lihat Freek Colombijn (eds),
2005, Kota Lama, Kota Baru : Sejarah Kota-kota di Indonesia, Ombak :
Yogyakarta, halaman 148.
[viii] Van den Berg, 1989, Hadramaut dan
Koloni Arab di Nusantara, INIS : Jakarta.
[ix] Produk Mataram Islam yang laku keras di kawasan pantai utara Jawa adalah
kain Belengan (Batik warna biru) dan
kain lurik/ginggang. Anton Haryono, 2015, Mewarisi
Tradisi Menemukan Solusi : Industri Rakyat Daerah Yogyakarta Masa Kolonial
(1830 – 1930 an). Universitas Sanata Dharma Press : Yogyakarta, Halaman :
64.
[x] Masjid adalah lingkaran makna yang mempersatukan konfigurasi budaya umat
Islam, mempersatukan aspek-aspek budaya dan ekonomi menjadi satuan yang
koheren. Kuntowijoyo, 2006, Budaya dan
Masyarakat, Tiara Wacana : Yogyakarta, halaman : 135.
[xi] Menurut Ibnu Khaldun, adanya penyelidikan mengenai dua jenis masjid di kota
yaitu : masjid besar di bawah kontrol penguasa sedangkan masjid kecil di bawah
pengelolaan masyarakat biasa untuk sholat dan pertemuan akbar. Pada masa
pergerakan nasional, masjid Ampel Surabaya adalah salah satu masjid yang
digunakan untuk kepentingan politik dalam rangkan mobilisasi massa Sarekat
Islam maupun masyarakat umum dalam melawan kebijakan politik pemerintah
kolonial Hinda Belanda. John L. Esposito, 2000, Enskiklopedia Oxford Dunia Islam Modern. Mizan : Bandung, halaman :
353
[xii] Islam telah mempunyai sifat keterbukaan sejak semula dan selalu toleran
terhadap adat kebiasaan lama suatu daerah hingga menyebabkan munculnya berbagai
corak baru dalam mengembangkan ciri khas daerah perkembangan tersebut, salah
satuya dalam menambah kekayaan arsitektur Islam. Abdul Rochim, 1983, Masjid dalam Karya Arsitektur Nasional
Indonesia. Angkasa : Bandung, halaman : 17.
[xiii] Menurut W.F Stutterheim, ia menganggap bahwa bangunan masjid beratap
tumpang atau bertingkat adalag pengaruh dari seni bangunan di Bali untuk tempat
pertarungan sabung ayam.
[xiv] Lihat Anthony Reid, 2011, Asia dalam
Kurun Waktu Niaga Jilid 1-2, Yayasan Obor Indonesia : Jakarta.