Pengaruh Persia dalam
Proses Islamisasi di Nusantara
Peradaban
Nusantara berkaitan erat dengan peradaban agama, hal ini dibuktikan dengan
peninggalan budaya batu besar atau “Megalithikum” seperti : menhir, dolmen,
sarkofagus dan punden berundak. Peradaban ini juga berkaitan erat dengan
perkakas yang berhubungan dengan aktivitas manusia dari sejak zaman
Paleolithikum, hal tersebut dapat dibuktikan dengan keberadaan sampah kerang di
pinggir pantai atau disebut kjokken
modinger. Perkakas manusia juga sudah digunakan semenjak mengenal sistem
nomaden hingga bercocok tanam.
P. Mus
dalam L’ inde vue de I’est Cultes Indiens
etidigenies au champa menyatakan bahwa cakupan wilayah peradaban Nusantara
cukup luas yaitu : mencakup India, Indocina, Indonesia, dan beberapa wilayah di
kawasan lautan pasifik seperti Polinesia, Micronesia, maupun Fiji. Faktor
lingkungan yang tak menentu menimbulkan munculnya beberapa bentuk kebudayaan
dan kepercayaan terhadap nenek moyang sejak zaman batu tua. Salah satu agama
atau kepercayaan kuno yang dianut mayoritas peradaban Nusantara adalah agama
Kapitayan. Agama ini berasal dari Jawa[i],
tumbuh dan berkembang berdasarkan faktor lingkungan sejak dari zaman
Paleolithikum hingga zaman besi. Secara sederhana, Kapitayan digambarkan
sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sesembahan utama yang disebut Sang Hyang Taya[ii]. Ajaran ini juga
sama sekali tidak terpengaruh secara signifikan oleh kebudayaan Dongson yang
membawa kebudayaan perunggu dan besi ke Nusantara[iii],
bisa dikatakan hampir sebagian besar wilayah di kawasan Asia Tenggara sama-sama
menganut ajaran Kapitayan walaupun dengan nama yang berbeda.
Proses Masuknya Islam ke
Nusantara
Sebelum Islam masuk,
kepercayaan lokal dan Hindu-Budha sangat mendominasi hingga keruntuhan kerajaan
Majapahit pada abad ke – 15. Islam pada waktu tersebut hanya memiliki posisi
kecil dalam sebuah stuktur masyarakat kuno, hal tersebut dibuktikan dengan
keberadaan kerajaan kecil maupun pemukiman pedagang dari kawasan luar yang
menetap di pesisir pantai. Islam yang berkembang dan masuk ke Nusantara
mayoritas menggunakan jalur perdagangan dan perkawinan sebagai sarana dakwah
yang menguntungkan daripada mengangkat senjata.
Sumber
dari Barat seperti Dr Snouck Hungronje dalam De Islamin Nederlandsche-Indie Seri II No 9 dari Groote Godsdiensten menyebutkan bahwa tatkala Islam sudah ada di
Nusantara, raja Mongol Hidagu menghancurkan Baghdad berserta perpustakaan Islam
tahun 1258 Masehi, setengah abad sebelum kejadian tersebut Islam sudah
berkembang di kawasan Nusantara termasuk di Pasai[iv].
Catatan dari beberapa penjelajah sepeerti Ibnu Batuta membuktikan adanya
keberadaan kerajaan Islam di Sumatera Utara bernama Pase. Marcopolo seorang
penjelajah dari Barat menjelaskan : Tahun 1292 ia berlayar dari pelabuhan Cina
Selatan selama beberapa bulan sebelum sampai di Sumatra. Setelah beliau sampai,
ia menemukan suatu kampung di Aceh Timur berisi pedagang-pedagang Islam dari
berbagai tempat. Tempat tersebut kemudian disebut orang Barat sebagai Ferlec atau kerajaan Perlak. Kawasan
Barus (Farsur) yang dianggap biadab atau alien
heidensch oleh penjelajah Barat ternyata menemukan bukti bahwa Islam sudah
masuk terlebih dahulu di kawasan ini. sekarang kawasan Barus ditetapkan sebagai
kawasan cagar budaya dan penghasil barus alami terbaik sejak zaman kerajaan
Pasai.
Islamisasi
di Nusantara pertama kali dilakukan oleh para saudagar dari kawasan Timur
Tengah. Menurut S.Q Fatimi, orang-orang Muslim pembawa Islam ke Nusantara
berasal dari kawasan Benggala[v],
Maghribi, Hadramaut, maupun Persia (Iran). Komunitas pedagang muslim dari
kawasan tersebut kemudian mendirikan pemukiman di kawasan tersebut[vi].
Supremasi sebuah kerajaan di suatu kawasan juga berperan penting dalam proses
islamisasi di kawasan tersebut. Menurut Rickleff, pola pembentukan budaya dan
islamisasi di kerajaan Pasai bermula dari kekuasaan Supra Desa menuju negara
terpusat.
Dalam
hikayat raja-raja Pase menjelaskan mengenai kerajaan Pasai sebagai berikut :
Syekh Ismail dari Mekkah datang untuk masuk ke Sumatra untuk mengislamkan
daerah Marah Silu, kemudian daerah tersebut berhasil diislamkan dan dikenal
seorang raja mahsyur bergelar Syah yaitu Malikul Saleh sebagai raja pertama di
Pase. Menurut Marcopolo hingga Ibnu Batutah, proses islamisasi di tanah Sumatra
dan Jawa terjadi sejak tahun 1292 hingga 1416. Semenjak runtuhnya kerajaan
Majapahit di Jawa, raja-raja Islam di Jawa dalam membangun sebuah keraton
umumnya dilandasi oleh konsep kosmologi yang berlansgung sejak zaman pra Islam,
konsep tersebut berupa keseimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Di
dalam usaha menyelaraskan dunia kerajaan harus memiliki sebuah gunung buatan
sebagai pusat jagad raya[vii].
Pengaruh Persia dalam
Proses Islamisasi di Nusantara
Peradaban Nusantara
dibentuk dari keberagaman etnis, ras, agama dan budaya yang sudah berlangsung
sejak ratusan ribu tahun lalu. Hal tersebut berlaku dalam corak Islam yang
masuk ke kawasan Nusantara sejak zaman kerajaan Hindu-Budha. Salah satu bangsa
yang cukup berpengaruh dalam corak keislaman di Nusantara adalah bangsa Persia.
Pengaruh bangsa Persia dan India sangat dominan dalam mempengaruhi corak
kehidupan masyarakat sekarang baik dalam bidang bahasa, sistem pengajaran Al
Qur’an hingga sastra Islam berupa hikayat dalam bahasa Persia.
Bidang
Bahasa
|
Sistem
Pengajaran Al-Qur’an
|
Karya
Terjemahan Bahasa Persia
|
Kanduri (kanduri)
|
Fathah : jabar
|
Qissa i Emir Hamza (Hikayat Amir Hamzah), mengisahkan kepahlawan Hamzah
bin Abdul Muthalib, pama Nabi Muhammas SAW
|
Astana (istana)
|
Kasrah : jer / zher
|
Qissah Wassiyah al-Mustafa Il Imam Ali (Hikayat Nabi Mengajar Ali)
|
Bandar (pelabuhan)
|
Dhammah : pes / fyes
|
Qissah Amir Al- Mu’minin Hasan wa Husein (Hikayat Hasan dan Husein)
|
Bedebah
|
Huruf syin
|
Wafat Nameh (Hikayat
Nabi Wafat
|
Biadab, bandar
|
|
|
Diwan (dewan)
|
|
|
Gandum, bius
|
|
|
Jadah (anak haram)
|
|
|
Syahbandar
|
|
|
Pahlawan
|
|
|
Kismis, medan
|
|
|
Takhta, firman
|
|
|
Menurut S.Q Fatimi dalam Islam Comes To Malaysia mencatat bahwa abad ke – 10 Masehi terjadi
migrasi[viii]
keluarga Persia ke Nusantara, diantaranya :
- Keluarga Lor di Jawa, yang mendirikan desa Leran di Gresik, Jawa Timur
- Keluarga Jawani yang berada di Pasai, Sumatra Utara. Keluarga ini adalah penyusun “Khat Jawi” atau tulisan Jawi yang dinisbatkan kepada keluarga Jawani[ix]
- Keluarga Syiah, tinggal di Sumatra Timur yang kemudian daerah tersebut dinamakan sebagai negeri Siak
- Keluarga Rumai di Puak Saban Karah, Sumatra.
Masyarakat Persia yang memiliki madzhab Syiah banyak
bermukim di kawasan tersebut kemudian meninggal dunia meninggalkan batu nisan
bertuliskan Arab yang ditujukan untuk menghormati Imam Syiah Husein bin Ali bin
Abi Thalib. S.Q Fatimi menjelaskan bahwa jenis tulisan Kufi pada nisan di makam
sekitar makam Fatimah Binti Maimun[x]
di Gresik berisi doa dari golongan Syiah.
Ada
beberapa pendapat mengenai masuknya Islam di Nusanatara yang lebih tua dari
perkiraan abad ke 12 Masehi. Professor Abu Bakar Atjeh menunjukkan lwewat
catatan H,M Zainuddin dalam kitab Tarikh Aceh mengatakan : “Bahwa beberapa nama
penyair pertama yang lebih dahulu datang di Pase bersama armada kapal yang
dipimpin oleh seseorang bernama Zahid. Ia adalah komandan armada Persia yang
terdiri dari 33 buah kapal dari perjalanan ke Tiongkok, beberapa kapalnya
singgah di pesisir tanah Aceh (Andalas Utara) dalam abad pertama Islam (82 H =
717 Masehi)[xi].
Daftar
dari Tengku M. Yunus Jamil dalam pekan kebudayaan Aceh di Kutaraja Tahun 1958
mengenai silsilah raja-raja Perlak. Seorang Sayid Quraisi menikahi putri Perlak
hingga menurukan keturunan enam raja pertama Perlak yang semuanya memiliki
gelar Syah. Dr. KH J. Cowan dalam karangannya A Persian Inscription In
North Sumatra menetapkan bahwa adanya kuburan seorang ulama Iran besar
yaitu Hasan Kahir bin Al Amir Ali Istrabadi meninggal dunia pada tanggal 12
Rabiul Awal tahun 833 H. Beberapa tokoh wali seperti Syaikh Subakir berasal
dari Persia, sedangkan Maulana Malik Ibrahim adalah wali dari Iran asal Kashan[xii].
Namun, disisi lain sejumlah tradisi Jawa tidak menyebutkan Maulana Malik Ibrahim
sebagai salah satu dari anggota Wali Songo[xiii].
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah
- Islam masuk ke Nusantara dari Aceh[xiv]
- Penyiar Islam tidak hanya dari Gujarat, adanya mubaligh-mubaligh Islam dari bangsa Arab termasuk Persia
- Madzhab pertama yang dipeluk di Aceh adalah Syiah dan Syafi’i.
Disisi lain, Belanda mempunyai alasan mengenai kontribusi
orang Gujarat dari India dalam proses Islamisasi di Nusantara sebagai berikut :
- Hubungan dagang yang sudah berkembang sejak zaman kerajaan Salakanegara hingga Kerajaan Sriwijaya
- Gujarat adalah pelabuhan penting
- Batu-batu nisan yang didatangkan dari Gujarat
- Nama-nama raja dengan gelar Syah dari Persia atau India
- Akulturasi budaya India dan Nusantara yang berlangsung harmonis tanpa merusak kebudayaan setempat
- Madzhab Syiah dan ajaran Wahdahtul Wujud dalam ilmu tasawuf.
Keberadaan pada pedagang Iran dan India seringkali
berdagang ke kawasan jauh, salah satunya di pasar-pasar Banten Lama[xv].
Kawasan tersebut banyak terdapat pedagang Iran dan Khorasan menjual batu-batu
berharga maupun obat[xvi].
Raja-raja Keturunan Syiah
di Nusantara
Van den
Berg dalam bukunya “Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara” dijelaskan bahwa
hasil dari proses kegiatan syiar keislaman adalah dari orang Arab golongan Sayyid maupun Syekh. Sayed Alwi bin Tahir Al-Haddad memberi komentar dalam
kitabnya berjudul ”Perkembangan Islam di Timur Jauh”, ia menjelaskan bahwa
agama Islam awalnya berkembang di daerah Sumatra kemudian menyebar hingga ke
kawasan Malabar dan Koromandel. Banyak dari mereka adalah keturunan Sayyid atau
Alawi yang memiliki garis keturunan langsung dari Rasulullah SAW.
Dalam
sejarah Serawak dikatakan bahwa Sultan Barakat berasal dari keturunan Sayyidina
Husein bin Ali ‘A History of Serawak under Two Whit Rajabhs’. Selain Serawak,
riwayat raja-raja di sekitar Mindanaou (Filiphina) dan Pontiakan masih terdapat
silsilah dari keturunan Suku Al-Gadri. Mereka adalah keturunan Syarif Ali
Zainal Abidin yang pindah dari Hadramaut ke Johor, dan berkembang di kawasan
tersebut hingga sekarang.
Sebagian
raja keturunan Syiah di Nusantara juga banyak karena menyebutkan gelar Al-Malik
atau Raja, seperti yang ada dalam kuburan Al-Malik Al-Kamil dalam Tahun 607 H
atau 1210 Masehi. Al Haddad dalan terjemahan Indonesia oleh Dhiya Shabab
mengataan bahwa sesudah Sultan Malik Asshaleh ini memerintah, anaknya yaitu
Sultan Muhammad Al-Zahir dan seterusnya hingga anaknya bernama Sultan Ahmad bin
Muhammad al-Zahir.
Kuburan-kuburan
di Aceh banyak ditemukan di Aceh, Meunasah, Blang Me, Pase, Samudra dan
lain-lain. Al-Haddad berpendapat bahwa keluarga-keluarga seperti diatas inilah
merupakan asal-usul raja-raja Brunei, Cermin Lama, Serawak, dan negeri-negeri
lainnya yang takluk kepada kerajaan Islam Pase. Selain di Aceh, nama raja-raja
yang disusun dalam sejarah pemerintahan Aceh terdapat juga gelar Sayyid dan
Syarif seperti misalnya Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1702 M), Syarif
Lam Tui (1702 – 1903 M), dan Syarif Syaiful Alam (1815 – 1820 M) juga tertera
nama golongan ahlul bait yang ikut memerintah.
Salah
satu contohnya adalah di Palembang dengan silsilah yang panjang seperti Tuan
Fakih Jamaluddin yang dimakamkan di Talang Sura (1161 M). Nama lengkap beliau
adalah Syaikh Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad
seterusnya hingga Sayyidina Hisain. Dalam silsilah keturunannya, ia mempunyai
tujuh orang anak salah satunya adalah Zainul Akbar. Zainul Akbar adalah orang
yang menurunkan raja-raja Kasultanan Palembang hingga dua tokoh walisongo
seperti Prabu Satmata (Sunan Giri) yang berkedudukan di Giri Kedaton, Gresik
dan Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang berkedudukan di kampung Ampel, Surabaya.
Banyak
orang Persia keturunan Ahlul Bait yang bercampur dengan darah raja-raja di
Nusantara baik di Malaysia hingga Nusantara, baik kerajaan di Borneo, Sulawesi,
Maluku[xvii]
hingga ke Jawa. Tokoh Wali Songo yang dianggap sakral banyak memiliki garis
keturunan yang bersumber langsung dari keturunan Rasulullah SAW, ditambah lagi
dengan sultan dari zaman kerajaan Mataram Islam saat masa pemerintahan Sultan
Agung.
[i] Pulau Jawa adalah sebuah negeri yang sangat besar, negeri yang dimulai dari
Cirebin (Choroboam) hingga Blambangan (Bulambaum). Tom Pires, 2015, Suma Oriental Karya Tom Pires : Perjalanan
dari Laut Merah ke Cina, Ombak : Yogyakarta. Halaman : 242.
[ii] Agus Sunyoto, 2016, Atlas Walisongo,
Pustaka Mizan : Bandung, halaman : 14
[iii] Ibid, halaman : 19
[iv] Abu Bakar Atjeh, 2017, Sejarah Syiah
di Nusantara, Sega Arsy : Bandung, halaman : 18
[v] Menurut Van Leur, perdagangan di India lebih dahulu bila dibandingkan
dengan perdagangan di Cina, hal ini diperkuat dengan berkembangnya pelabuhan di
pantai India sebelum pantai di Cina Selatan.
[vi] Hasil penelitian dari Alan Gilbert dan Joseph Gugler membuktikan bahwa
mayoritas migran yang ditanya selalu menjawab bahwa prospek ekonomi perkotaan
lebih baik dibandingkan dengan pedesaan. Alan Gilbert & Joseph Gugler,
1996, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia
Ketiga, Tiara Wacana : Yogyakarta, halaman : 60.
[vii] R. Von Heine Geldorn, 1982, Konsepsi
tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara, Terjemahan Deliar Noor.
CV Rajawali Press : jakarta, halaman : 7.
[viii] Menurut van Leur dalam buku Indonesia
Trade and Society, migrasi kaum pendatang sangat bergama salah satunya
dalah kolonialisasi oleh keompok yang lebih besar, atau gelombang migrasi yang
disebut sebagai eksodus. Perdagangan adalah alat tawar menawar politik kepada
puenguasa setempat tanpa adanya perlawanan sama sekali sehingga berhasil
memunculkan pemukiman yang memiliki kekuataan administrasi dan hukum yang kuat.
Disisi lain, hubungan dagang maupun politik dengan para pedagang asing dari
kawasan timur jauh sangat berperan penting dalam proses gelombang eksodus dari
kawasan tertentu. Restu Gunawan dkk, 1999, Ternate
sebagai Bandar Jalur Sutera, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia : Jakarta, halaman : 6.
[ix] Agus Sunyoto, 2016, Atlas Walisongo, Pustaka Mizan :
Bandung, halaman : 50 - 51
[x] Batu Nisan tersebut ditulis dalma bahasa Persia lama, Fatimah binti Maimun
dalam tahun 475 H atau 1082 – 1083 Masehi.
[xi] Abu Bakar Atjeh, Sejarah Syiah di
Nusantara, Sega Arsy : Bandung, halaman : 40
[xii] Ibid, halaman : 64
[xiii] RA Kern menyebtukan bahwa prasasti pada makam Maulana Malik Ibrahim tidak
hanya seornag Persia aja, melainkan peganag yang terhormat yang bisa dilihat
dari bentuk makamnya yang indah. Lihat Titis Eddi Aryani, 1995, Historiografi Indonesia : Sebuah Pengantar.
Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, halaman : 63.
[xiv] Dahulu, Aceh adalah bentuk dari eksistensi kerajaan Islam Lamuri, akhir
abad ke – 15 pusat kerajaan Lamuri kemudian dipindahkan ke Meukuta Alam yang
berada di Banda Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah,
Kesultanan Aceh Darussalam berhasil menjadi pusat peradaban Islam di Asia
Tenggara pada abad ke - 16. Zaenuddin
H.M, 2014, Asal-Usul Kota-koya di
Indonesia Tempoe Doeloe, Change Publisher : Jakarta, halaman : 14-15.
[xv] Area perdagangan dan produksi berada di luar benteng kota dan berdekatan
dengan kawasan pelabuhan. Claude Gulliot, Banten
: Sejarah Peradaban Abad ke X – XVII. Kepustakaan Populer Gramedia :
Jakarta, halaman 224.
[xvi] Terjadinya ledakan permintaan akan hasil bumi Asia Tenggara khususnya
terjadi akibat dari masa kemakmuran atau toleransi perdagangan di Cina, yang
berpengaruh terhadap stok tanaman obat. Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Waktu Niaga 1450 – 1680 : Jaringan Perdagangan Global, Yayasan
Obor Indonesia : Jakarta, halaman : 14.
[xvii] Menurut tradisi lockal pada abad ke XIV yang diceritakan oleh Molomatje
penguasa Ternate kedua belas (1350 – 1357), ia telah bersahabat dengan seorang
Arab yang memberikan pelayaran kapal. Di Tidore ada penguasa muslim bernama
Hasan Shah, pada masa pemerintahan Zainal Abidin ia mengirimkan banyak pedagang
Islam yang belajar ke pesantren Giri (Prabu Satmata/Sunan Giri). Restu Gunawan
dkk, 1999, Ternate sebagai Bandar Jalur
Sutera, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia : Jakarta,
halaman : 23.