“De
Zeven Provincien”
Ketika
Kelasi Pribumi dan Eropa Berontak (1933)
Sebab-sebab
Pemberontakan
Pemberontakan
di kapal De Zeven Provincien pada
mulanya diakibatkan karena kebijakan penurunan gaji para marinir baik di pihak
Belanda maupun pribumi. Menurut Orsten, pengurangan gaji sebesar 7 persen di
antara kedua belah pihak akan membahayakan kesempatan mencari nafkah hidup. Di
sisi lain, pengurangan gaji dan cara pengumumannya dinilai cukup membahayakan
karena sudah dilakukan 3 kali dalam 2 tahun. Keadaan krisis ekonomi Hindia
Belanda mengakibatkan adanya kesenjangan sosial di antara kedua belah pihak.
Awal
cerita, tanggal 30 Januari mulai terjadi pemogokan kerja baik di kapal-kapal
maupun di lembaga marinir di darat. Kapal De
Zeven Provincien mulai bertolak dari Surabaya untuk latihan perang dan
unjuk kekuatan ke Sumatra. Kapal ini juga dikenal sebagai kapal latih maupun
hukuman. Pemimpin gerakan mogok kerja adalah M. Boshart, dan didukung oleh
kedua belah pihak baik serikat pekerja Belanda maupun pribumi. Para awak
kemudian mulai enggan bermain sepakbola persahabatan setelah keputusan
pengurangan gaji, namun hal tersebut tidak menyulut pemberontakan. Hanya ada
perayaan “tahun baru” dalam rangka lebaran hingga dihadiri 30 awak marinir
Eropa.
4 Februari,
mereka mulai menguasai kapal pada malam hari. Adanya desas-desus mengenai
ketidakjelasan mogok kerja maupun adanya pemberontakan hingga perwira Belanda
diliputi keraguan untuk melakukan pemberontakan karena tidak ada arahan.
Boshart kemudian melakukan peran penting berupa mediasi antara perwira maupun
pemberontak. Pemberontakan yang dilihat hanya sebatas unjuk rasa menentang
pengurangan gaji dan penahanan rekan-rekan mereka di Surabaya dalam rangka
mogok kerja. Selang 6 hari kemudian, bom dijatuhkan tepat di atas kapal hingga
menewaskan 19 orang berupa 3 orang Eropa dan 16 orang pribumi. 1 Juli 1933
kapal mulai ditarik sementara dari dinas, 16 perwira Belanda diadili di Hindia
Belanda dan sisanya dihukum oleh mahkamah militer Hindia Belanda. Para korban
rata-rata dimakamnkan di dekat pulau Onrust maupun kerkhoff untuk orang Belanda.
Banyak
penyebab dan alasan terjadinya mogok kerja hingga adanya pemberontakan,
terutama akibat prosedur pengurangan gaji yang dianggap kurang tepat untuk
kedua belah pihak. Ada indikasi bahwa pemberontakan di atas kapal didukung oleh
golongan nasional hingga komunis. Kondisi sebenarnya menunjukkan bahwa keadaan
dan perkembangan sesungguhnya di atas kapal baik persekongkolan antara anak
buah kapal dan tindakan tolol pemimpin kapal terbukti sebatas mogok kerja.
Pemberontakan dari Sisi Jurnalisme
Pemberontakan de
Zeven Provincien adalah gerakan anggota marinir dan dilihat sebagai bentuk
protes biasa, bukan gerakan serikat (soeara oemoem). Surata kabar soeara soearabaja menganggap bahwa sebab
pecahnya pemberontakan tidak pernah dijelaskan, mereka juga mengecam pernyataan
Gubernur Jenderal Hindai Belanda bahwa sebelum terjadi pemberontakan, awak
Belanda diculik di bawah pengawasan ketat awak pribumi. Di sisi lain, majalah
Adil menanggap bahwa pengurangan gaji sebesar 4 persen bagi orang Eropa dan 7
persen bagi pribumi adalah sebuah bentuk ketidakadilan.
Koran javabodme menganggap bahwa pemberontakan
merupakan propaganda komunis, namun hal tersebut dibantah langsung oleh partai
komunis di Belanda maupun komintern
internasional. Mereka memastikan bahwa gerakan nasionalis ikut andil di
belakang serikat marinir, secara tidak langsung mereka memiliki hubungan dengan
para pemberontak. Para marinir sering menyanyikan lagu serikat yang dianggap
sebagai simbol kaum proletar, sedangkan serikat kelasi pribumi justru sering
menyanyikan lagu “Indonesia Raya” sebagai bentuk protes. Para awak pribumi
rupanya juga rajin mendengarkan pidato-pidato bung Karno karena pihak Belanda
amat sangat takut terhadapnya.
25 tahun
setelah pemberontakan tepatnya tahun 1958, partai Komunis Indonesia mulai
menyatakan sikap dalam Harian Rakjat.
5 Februari 1958, koran ini membahas mengenai motif pemberontakan. Pemberontakan
de Zeven Provincien adalah
pemberontakan anti kolonial pertama yang dilakukan oleh pihak Indonesia. Tokoh
PKI yaitu Sapija juga menanggap bahwa pemberontakan tersebut adalah murni
gerakan revolusioner oleh serikat kelasi pribumi.
Di sisi
lain, 15 tahun kemudian para pemberontak juga menjelaskan bahwa gerakan mereka
merupakan gerakan bersenjata yang penting dalam pergerakan nasional. Wartawan
T.Bumi yang juga ikut andil dalam mogok kerja juga ditunjuk sebagai otak
pemberontakan, ia menyebarkan gagasan Soetomo, pemimpin Soerabajashe Studie Club. Selama di atas kapal, kepada pelaut
Indonesia meluaskan gagasan nasionalisme melalui majalah Sinar Laoetan.
Kesimpulan
Pemberontakan di kapal de Zeven Provinciein dapat dilihat sebagai bentuk protes sosial
menentang pengurangan gaji yang terinspirasi dari gagasan kemederkaan nasional,
untuk mendobrak kesenjangan sosial antara Eropa dan Pribumi. Suatu tindakan
nasionalis penuh makna. Mereka dianggap ancaman bagi pihak kolonial Belanda,
tidak sebatas gerakan revolusioner, melainkan seluruh rakyat Indonesia.
Kerjasama penting antara marinir dan golongan nasionalis berperan penting dalam
mogok kerja, ditambah dengan pengaruh serikat kelasi pribumi yang tak dapat
dipandang remeh dalam pemberontakan melawan ordonansi pengurangan gaji bagi
marinir angkatan laut.