Minggu, 10 Desember 2017

Dari Mogok Kerja hingga Pemberontakan Revolusioner



“De Zeven Provincien”
Ketika Kelasi Pribumi dan Eropa Berontak (1933)

Sumber :belbuk.com

Sebab-sebab Pemberontakan
            Pemberontakan di kapal De Zeven Provincien pada mulanya diakibatkan karena kebijakan penurunan gaji para marinir baik di pihak Belanda maupun pribumi. Menurut Orsten, pengurangan gaji sebesar 7 persen di antara kedua belah pihak akan membahayakan kesempatan mencari nafkah hidup. Di sisi lain, pengurangan gaji dan cara pengumumannya dinilai cukup membahayakan karena sudah dilakukan 3 kali dalam 2 tahun. Keadaan krisis ekonomi Hindia Belanda mengakibatkan adanya kesenjangan sosial di antara kedua belah pihak.
            Awal cerita, tanggal 30 Januari mulai terjadi pemogokan kerja baik di kapal-kapal maupun di lembaga marinir di darat. Kapal De Zeven Provincien mulai bertolak dari Surabaya untuk latihan perang dan unjuk kekuatan ke Sumatra. Kapal ini juga dikenal sebagai kapal latih maupun hukuman. Pemimpin gerakan mogok kerja adalah M. Boshart, dan didukung oleh kedua belah pihak baik serikat pekerja Belanda maupun pribumi. Para awak kemudian mulai enggan bermain sepakbola persahabatan setelah keputusan pengurangan gaji, namun hal tersebut tidak menyulut pemberontakan. Hanya ada perayaan “tahun baru” dalam rangka lebaran hingga dihadiri 30 awak marinir Eropa.
            4 Februari, mereka mulai menguasai kapal pada malam hari. Adanya desas-desus mengenai ketidakjelasan mogok kerja maupun adanya pemberontakan hingga perwira Belanda diliputi keraguan untuk melakukan pemberontakan karena tidak ada arahan. Boshart kemudian melakukan peran penting berupa mediasi antara perwira maupun pemberontak. Pemberontakan yang dilihat hanya sebatas unjuk rasa menentang pengurangan gaji dan penahanan rekan-rekan mereka di Surabaya dalam rangka mogok kerja. Selang 6 hari kemudian, bom dijatuhkan tepat di atas kapal hingga menewaskan 19 orang berupa 3 orang Eropa dan 16 orang pribumi. 1 Juli 1933 kapal mulai ditarik sementara dari dinas, 16 perwira Belanda diadili di Hindia Belanda dan sisanya dihukum oleh mahkamah militer Hindia Belanda. Para korban rata-rata dimakamnkan di dekat pulau Onrust maupun kerkhoff untuk orang Belanda.
            Banyak penyebab dan alasan terjadinya mogok kerja hingga adanya pemberontakan, terutama akibat prosedur pengurangan gaji yang dianggap kurang tepat untuk kedua belah pihak. Ada indikasi bahwa pemberontakan di atas kapal didukung oleh golongan nasional hingga komunis. Kondisi sebenarnya menunjukkan bahwa keadaan dan perkembangan sesungguhnya di atas kapal baik persekongkolan antara anak buah kapal dan tindakan tolol pemimpin kapal terbukti sebatas mogok kerja.

Pemberontakan dari Sisi Jurnalisme
            Pemberontakan de Zeven Provincien adalah gerakan anggota marinir dan dilihat sebagai bentuk protes biasa, bukan gerakan serikat (soeara oemoem). Surata kabar soeara soearabaja menganggap bahwa sebab pecahnya pemberontakan tidak pernah dijelaskan, mereka juga mengecam pernyataan Gubernur Jenderal Hindai Belanda bahwa sebelum terjadi pemberontakan, awak Belanda diculik di bawah pengawasan ketat awak pribumi. Di sisi lain, majalah Adil menanggap bahwa pengurangan gaji sebesar 4 persen bagi orang Eropa dan 7 persen bagi pribumi adalah sebuah bentuk ketidakadilan.
            Koran javabodme menganggap bahwa pemberontakan merupakan propaganda komunis, namun hal tersebut dibantah langsung oleh partai komunis di Belanda maupun komintern internasional. Mereka memastikan bahwa gerakan nasionalis ikut andil di belakang serikat marinir, secara tidak langsung mereka memiliki hubungan dengan para pemberontak. Para marinir sering menyanyikan lagu serikat yang dianggap sebagai simbol kaum proletar, sedangkan serikat kelasi pribumi justru sering menyanyikan lagu “Indonesia Raya” sebagai bentuk protes. Para awak pribumi rupanya juga rajin mendengarkan pidato-pidato bung Karno karena pihak Belanda amat sangat takut terhadapnya.
            25 tahun setelah pemberontakan tepatnya tahun 1958, partai Komunis Indonesia mulai menyatakan sikap dalam Harian Rakjat. 5 Februari 1958, koran ini membahas mengenai motif pemberontakan. Pemberontakan de Zeven Provincien adalah pemberontakan anti kolonial pertama yang dilakukan oleh pihak Indonesia. Tokoh PKI yaitu Sapija juga menanggap bahwa pemberontakan tersebut adalah murni gerakan revolusioner oleh serikat kelasi pribumi.
            Di sisi lain, 15 tahun kemudian para pemberontak juga menjelaskan bahwa gerakan mereka merupakan gerakan bersenjata yang penting dalam pergerakan nasional. Wartawan T.Bumi yang juga ikut andil dalam mogok kerja juga ditunjuk sebagai otak pemberontakan, ia menyebarkan gagasan Soetomo, pemimpin Soerabajashe Studie Club. Selama di atas kapal, kepada pelaut Indonesia meluaskan gagasan nasionalisme melalui majalah Sinar Laoetan.

Kesimpulan
            Pemberontakan di kapal de Zeven Provinciein dapat dilihat sebagai bentuk protes sosial menentang pengurangan gaji yang terinspirasi dari gagasan kemederkaan nasional, untuk mendobrak kesenjangan sosial antara Eropa dan Pribumi. Suatu tindakan nasionalis penuh makna. Mereka dianggap ancaman bagi pihak kolonial Belanda, tidak sebatas gerakan revolusioner, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Kerjasama penting antara marinir dan golongan nasionalis berperan penting dalam mogok kerja, ditambah dengan pengaruh serikat kelasi pribumi yang tak dapat dipandang remeh dalam pemberontakan melawan ordonansi pengurangan gaji bagi marinir angkatan laut.