“Konsep Kepemimpinan Jawa : Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Asthabrata”
Penulis : Dra. Suyami.,
M.Hum.
Di dalam konsep kepemimpinan
di dalam masyarakat Jawa, "raja adalah
seorang wakil Tuhan di muka bumi" sehingga sabda dan perintah raja
adalah perkataan dan perintah dari Tuhan secara langsung begitupun penolakan
dan pelarangan raja yang berarti sebagai larangan dari Tuhan. Jika seseorang
melanggar perintah ini, seseorang akan dianggap languns melanggar perintah dari
Tuhan, karena konsep “Manunggaling
Kawula Gusti” begitu melekat di dalam masyarakat Jawa yang pada zaman
dahulu memiliki tingkatan stratifikasi sosial atau kedudukan sosial berupa
raja, priyayi, santri, dan wong cilik.
Di dalam masyarakat Jawa, orang-orang menginginkan seorang pemimpin yang
bercita-cita membawa sebuah bangsa atau negara ke dalam keadaanya yang tata tentrem kerja raharja (adil, makmur,
tentram, dan teratur). Serta untuk mencapai keadaan seperti itu, masyarakat
harus banyak mempelajari mengenai tata cara menjadi pemimpin yang baik dalam
rangka untuk memakmurkan rakyatnya lewat ajaran-ajaran kepemimpinan yang dimuat
di dalam karya sastra klasik karangan pujangga besar seperti Pakubuwono IV, R
Ng. Ronggowarsito, Honggowongso atau Mangkunegara IV. Karya sastra Jawa ini
berisi mengenai petuah dan ajaran yang semestinya harus diperhatikan bagi
seorang pemimpin untuk memimpin dan mengatur rakyatnya. Beberapa ajaran
kepemimpinan banyak berasal dari karya sastra Jawa klasik seperti : Serat Wulangreh, Serat Pustakaraja, Serat
Tripama, Serat Ramayana, Serta Wedhatama dan masih banyak lagi.
Sumber : Vanaya Coaching Institute
Di dalam buku yang berjudul Konsep
Kepemimpinan Jawa : Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Asthabrata, penulis membawa
kita ke dalam suatu karya sastra Jawa klasik karangan R. Ng. Yasadipura yaitu
Serat Rama yang berisi ajaran kepemimpinan berupa dua bagian yaitu, ajaran sastra cetha dan ajaran astha brata. Di dalam Sastra Cetha, penulis menjelaskan bahwa
di dalam ajaran kepemimpinan ini, seseorang akan diajak belajar menjadi seorang
pemimpin yang baik dengan berdasarkan cerita mengenai Rama yang memberikan
penjelasan dan nasehat mengenai kepemimpinan kepada adiknya yang bernama
Bharata, sedangkan di dalam Asthabrata,
kita diajarkan mengenai bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik
berdasarkan kedelapan unsur yang ada di alam yaitu : bumi, bulan, matahari, bintang, api, air, angin dan samudra. Ajaran ini terinspirasi dari
kisah mengenai Rama yang memberikan ajaran ini kepada Wibisana yang pada waktu
itu akan diangkat menjadi raja di Alengka dan menggantikan kakandanya yaitu
Prabu Rahwana yang dimana pada masa kepemimpinannya kerajaan mengalami
kerusakan dan kemunduran akibat berperang dengan Rama.
Dalam Sastra Cetha, seorang raja akan diajarkan mengenai pokok-pokok
menjadi seorang pemimpin suatu negara, seorang raja harus membedakan perbuatan
yang nistha, madya, dan utama. Perbuatan yang nistha adalah perbuatan yang harus untuk
dihindari seperti misalnya sikap khawatir terhadap sesuatu yang berlebihan atau
berprasangka buruk terhadap sesuatu, perbuatan yang madya pun yang dilakukan oleh raja cukup untuk dimengerti dan
dihindari, sedangkan perbuatan yang utama
dari seorang raja adalah untuk melayani rakyat, membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk, serta menghindari pantangan “malima” atau lima pantangan yang sangat dilarang keras untuk
dilakukan yang terdiri atas : main (berjudi), medok (bermain wanita), madat
(narkoba), maling (mencuri), dan minum (ngombe/minum-minuman keras). Di dalam
ajaran Asthabrata, ajaran ini berasal dari “Serat
Asthabrata” serta diyakini merupakan ajaran yang banyak dipakai sebagai
kode etik kepemimpinan yang baik, dari waktu dulu hingga sekarang, ajaran ini
banyak ditemukan di dalam naskah Jawa Kuno seperti Kakawin Ramayana, Serat
Nitisruti, maupun Serat Rama Jawa.
Ajaran ini juga ditemukan di dalam sumber tradisi lisan melalui masyarakat
berupa pertunjukan “Wayang Purwa” atau wayang kulit. Asthabrata merupakan
delapan ajaran kepemimpinan yang dimana kedelapan unsur kepemimpinan ini
digambarkan sebagai sebuah dewa atau simbol-simbol alam tertentu. Seseorang
yang mempelajari kedelapan unsur ini nantinta akan menjadi seorang pemimpin
besar yang berpengaruh serta membawa kebaikan bagi rakyat dan negara yang
dipimpinnya. Ajaran kepemimpinan ini terdiri dari kedelapan unsur alam atau
dewa yang menjaga keseimbangan dan keselaran alam ini, unsur-unsur itu terdiri
atas bumi, bulan, matahari, bintang, api,
air, angin dan samudra. Beberapa
dari unsur yang disebutkan digambarkan sebagai dewa Agni (api), dewa Candra
(bulan), dewa Bahni, dewa Surya (Matahari), dewa Baruna (samudra), dewi Kartika
(bintang), dewa Bayu (angin).
Raja juga digambarkan sebagai
hubungan resiprositas antara raja dan rakyat yang diibaratkan dengan singa dan
hutan, kedua-duanya adalah dua unsur penting yang saling mengisi, membutuhkan,
dan saling melengkapi satu sama lain. Tanpa adanya salah unsur tersebut, bisa
dipastikan bahwa keberlangsungan suatu negara akan terancam apabila salah satu
unsur tersebut tidak ada, raja memiliki peranan penting bagi negara dan rakyat
yang terdiri atas : panutan dan teladan, penuntun dan pemimpin, serta sebagai
pengayom dan pelindung bagi rakyatnya ataupun negaranya. Sedangkan negara
diposisikan sebagai tempat berkiprah antara raja dan rakyatnya dimana seorang
raja dapat menunjukkan eksistensi dan legitimasinya di hadapan rakyat, sebagai
tempat untuk menyalurkan pendapat serta pengakuan dari bangsa lain, hingga
sebagai tempat berlindung dan beraktivitas bagi masyarakat dari berbagai
lapisan.
Karya-karya sastra Jawa klasik yang
banyak terkandung nilai-nilai ajaran yang bermanfaat, termasuk ajaran
kepemimpinan ini. Seperti halnya yang terkandung di dalam Serat Rama yang berisi Sastra
Cetha maupun Asthabrata. Kedua
karya sastra lama ini menjadi model penting di dalam menerapkan ajaran
kepemimpinan yang ideal serta bisa diterapkan di masa modern ini, sebagai upaya
untuk mencapai cita-cita masyarakat yang bersatu, adil, makmur, dan sejahtera. Semua
orang berhak menjadi seorang pemimpin, dan kita sendiri pun harus bisa memimpin
diri kita sendiri ke arah yang lebih baik tentunya. Betapa majunya dan
makmurnya sebuah bangsa jika ajaran-ajaran kepemimpinan ini diterapkan di
berbagai negara di era Globalisasi ini.