Jumat, 03 November 2017

Kepemimpinan dalam Karya Sastra Jawa

 “Konsep Kepemimpinan Jawa : Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Asthabrata”
Penulis : Dra. Suyami., M.Hum.


            Di dalam konsep kepemimpinan di dalam masyarakat Jawa, "raja adalah seorang wakil Tuhan di muka bumi" sehingga sabda dan perintah raja adalah perkataan dan perintah dari Tuhan secara langsung begitupun penolakan dan pelarangan raja yang berarti sebagai larangan dari Tuhan. Jika seseorang melanggar perintah ini, seseorang akan dianggap languns melanggar perintah dari Tuhan, karena konsep “Manunggaling Kawula Gusti” begitu melekat di dalam masyarakat Jawa yang pada zaman dahulu memiliki tingkatan stratifikasi sosial atau kedudukan sosial berupa raja, priyayi, santri, dan wong cilik. Di dalam masyarakat Jawa, orang-orang menginginkan seorang pemimpin yang bercita-cita membawa sebuah bangsa atau negara ke dalam keadaanya yang tata tentrem kerja raharja (adil, makmur, tentram, dan teratur). Serta untuk mencapai keadaan seperti itu, masyarakat harus banyak mempelajari mengenai tata cara menjadi pemimpin yang baik dalam rangka untuk memakmurkan rakyatnya lewat ajaran-ajaran kepemimpinan yang dimuat di dalam karya sastra klasik karangan pujangga besar seperti Pakubuwono IV, R Ng. Ronggowarsito, Honggowongso atau Mangkunegara IV. Karya sastra Jawa ini berisi mengenai petuah dan ajaran yang semestinya harus diperhatikan bagi seorang pemimpin untuk memimpin dan mengatur rakyatnya. Beberapa ajaran kepemimpinan banyak berasal dari karya sastra Jawa klasik seperti : Serat Wulangreh, Serat Pustakaraja, Serat Tripama, Serat Ramayana, Serta Wedhatama dan masih banyak lagi.


Sumber : Vanaya Coaching Institute

            Di dalam buku yang berjudul Konsep Kepemimpinan Jawa : Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Asthabrata, penulis membawa kita ke dalam suatu karya sastra Jawa klasik karangan R. Ng. Yasadipura yaitu Serat Rama yang berisi ajaran kepemimpinan berupa dua bagian yaitu, ajaran sastra cetha dan ajaran astha brata. Di dalam Sastra Cetha, penulis menjelaskan bahwa di dalam ajaran kepemimpinan ini, seseorang akan diajak belajar menjadi seorang pemimpin yang baik dengan berdasarkan cerita mengenai Rama yang memberikan penjelasan dan nasehat mengenai kepemimpinan kepada adiknya yang bernama Bharata, sedangkan di dalam Asthabrata, kita diajarkan mengenai bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik berdasarkan kedelapan unsur yang ada di alam yaitu : bumi, bulan, matahari, bintang, api, air, angin dan samudra. Ajaran ini terinspirasi dari kisah mengenai Rama yang memberikan ajaran ini kepada Wibisana yang pada waktu itu akan diangkat menjadi raja di Alengka dan menggantikan kakandanya yaitu Prabu Rahwana yang dimana pada masa kepemimpinannya kerajaan mengalami kerusakan dan kemunduran akibat berperang dengan Rama.
            Dalam Sastra Cetha, seorang raja akan diajarkan mengenai pokok-pokok menjadi seorang pemimpin suatu negara, seorang raja harus membedakan perbuatan yang nistha, madya, dan utama. Perbuatan yang nistha adalah perbuatan yang harus untuk dihindari seperti misalnya sikap khawatir terhadap sesuatu yang berlebihan atau berprasangka buruk terhadap sesuatu, perbuatan yang madya pun yang dilakukan oleh raja cukup untuk dimengerti dan dihindari, sedangkan perbuatan yang utama dari seorang raja adalah untuk melayani rakyat, membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta menghindari pantangan “malima” atau lima pantangan yang sangat dilarang keras untuk dilakukan yang terdiri atas : main (berjudi), medok (bermain wanita), madat (narkoba), maling (mencuri), dan minum (ngombe/minum-minuman keras). Di dalam ajaran Asthabrata, ajaran ini berasal dari “Serat Asthabrata” serta diyakini merupakan ajaran yang banyak dipakai sebagai kode etik kepemimpinan yang baik, dari waktu dulu hingga sekarang, ajaran ini banyak ditemukan di dalam naskah Jawa Kuno seperti Kakawin Ramayana, Serat Nitisruti, maupun Serat Rama Jawa. Ajaran ini juga ditemukan di dalam sumber tradisi lisan melalui masyarakat berupa pertunjukan “Wayang Purwa” atau wayang kulit. Asthabrata merupakan delapan ajaran kepemimpinan yang dimana kedelapan unsur kepemimpinan ini digambarkan sebagai sebuah dewa atau simbol-simbol alam tertentu. Seseorang yang mempelajari kedelapan unsur ini nantinta akan menjadi seorang pemimpin besar yang berpengaruh serta membawa kebaikan bagi rakyat dan negara yang dipimpinnya. Ajaran kepemimpinan ini terdiri dari kedelapan unsur alam atau dewa yang menjaga keseimbangan dan keselaran alam ini, unsur-unsur itu terdiri atas bumi, bulan, matahari, bintang, api, air, angin dan samudra. Beberapa dari unsur yang disebutkan digambarkan sebagai dewa Agni (api), dewa Candra (bulan), dewa Bahni, dewa Surya (Matahari), dewa Baruna (samudra), dewi Kartika (bintang), dewa Bayu (angin).
            Raja juga digambarkan sebagai hubungan resiprositas antara raja dan rakyat yang diibaratkan dengan singa dan hutan, kedua-duanya adalah dua unsur penting yang saling mengisi, membutuhkan, dan saling melengkapi satu sama lain. Tanpa adanya salah unsur tersebut, bisa dipastikan bahwa keberlangsungan suatu negara akan terancam apabila salah satu unsur tersebut tidak ada, raja memiliki peranan penting bagi negara dan rakyat yang terdiri atas : panutan dan teladan, penuntun dan pemimpin, serta sebagai pengayom dan pelindung bagi rakyatnya ataupun negaranya. Sedangkan negara diposisikan sebagai tempat berkiprah antara raja dan rakyatnya dimana seorang raja dapat menunjukkan eksistensi dan legitimasinya di hadapan rakyat, sebagai tempat untuk menyalurkan pendapat serta pengakuan dari bangsa lain, hingga sebagai tempat berlindung dan beraktivitas bagi masyarakat dari berbagai lapisan.

            Karya-karya sastra Jawa klasik yang banyak terkandung nilai-nilai ajaran yang bermanfaat, termasuk ajaran kepemimpinan ini. Seperti halnya yang terkandung di dalam Serat Rama yang berisi Sastra Cetha maupun Asthabrata. Kedua karya sastra lama ini menjadi model penting di dalam menerapkan ajaran kepemimpinan yang ideal serta bisa diterapkan di masa modern ini, sebagai upaya untuk mencapai cita-cita masyarakat yang bersatu, adil, makmur, dan sejahtera. Semua orang berhak menjadi seorang pemimpin, dan kita sendiri pun harus bisa memimpin diri kita sendiri ke arah yang lebih baik tentunya. Betapa majunya dan makmurnya sebuah bangsa jika ajaran-ajaran kepemimpinan ini diterapkan di berbagai negara di era Globalisasi ini.