Senin, 09 Oktober 2017

Berhaji di Masa Kolonial

Berhaji di Masa Kolonial


           Haji merupakan salah satu bagian dari ajaran agama Islam, termasuk dalam salah satu rukun Islam kelima. Ibadah haji dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah serta wajib bagi orang yang mampu. Tradisi haji konon sudah berlangsung lama semenjak Nabi Ibrahim A.S membangun bangunan suci bernama “ka’bah”. Awalnya, ritual haji atau pilgrimage dilakukan dengan mengelilingi bangunan tersebut namun prakteknya diselewengkan berupa benda berhala buatan orang Arab di dalam ka'bah. Praktek tersebut kemudian diperbaiki pada masa Nabi Muhammad S.A.W. Kegiatan haji dilakukan di kota Mekkah dan Madinah di negeri Saudi Arabia selama kurun waktu 2-3 minggu.
           Jamaah haji berasal dari berbagai kawasan di penjuru dunia, salah satunya adalah kaum muslimin di Indonesia atau dahulu disebut sebagai Hindia Belanda. Islam sendiri sudah masuk di kawasan Nusantara pada abad ke 13 M, banyak diantara para penduduk kemudian dikirim ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Ulama Indonesia di Timur Tengah memiliki peran penting dalam mengenalkan gerakan reformasi keagamaan dan pendidikan. Hal tersebut melatarbelakangi pergerakan dalam melawan pemerintah kolonial Belanda.
            Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah kolonial Belanda mulai mengawasi kegiatan para ulama atau penduduk yang berada di Timur Tengah dengan memberikan gelar “Haji dan Hajjah” bagi mereka yang telah menunaikan ibadah Haji di Arab Saudi. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pemberontakan yang dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan muslim lainnya, terutama dipengaruhi oleh gerakan Pan Islamisme di Timur Tengah.
            Perjalanan menuju Mekkah dibagi menjadi dua jalur. Pertama melalui jalur darat dan kedua melalui jalur laut. Jalur darat melewati sebuah rute yang dikenal sebagai “Jalur Sutra” atau silk road. Rute perjalanan laut dikelompokkan menjadi tiga rute pelayaran besar yaitu melalui selat Bab el Mandab, kawasan laut Merah, dan kawasan dari Utara. Untuk muslim Nusantara menempuh jalur pelayaran melalui Singapura, Colombo, Aden, kemudian masuk ke Laut Merah menuju Jeddah. Perjalanan haji di Nusantara erat kaitannya dengan kegiatan perdagangan laut kecuali apabila perdagangan itu terbatas pada daerah daratan. Kawasan laut Nusantara dikenal sebagai tempat strategis bagi saudagar atau penjelajah dari Timur Tengah, Gujarat, Persia, maupun dari Barat.
        Semenjak dibukanya terusan Suez, dunia pelayaran diikuti dengan perkembangan pesat teknologi pelayaran berkat penemuan teknologi mesin uap oleh James Watt terutama pada masa revolusi industri di Inggris tahun 1870. Perjalanan haji menuju Mekkah yang sebelumnya menggunakan kapal layar kini mulai diganti dengan mesin uap untuk memangkas durasi perjalanan dari Hindia Belanda hingga ke Mekkah. Sebelumnya perjalanan haji menggunakan kapal layar ditempuh dalam waktu 6 bulan hingga 1 tahun lamanya karena bergantung terhadap faktor musim dan arah angin.


Pemandangan Masjid Agung (Masjid al Haram) di Mekkah, dengan Jamaah Haji di tengah Ka'bah Tahun 1917 (Gezicht op de grote Moskee (Masjid al-Haram) in Mekka, met in het midden de Ka'aba en pelgrims 1917)
Sumber : Media KITLV Belanda

        Pada akhir abad ke – 19 ada tiga perusahaan yang diberi kemudahan untuk menangani pelayanan transportasi jamaah haji. Perusahaan tersebut diantaranya : De Rotterdamsche Lloyd, Stoomvaartmaschappij Nederland, dan Stoomvaaartmaschappij Ocean. Perusahaan de Rotterdamsche Lloyd  banyak menggunakan nama Melayu untuk kapalnya seperti : Slamet, Tabanan, Tambora, Indrapura dll. Rute pelayarannya melalui Genoa, Port Said, Colombo, Singapura, Jawa dan Australia. Kapal milik Stoomvaartmaschappij Nederland banyak menggunakan nama Belanda seperti : Vandaal, Grotius, Princes Juliana, dan Huijgens. Kapal ini singgah di pelabuhan penting seperti Tangier, Aljazair, Marseille, Port Dais, Singapura, dan Jawa (Nusantara). Kapal milik Stoomvaaartmaschappij Ocean menggunakan bendera Inggris dam memiliki jalur pelayaran dari Eropa – Asia Tenggara. Ketiga kongsi ini ditunjuk pemerintah untuk menangani pelaksanaan pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji Hindia Belanda hingga pasca Perang Dunia Kedua.
            Para calon jamaah haji umumnya tidak mengetahui cara memperoleh informasi mengenai cara pergi ke Mekkah, kecuali bagi mereka yang mempunyai kerabat terpelajar. Pilihan kapal yang mereka tumpangi sangat bergantung kepada peran syekh dalam mengatur perjalanan serta bimbingan dalam melaksanakan ibadah haji. Biaya yang diperlukan bervariasi tergantung maskapai perusahaan yang dipilih. Harga tiket standar adalah 110 gulden ditambah dengan jasa perusahaan dan syekh sebesar 17.5 gulden, maka jumlah yang dikeluarkan sebesar 127.5 gulden. Dalam ketentuan umum yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda, bahwa setiap calon jamaah harus menyetor uang sebesar 500 gulden dan jika terdapat uang lebih akan dikembalikan kepada jamaah.
            Harga yang cukup tinggi tidak menyurutkan niat masrakayat untuk pergi haji, hasrat tersebut didorong oleh kemauan keras, ada juga mereka ingin tinggal lebih lama di Mekkah gunan memperdalam dan menimba ilmu pengetahuan agama dan umum, atau karena kekecewaan terhadap kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda yang memberikan penindasan atau ketidakadilan terhadap masyarakat. Setelah adanya teknologi kapal uap ada setiap tahun membawa ratusan orang dari 12.000 jamaah yang hendak menuntu ilmu di negeri Saudi Arabia.
        Pelayanan yang diberikan oleh beberapa maskapai perusahaaan haji cukup baik, direksi maskapai perusahaan haji memerintahkan kepada nahkoda kapal agar menjaga dan mempertahankan awak kapalnya dengan memberi pelayanan baik serta menanggulangi tindak pidana kriminal. Beberapa diantaranya : 1. Memberikan asupan gizi berupa makanan dan minuman secara teratur, 2. Memperhatikan kesehatan para calon jamaah haji dengan menyediakan ruangan isolasi dan tenaga kesehatan, 3. Mencegah terjadinya pemerasan yang yang dilakukan oleh oknum nahkoda, syekh, atau awak kapal kepada calon jamaah haji. Sebelum berangkat para jamaah haji diperiksa secara ketat oleh mantri selama berada di embarkasi haji untuk menanggulangi penyakit menular diantaranya : TBC, Kolera, Pes, dan penyakit menular lainnya. Para calon jamaah haji juga diwajibkan memiliki tiket pulang pergi atau disebut Retourbiljet untuk menghindari hutang yang sangat mengikat dan menjadi jaminan bagi calon jamaah haji. Pemerintah secara keras melarang penjualan tiket hanya satu perjalanan saja.


Kedatangan peziarah dari Mekah di pelabuhan Tandjoengpriok Jakarta Tahun 1948 (Aankomst van pelgrims uit Mekka in de haven van Tandjoengpriok te Djakarta 1948)
Sumber : Media KITLV Belanda

            Pada akhir abad ke – 19 dan awal abad ke – 20 jumlah jamaah Nusantara pergi menunaikan ibadah haji lebih dari 40 persen dari seluruh jamaah haji yang berkumpul di kawasan Mekkah. Hasrat orang naik haji terus meningkat karena jumlahnya karena ibadah haji dipandang sebagai suatu kewajiban dan kiblat bagi seluruh umat Islam.. Untuk mengatasi beberapa masalah dan gerakan politik selepas pergi menunaikan ibadah haji, maka dibuatlah berbagai peraturan untuk mengatur pelakasaan ibadah haji yang diawali dengan lahirnya “Resolusi 1825”. Namun, peraturan ini tak sepenuhnya ditaati karena pelaksanaanya banyak merugikan jamaah. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan sebuah peraturan baru berupa Ordonasi tahun 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872, dan 1922.
            Resolusi 1825 berisi peraturan atau kebijakan untuk mengatur jumlah kuota jamaah calon haji dengan membatasi dan mengawasi gerak-gerik mencurigakan jamaah. Ongkos Naik Haji atau ONH dipatok sebesar 110 gulden serta harus memiliki izin dari otoritas terkait. Resolusi ini pada awalnya dilakukan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sehingga banyak ditolah oleh para jamaah dan lebih memilih untuk bebas dari kewajiban membayar pajak dan pungutan liar selama perjalanan haji berlangsung.
            Ordonansi Haji tahun 1859 dilatarbelakangi oleh banyaknya penyalahgunaan gelar haji dan banyak diantara mereka tidak pulang hingga menimbulkan sosial ekonomi di masyarakar bagi keluarga yang ditinggalkan. Ada satu hal menarik bagi calon jamaah haji yang gagal berangkat, mereka disebut sebagai “Haji Singapura” karena gagal berangkat akibat kurangnya ongkos haji atau terjebak oleh salah satu perusahaan maskapai haji dalam sebuah perjanjian hingga akhirnya bekerja sebagai kuli kontrak di kawasan Melayu dan Singapura. Ordonansi ini menekankan kepada jamaah calon haji maupun mereka yang sudah bergelar haji untuk melaporkan segala kegiatannya kepada otoritas terkait melalui Residen atau Bupati daerah setempat.
            Ordonansi Haji tahun 1922 menjadi penyempurnaan dari ordonansi haji sebelumnya, terutama untuk mengatur jumlah jamaah haji yang berangkat tanpa pembatasan jenis kelamin. Beberapa diantaranya mengatur peningkatan kualitas pelayanan selama pelayaran berlangsung. Dalam ordonansi ini juga dijelaskan bahwa setiap jamaah yang berangkat dari Hindia Belanda menuju Mekkah dan setelah kembali harus memiliki sertifikat haji. Sertifikat gelar haji dapat diperoleh dari pemilik, agen, atau nahkoda kapal tiga hari sebelum kapal meninggalkan tanah suci. Biayanya sebesar 300 gulden atas tanggung jawab kepala daerah. Dalam sertifikat tercantum tempat meletakkannya di kapal serta diperiksa setiap singgah di pelabuhan oleh petugas pelabuhan dan akhirnya diserahkan kepada konsulat Belanda untuk pemeriksaaan terakhir.



Poster sebuah perusahaan kapal uap swasta yang mengangkut jamaah Haji ke Mekah Tahun 1935 (Affiche van een stoombootmaatschappij die Haji's vervoerd naar Mekka 1935)
Sumber : Media KITLV Belanda

       Tiga kongsi dagang : De Rotterdamsche Lloyd, Stoomvaartmaschappij Nederland, dan Stoomvaaartmaschappij Ocean tidak mampu melayani antusiasme jumlah jamaah haji Nusantara yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah Hindia Belanda bekerja sama dengan pihak swasta untuk mengatasi masalah tersebut. Sejumlah agen swasta yang ada seperti Borneo Company Limited, De Lloyd, Firma Gellatly Henkey Sewell & Co, Firma Aliste, Jawa dan Co termasuk dalam “Kongsi Tiga” untuk melayani pemberangkatan dan kepulangan jamaah haji dari dan ke Mekkah.
       Kebijakan pemerintah kolonial dalam bekerjasama dengan pihak swasta justru menjadi bumerang bagi pemerintah, hal ini dikarenakan sebagian firma dan agen swasta hanya berorientasi kepada mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya serta mengesampingkan pelayanan terbaik kepada para jamaah haji. Banyak calo berlindung di balik jubah syekh dengan mengeksploitasi dan memeras para jamaah, terutama jamaah haji dari Jawa.
           Ada indikasi penyimpangan dan penyelewengan dari beberapa perusahaan biro haji swasta diantaranya adalah perusahaan Herklots (Batavia) dan firma Al – Segaff & Co (Singapura). Perusahaan Herklots melakukan beberapa penyimpangan diantaranya : 1. Tidak memiliki bukti penangkatan dari agen induk yaitu firma Java & Knowles, 2. Adanya pemerasan dan penipuan kepada calon jamaah haji secara sengaja oleh oknum perusahaan dan kru kapal, 3. Memerintahkan kepada syekh untuk memungut biaya di luar perjanjian kepada para jamaah haji, 4. Menelantarkan para penumpang selama perjalanan serta nihilnya fasilitas yang diberikan selama melakukan prosesi ibadah haji, 5. Memaksa calon jamaah haji untuk menandatangani perjanjian yang berisi menjadi kuli kontrak apabila tidak bisa melunasi hutang biaya di luar perjalanan haji.
            Kasus serupa juga terjadi dalam firma Al – Segaff & Co di Singapura, firma ini pada awalnya dikenal oleh kalangan jamaah haji dari Nusantara karena menawarkan servis berupa menghindarkan pengawasan paspor oleh pemerintah Hindia Belanda. Firma ini juga memiliki perkebunan karet terbesar di pulau Cocob dengan memanfaatkan tenaga kerja buruh dari Tiongkok atau dari Hindia Belanda.
            Indikasi terjadi penyelewengan mulai terendus ketika firma ini mulai memanfaaatkan tenaga kerja buruh dari jamaah haji Jawa. Sebenarnya firma ini bisa mengambil tenaga kerja buruh dari Tiongkok yang dikenal murah namun terkendala biaya transportasi dan bea masuk bagi imigran sangat mahal. Untuk mengatasi hal tersebut, pihak firma menawarkan pinjaman kepada jamaah haji asal Nusantara untuk membeli tiket kapal kembali ke tanah air dengan bunga yang cukup tinggi.
            Beberapa jamaah ada yang tidak sanggup melunasi hutang tersebut sehingga mereka terpaksa bekerja sebagai kuli kontrak dengan durasi 5 – 10 tahun, strategi yang dilakukan oleh firma ini cukup berhasil mengeksploitasi tenaga kerja buruh dari Jawa sehingga membuat keuntungan besar bagi perkembangan perkebunan karet di pulau Cocob. Tujuan utama firma Al- Segaff & Co adalah meminjamkan uang kepada jamaah dengan bunga tinggi dan harus dilunasi dalam jangka waktu pendek, salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah “harus menjadi kuli kontrak apabila tidak melunasi hutang dalam jatuh tempo yang ditentukan oleh pihak firma”.

         Konspirasi perusahaan dan firma swasta yang bermasalah harus segera diakhiri dengan bekerja sama dengan negara lain untuk memotong “jalur” tersebut dengan adanya kinerja terpadu antara Batavia-Singapura-Johor-Jeddah-Turki untuk mengatasai dua firma bermasalah yaitu perusahaan Herklots dan firma Al – Segaff & Co. Hal tersebut dilakukan untuk memutus mata rantai penyelewengan wewenang antara birokrat dan pihak perusahaan atau firma terkait untuk mengeksploitasi para jamaah.