Berhaji di Masa Kolonial
Haji merupakan salah satu
bagian dari ajaran agama Islam, termasuk dalam salah satu rukun Islam kelima.
Ibadah haji dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah
serta wajib bagi orang yang mampu. Tradisi haji konon sudah berlangsung lama
semenjak Nabi Ibrahim A.S membangun bangunan suci bernama “ka’bah”. Awalnya,
ritual haji atau pilgrimage dilakukan
dengan mengelilingi bangunan tersebut namun prakteknya diselewengkan berupa benda berhala buatan orang
Arab di dalam ka'bah. Praktek tersebut kemudian diperbaiki pada masa Nabi Muhammad S.A.W.
Kegiatan haji dilakukan di kota Mekkah dan Madinah di negeri Saudi Arabia
selama kurun waktu 2-3 minggu.
Jamaah haji
berasal dari berbagai kawasan di penjuru dunia, salah satunya adalah kaum
muslimin di Indonesia atau dahulu disebut sebagai Hindia Belanda. Islam sendiri
sudah masuk di kawasan Nusantara pada abad ke 13 M, banyak diantara para
penduduk kemudian dikirim ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Ulama Indonesia
di Timur Tengah memiliki peran penting dalam mengenalkan gerakan reformasi
keagamaan dan pendidikan. Hal tersebut melatarbelakangi pergerakan dalam
melawan pemerintah kolonial Belanda.
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah kolonial Belanda mulai mengawasi
kegiatan para ulama atau penduduk yang berada di Timur Tengah dengan memberikan
gelar “Haji dan Hajjah” bagi mereka yang telah menunaikan ibadah Haji di Arab
Saudi. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pemberontakan yang dilakukan oleh
para ulama dan cendekiawan muslim lainnya, terutama dipengaruhi oleh gerakan
Pan Islamisme di Timur Tengah.
Perjalanan
menuju Mekkah dibagi menjadi dua jalur. Pertama
melalui jalur darat dan kedua melalui
jalur laut. Jalur darat melewati sebuah rute yang dikenal sebagai “Jalur Sutra”
atau silk road. Rute perjalanan laut
dikelompokkan menjadi tiga rute pelayaran besar yaitu melalui selat Bab el
Mandab, kawasan laut Merah, dan kawasan dari Utara. Untuk muslim Nusantara
menempuh jalur pelayaran melalui Singapura, Colombo, Aden, kemudian masuk ke
Laut Merah menuju Jeddah. Perjalanan haji di Nusantara erat kaitannya dengan
kegiatan perdagangan laut kecuali apabila perdagangan itu terbatas pada daerah
daratan. Kawasan laut Nusantara dikenal sebagai tempat strategis bagi saudagar
atau penjelajah dari Timur Tengah, Gujarat, Persia, maupun dari Barat.
Semenjak
dibukanya terusan Suez, dunia pelayaran diikuti dengan perkembangan pesat
teknologi pelayaran berkat penemuan teknologi mesin uap oleh James Watt
terutama pada masa revolusi industri di Inggris tahun 1870. Perjalanan haji
menuju Mekkah yang sebelumnya menggunakan kapal layar kini mulai diganti dengan
mesin uap untuk memangkas durasi perjalanan dari Hindia Belanda hingga ke
Mekkah. Sebelumnya perjalanan haji menggunakan kapal layar ditempuh dalam waktu
6 bulan hingga 1 tahun lamanya karena bergantung terhadap faktor musim dan arah angin.
Pemandangan Masjid Agung (Masjid al Haram) di Mekkah, dengan Jamaah Haji di tengah Ka'bah Tahun 1917 (Gezicht op de grote Moskee (Masjid al-Haram) in Mekka, met in het midden de Ka'aba en pelgrims 1917)
Sumber : Media KITLV Belanda
Pada
akhir abad ke – 19 ada tiga perusahaan yang diberi kemudahan untuk menangani
pelayanan transportasi jamaah haji. Perusahaan tersebut diantaranya : De Rotterdamsche Lloyd, Stoomvaartmaschappij Nederland, dan Stoomvaaartmaschappij Ocean. Perusahaan de Rotterdamsche Lloyd banyak menggunakan nama Melayu untuk kapalnya
seperti : Slamet, Tabanan, Tambora, Indrapura dll. Rute pelayarannya melalui
Genoa, Port Said, Colombo, Singapura, Jawa dan Australia. Kapal milik Stoomvaartmaschappij Nederland banyak
menggunakan nama Belanda seperti : Vandaal, Grotius, Princes Juliana, dan
Huijgens. Kapal ini singgah di pelabuhan penting seperti Tangier, Aljazair,
Marseille, Port Dais, Singapura, dan Jawa (Nusantara). Kapal milik Stoomvaaartmaschappij Ocean menggunakan
bendera Inggris dam memiliki jalur pelayaran dari Eropa – Asia Tenggara. Ketiga
kongsi ini ditunjuk pemerintah untuk menangani pelaksanaan pemberangkatan dan
pemulangan jamaah haji Hindia Belanda hingga pasca Perang Dunia Kedua.
Para
calon jamaah haji umumnya tidak mengetahui cara memperoleh informasi mengenai
cara pergi ke Mekkah, kecuali bagi mereka yang mempunyai kerabat terpelajar.
Pilihan kapal yang mereka tumpangi sangat bergantung kepada peran syekh dalam
mengatur perjalanan serta bimbingan dalam melaksanakan ibadah haji. Biaya yang
diperlukan bervariasi tergantung maskapai perusahaan yang dipilih. Harga tiket
standar adalah 110 gulden ditambah dengan jasa perusahaan dan syekh sebesar
17.5 gulden, maka jumlah yang dikeluarkan sebesar 127.5 gulden. Dalam ketentuan
umum yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda, bahwa setiap calon jamaah
harus menyetor uang sebesar 500 gulden dan jika terdapat uang lebih akan
dikembalikan kepada jamaah.
Harga
yang cukup tinggi tidak menyurutkan niat masrakayat untuk pergi haji, hasrat
tersebut didorong oleh kemauan keras, ada juga mereka ingin tinggal lebih lama
di Mekkah gunan memperdalam dan menimba ilmu pengetahuan agama dan umum, atau
karena kekecewaan terhadap kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda yang
memberikan penindasan atau ketidakadilan terhadap masyarakat. Setelah adanya
teknologi kapal uap ada setiap tahun membawa ratusan orang dari 12.000 jamaah
yang hendak menuntu ilmu di negeri Saudi Arabia.
Pelayanan
yang diberikan oleh beberapa maskapai perusahaaan haji cukup baik, direksi
maskapai perusahaan haji memerintahkan kepada nahkoda kapal agar menjaga dan
mempertahankan awak kapalnya dengan memberi pelayanan baik serta menanggulangi
tindak pidana kriminal. Beberapa diantaranya : 1. Memberikan asupan gizi berupa
makanan dan minuman secara teratur, 2. Memperhatikan kesehatan para calon
jamaah haji dengan menyediakan ruangan isolasi dan tenaga kesehatan, 3.
Mencegah terjadinya pemerasan yang yang dilakukan oleh oknum nahkoda, syekh,
atau awak kapal kepada calon jamaah haji. Sebelum berangkat para jamaah haji
diperiksa secara ketat oleh mantri selama berada di embarkasi haji untuk
menanggulangi penyakit menular diantaranya : TBC, Kolera, Pes, dan penyakit
menular lainnya. Para calon jamaah haji juga diwajibkan memiliki tiket pulang
pergi atau disebut Retourbiljet untuk
menghindari hutang yang sangat mengikat dan menjadi jaminan bagi calon jamaah
haji. Pemerintah secara keras melarang penjualan tiket hanya satu perjalanan
saja.
Kedatangan peziarah dari Mekah di pelabuhan Tandjoengpriok Jakarta Tahun 1948 (Aankomst van pelgrims uit Mekka in de haven van Tandjoengpriok te Djakarta 1948)
Sumber : Media KITLV Belanda
Pada
akhir abad ke – 19 dan awal abad ke – 20 jumlah jamaah Nusantara pergi
menunaikan ibadah haji lebih dari 40 persen dari seluruh jamaah haji yang
berkumpul di kawasan Mekkah. Hasrat orang naik haji terus meningkat karena
jumlahnya karena ibadah haji dipandang sebagai suatu kewajiban dan kiblat bagi
seluruh umat Islam.. Untuk mengatasi beberapa masalah dan gerakan politik
selepas pergi menunaikan ibadah haji, maka dibuatlah berbagai peraturan untuk
mengatur pelakasaan ibadah haji yang diawali dengan lahirnya “Resolusi 1825”.
Namun, peraturan ini tak sepenuhnya ditaati karena pelaksanaanya banyak merugikan
jamaah. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
sebuah peraturan baru berupa Ordonasi tahun 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872,
dan 1922.
Resolusi
1825 berisi peraturan atau kebijakan untuk mengatur jumlah kuota jamaah calon
haji dengan membatasi dan mengawasi gerak-gerik mencurigakan jamaah. Ongkos
Naik Haji atau ONH dipatok sebesar 110 gulden serta harus memiliki izin dari
otoritas terkait. Resolusi ini pada awalnya dilakukan untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya sehingga banyak ditolah oleh para jamaah dan lebih memilih
untuk bebas dari kewajiban membayar pajak dan pungutan liar selama perjalanan
haji berlangsung.
Ordonansi
Haji tahun 1859 dilatarbelakangi oleh banyaknya penyalahgunaan gelar haji dan
banyak diantara mereka tidak pulang hingga menimbulkan sosial ekonomi di
masyarakar bagi keluarga yang ditinggalkan. Ada satu hal menarik bagi calon
jamaah haji yang gagal berangkat, mereka disebut sebagai “Haji Singapura”
karena gagal berangkat akibat kurangnya ongkos haji atau terjebak oleh salah
satu perusahaan maskapai haji dalam sebuah perjanjian hingga akhirnya bekerja
sebagai kuli kontrak di kawasan Melayu dan Singapura. Ordonansi ini menekankan
kepada jamaah calon haji maupun mereka yang sudah bergelar haji untuk
melaporkan segala kegiatannya kepada otoritas terkait melalui Residen atau
Bupati daerah setempat.
Ordonansi
Haji tahun 1922 menjadi penyempurnaan dari ordonansi haji sebelumnya, terutama
untuk mengatur jumlah jamaah haji yang berangkat tanpa pembatasan jenis
kelamin. Beberapa diantaranya mengatur peningkatan kualitas pelayanan selama
pelayaran berlangsung. Dalam ordonansi ini juga dijelaskan bahwa setiap jamaah
yang berangkat dari Hindia Belanda menuju Mekkah dan setelah kembali harus
memiliki sertifikat haji. Sertifikat gelar haji dapat diperoleh dari pemilik,
agen, atau nahkoda kapal tiga hari sebelum kapal meninggalkan tanah suci.
Biayanya sebesar 300 gulden atas tanggung jawab kepala daerah. Dalam sertifikat
tercantum tempat meletakkannya di kapal serta diperiksa setiap singgah di
pelabuhan oleh petugas pelabuhan dan akhirnya diserahkan kepada konsulat
Belanda untuk pemeriksaaan terakhir.
Poster sebuah perusahaan kapal uap swasta yang mengangkut jamaah Haji ke Mekah Tahun 1935 (Affiche van een stoombootmaatschappij die Haji's vervoerd naar Mekka 1935)
Sumber : Media KITLV Belanda
Tiga
kongsi dagang : De Rotterdamsche Lloyd,
Stoomvaartmaschappij Nederland, dan Stoomvaaartmaschappij Ocean tidak mampu
melayani antusiasme jumlah jamaah haji Nusantara yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Pemerintah Hindia Belanda bekerja sama dengan pihak swasta
untuk mengatasi masalah tersebut. Sejumlah agen swasta yang ada seperti Borneo
Company Limited, De Lloyd, Firma Gellatly Henkey Sewell & Co, Firma Aliste,
Jawa dan Co termasuk dalam “Kongsi Tiga” untuk melayani pemberangkatan dan
kepulangan jamaah haji dari dan ke Mekkah.
Kebijakan
pemerintah kolonial dalam bekerjasama dengan pihak swasta justru menjadi
bumerang bagi pemerintah, hal ini dikarenakan sebagian firma dan agen swasta
hanya berorientasi kepada mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya serta
mengesampingkan pelayanan terbaik kepada para jamaah haji. Banyak calo
berlindung di balik jubah syekh dengan mengeksploitasi dan memeras para jamaah,
terutama jamaah haji dari Jawa.
Ada
indikasi penyimpangan dan penyelewengan dari beberapa perusahaan biro haji
swasta diantaranya adalah perusahaan Herklots (Batavia) dan firma Al – Segaff
& Co (Singapura). Perusahaan Herklots melakukan beberapa penyimpangan
diantaranya : 1. Tidak memiliki bukti penangkatan dari agen induk yaitu firma
Java & Knowles, 2. Adanya pemerasan dan penipuan kepada calon jamaah haji
secara sengaja oleh oknum perusahaan dan kru kapal, 3. Memerintahkan kepada
syekh untuk memungut biaya di luar perjanjian kepada para jamaah haji, 4.
Menelantarkan para penumpang selama perjalanan serta nihilnya fasilitas yang
diberikan selama melakukan prosesi ibadah haji, 5. Memaksa calon jamaah haji untuk
menandatangani perjanjian yang berisi menjadi kuli kontrak apabila tidak bisa
melunasi hutang biaya di luar perjalanan haji.
Kasus
serupa juga terjadi dalam firma Al – Segaff & Co di Singapura, firma ini
pada awalnya dikenal oleh kalangan jamaah haji dari Nusantara karena menawarkan
servis berupa menghindarkan pengawasan paspor oleh pemerintah Hindia Belanda.
Firma ini juga memiliki perkebunan karet terbesar di pulau Cocob dengan
memanfaatkan tenaga kerja buruh dari Tiongkok atau dari Hindia Belanda.
Indikasi
terjadi penyelewengan mulai terendus ketika firma ini mulai memanfaaatkan
tenaga kerja buruh dari jamaah haji Jawa. Sebenarnya firma ini bisa mengambil
tenaga kerja buruh dari Tiongkok yang dikenal murah namun terkendala biaya
transportasi dan bea masuk bagi imigran sangat mahal. Untuk mengatasi hal
tersebut, pihak firma menawarkan pinjaman kepada jamaah haji asal Nusantara
untuk membeli tiket kapal kembali ke tanah air dengan bunga yang cukup tinggi.
Beberapa
jamaah ada yang tidak sanggup melunasi hutang tersebut sehingga mereka terpaksa
bekerja sebagai kuli kontrak dengan durasi 5 – 10 tahun, strategi yang
dilakukan oleh firma ini cukup berhasil mengeksploitasi tenaga kerja buruh dari
Jawa sehingga membuat keuntungan besar bagi perkembangan perkebunan karet di
pulau Cocob. Tujuan utama firma Al- Segaff & Co adalah meminjamkan uang
kepada jamaah dengan bunga tinggi dan harus dilunasi dalam jangka waktu pendek,
salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah “harus menjadi kuli kontrak
apabila tidak melunasi hutang dalam jatuh tempo yang ditentukan oleh pihak
firma”.
Konspirasi
perusahaan dan firma swasta yang bermasalah harus segera diakhiri dengan
bekerja sama dengan negara lain untuk memotong “jalur” tersebut dengan adanya
kinerja terpadu antara Batavia-Singapura-Johor-Jeddah-Turki untuk mengatasai
dua firma bermasalah yaitu perusahaan Herklots dan firma Al – Segaff & Co.
Hal tersebut dilakukan untuk memutus mata rantai penyelewengan wewenang antara
birokrat dan pihak perusahaan atau firma terkait untuk mengeksploitasi para
jamaah.