Senin, 12 Juni 2017

Sejarah Front Anti Komunisme Ampel Surabaya

Front Anti Komunisme Ampel Tahun 1955 - 1966

            1. Perkembangan Komunisme di Kota Surabaya
Kawasan Jawa Timur dikenal sebagai kawasan santri, mayoritas penduduk Jawa Timur memiliki matapencaharian sebagai petani. Islam berkembang pesat semenjak berdirinya pesantren seperti Tebuireng maupun Lirboyo. Namun, semenjak peristiwa kudeta PKI tahun 1948 di Madiun[i], Komunisme mulai menyasar masyarakat pedesaan dengan memanfaatkan isu ‘7 Setan Desa’[ii]. Komunisme mulai menyasar kawasan perkotaan, karena gerakan kiri tumbuh subur di daerah pusat industri, terutama kawasan pesisir. Gerakan kiri di kawasan pusat industri didominasi oleh golongan buruh kerja maupun pekerja lepas.
Kawasan pusat industri seperti Surabaya tidak terlepas dari penyebaran ideologi komunisme. Keadaan kota Surabaya pascarevolusi 10 November 1945 mulai di dominasi oleh golongan kiri dalam spektrum politik. Frederick menyebut bahwa Surabaya tidak pernah menjadi pusat aktivitas politik radikal hingga menjelang revolusi fisik meletus[iii].
Permasalahan konflik agraria di kota Surabaya, termasuk UUPA Agraria tahun 1960 berhasil dimanfaatkan oleh PKI untuk menyebarkan propaganda. Hampir sebagian daerah merupakan basis-basis massa PKI, seperti daerah Kupang, Kranggan, dan Nyamplungan[iv]. Pengaruh PKI dalam bidang politik lokal di Surabaya terlihat dari terpilihnya dua simpatisan partai sebagai walikota Surabaya yaitu : D.R Satrio (1958 – 1963) dan Moerrachman S.H (1963 – 1965)[v]. PKI memanfaatkan kekuatan pemerintah untuk menghapus citra buruk mengenai kudeta Madiun tahun 1948. PKI berhasil menduduki peringkat kedua Pemilu 1955 di Jawa Timur dengan perolehan 2.274.523 suara[vi]. PKI memperoleh kemenangan nyaris mutlak di kota Surabaya, kecuali di sejumlah wilayah dimana komunitas Islam modernis lebih dominan seperti di kawasan Ampel, Surabaya Utara[vii].
Kemenangan PKI di berbagai kawasan kota Surabaya rupanya mengundang perhatian dari kalangan Islam seperti Masyumi dan NU. Muktamar Masyumi VII 3-7 Desember 1954 menghasilkan fatwa mengenai ideologi komunisme, majelis syuro pusat Masyumi menanggap bahwa penggunaan kekerasan sebagai implementasi dari tujuan ‘menghalalkan segala cara’ oleh penganut komunis dinilai membahayakan seluruh golongan masyarakat[viii].
Semenjak fatwa tersebut ditetapkan, organisasi massa PKI dan NU sering konflik dalam menegakkan ideologi masing-masing. NU menggunakan khotbah Jum’at sebagai wahana propaganda politik dalam membendung ideologi komunis[ix], sedangkan PKI menggunakan kesenian rakyat (Lekra) untuk tujuan serupa dengan menggunakan kesenian Ludruk[x].         
Kampung Ampel sebagai kawasan Islam modernis adalah garda terdepan dalam membendung ideologi komunisme, hal ini ditunjukkan dengan berdirinya sebuah organisasi massa bernama Front Anti Komunisme atau FAK. Organisasi FAK didirikan dengan dasar doktrin jihad dalam memberikan pengaruh masif membendung pengaruh komunisme, FAK juga didukung oleh organisasi massa seperti GP Anshor NU. Operasi ‘Pertanu’ di Jawa Timur dilakukan untuk membendung ideologi komunisme[xi].
2. Hasan Aidid : Pendiri Front Anti Komunisme (FAK)
Hasan Aidid lahir di Kepulauan Bonerate, Makaasar, Sulawesi Selatan tahun 1910. Ia memiliki garis keturunan campuran Arab dari ayah sedangkan ibu dari Sulawesi Selatan. Isterinya, Hj. Zubaidah Daeng Sikati adalah keturunan bangsawan Bugis. Terakhir beliau tinggal di Jl. Malik Ibrahim (Embong Arab/ Gapuro) kota Gresik. Ketika pertama kali datang ke Pulau Jawa beliau sempat tinggal di kota Tegal, kemudian hijrah ke kawasan Kampung Ampel Surabaya.

Hasan Aidid, Pendiri Front Anti Komunisme Jawa Timur
Sumber : Dokumentasi Pribadi Bapak Khatib\

Beliau dikenal sebagai aktivis serta politikus partai Masyumi. Semangat berapi-api ketika berpidato di mimbar hingga menarik perhatian masyarakat umum membuat beliau dikenal sebagai ‘Singa Podium, bersama K.H. Annur Rofiq (Anak K.H Mas Mansur), dan K.H. Isa Anshori dikenal sebagai ‘tiga serangkai’.
Hasan Aidid pernah melawan salah satu tulisan dari seorang atheis asal Malang, Muhammad Ahsan. Ia  menulis secara terbuka di Surat Kabar Harian Rakyat, 9 Agustus 1955. Ahsan menanggap bahwa sosok Tuhan itu tidak ada serta menanggap segala sesuatu di dunia ini terbentuk dari proses evolusi seperti teori evolusi Darwin mengenai asal mula manusia, Hasan menanggapi hal ini dengan tegas bahwa “Islam mengajarkan kepada umat manusia bahwa Tuhan itu memang tidak berbentuk, namun ada di dalam hati nurani setiap manusia. Segala sesuatu hal di dunia adalah kehendak dari-Nya serta mengakui Tuhan itu Esa”[xii]. Hubungan erat antara agama dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan; ilmu pengetahuan tanpa agama adalah sebuah kepincangan, sedangkan agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta.
Memasuki era demokrasi terpimpin, Hasan Aidid mendirikan sebuah organisasi massa bernama Front Anti Komunisme atau FAK. Organisasi tersebut berdiri pada tahun 1955 dan memiliki kantor sekretariat di depan Kali Pegirian. Salah satu tujuan dari gerakan ini adalah upaya untuk menangkal paham radikalisme atau komunisme yang cenderung menempatkan materi di atas segalanya.
Selain menulis di kolom surat kabar, beliau berhasil membubarkan rapat PKI yang dipimpin oleh D.N Aidit pada tahun 1962 di kota Malang. Bersama dengan An-Nur Rofiq serta Isa Anshori menghentikan secara paksa rapat tersebut dan meminta D.N Aidit turun dari mimbar pidato. Setelah kejadian tersebut, PKI melancarkan fitnahnya dengan menuduh Hasan Aidid dan kawan-kawan melakukan aksi anarkis dan brutal dalam rapat tersebut, namun hal tersebut tidak dapat terbukti kebenarannya.



D.N Aidit Berorasi di Kota Malang
Sumber : Dokumentasi Pribadi Bapak Khotib

Hasan Aidid mengakui bahwa D.N Aidit memiliki garis keturunan Arab sehingga Aidit menganti nama fams dengan nama Aidit. Bahkan awal nama dari seorang D.N Aidit adalah Djafar Nur dan bukan Dipo Nusantara[xiii], hal ini diperkuat oleh informasi yang didapat oleh bapak Khotib secara langsung dari Hasan Aidid.
Setelah berhasil menumpas gerakan PKI di kawasan Kampung Ampel, beliau kembali aktif dalam dunia dakwah dan keislaman dengan aktif dalam study club maupun acara debat mengenai bab keislaman. Beliau tergabung dalam Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDI) pimpinan M. Natsir di Jakarta serta aktif di dalam kegiatan dakwah. Beliau menutup usia pada tahun 1979 ketika melakukan ibadah haji di Mekkah, Arab Saudi.

3. Peran Front Anti Komunisme (FAK) Kampung Ampel Surabaya
Pendirian Front Anti Komunisme di Kampung Ampel mulai menyebar luas hingga keluar kota Surabaya, hal tersebut berpengaruh terhadap masyarakat luas dalam rangka mencegah bahaya laten dari komunisme. Tahun 1960, situasi politik di kota Surabaya mulai mengalami pergolakan[xiv]. Kawasan Ampel menjadi basis dari organisasi massa PKI, beberapa anggota asli sempat bermukim di kawasan Ampel Mulia hingga tahun 1966[xv]. Konflik antara FAK dan organisasi underbouw PKI berlangsung lama semenjak peristiwa Kembang Kuning antara NU dan PKI.
Konflik antara FAK dengan PKI di kampung Ampel diawali dengan penyerbuan Masjid Rahmat oleh organisasi massa milik PKI yaitu Pemuda Rakyat dan Gerwani. Mereka memasuki masjid dan menginjak-injak Al-Qur’an sambil menyanyikan lagu genjer-genjer. FAK bersama masyarakat berhasil memadamkan penyerbuan tersebut dan menangkap para simpatisan PKI. Perseteruan NU vs PKI berlanjut dengan penyerbuan Pemuda Rakyat terhadap pengajian IPNU di Surabaya, mereka melempari petasan dan batu saat pengajian berlangsung[xvi]. Kemunculan organisasi FAK melatarbelakangi lahirnya algojo di Jawa Timur, doktrin jihad memberikan pengaruh massif terhadap pembentukan gerakan pembersihan orang-orang PKI. Salah satunya dengan mendirikan gerakan Pertanu tahun 1966[xvii].
Sejak 1967, lembaga atau institusi KOPKAMTIB yang merupakan singkatan dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban merupakan lembaga yang menetapkan penggolongan status masyarakat yang terlibat dalam kegiatan PKI. Klasifikasi atau penggolongan tersebut terdiri dari : Pertama, Golongan A, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam pemberontakan G-30-S/PKI, baik di pusat maupun di daerah. Kedua, Golongan B, yaitu mereka yang telah di sumpah atau menurut saksi telah menjadi anggota PKI atau pengurus Ormas yang seazas dengan PKI atau mereka yang menghambat usaha penumpasan G-30-S/PKI. Ketiga, Golongan C, yaitu mereka yang pernah terlibat dalam pemberontakan PKI-Madiun atau anggota ormas yang seazas dengan PKI atau mereka yang bersimpati atau telah terpengaruh sehingga menjadi pengikut PKI.[xviii]
Setiap orang yang dimasukan dalam salah satu kategori tersebut tidak selalu tetap. Status seseorang dalam kategori golongan A dapat turun menjadi golongan B demikian dengan C dapat naik menjadi golongan B[xix]. Perpindahan status lebih karena tekanan opini internasional di samping banyaknya manusia yang ditahan. Demikian dengan tindakan hukum terhadap ketiga golongan juga berbeda. Golongan A diproses dalam sidang pengadilan MAHMILUB (Mahkamah Militer Luar Biasa) atau MAHMILTI (Mahkamah Militer Tinggi) dengan hukuman maksimal hukuman mati atau seumur hidup. Golongan B dipisahkan dari masyarakat dengan mengumpulkan mereka di suatu tempat. Golongan B dipisahkan dari masyarakat umum untuk mencegah kegiatan menghambat upaya penertiban yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sedangkan golongan C hanya diberikan bimbingan dan dibiarkan bebas hidup dalam masyarakat pasca ditahan selama beberapa waktu (tetap dalam pengawasan Babinsa Koramil).
Dalam pelaksanaanya, anggota masyarakat yang tidak bersalah dimasukkan dalam Golongan B dan Golongan C dan dihukum penjara, beberapa diharuskan kerja paksa dan seluruhnya tanpa proses pengadilan. Jumlah klasifikasi dan kategori Golongan A, sebanyak 814 orang; Golongan B sebanyak 37.670 orang dan golongan C sebanyak 860.338 orang.[xx]
Beberapa simpatisan PKI atau golongan A ditangkap dan disembelih oleh GP Anshor di kawasan sebelah timur kampung Ampel[xxi]. Beberapa tokoh maupun simpatisan tidak menonjolkan diri di dalam kawasan Ampel, mereka akan menampakkan ideologi mereka ketika berada di luar Ampel agar menjaga kerukunan antarwarga maupun antaretnis[xxii].

4. Komunisme dalam Pusaran Keluarga Trah Botoputih


Makam Sentono Botoputih Tempo Dulu
Sumber : Pusakajawatimuran.net

Keluarga Botoputih merupakan keturunan langsung dari Ki Ageng Brondong yang berkuasa di Surabaya pada abad ke – 17[xxiii]. Keluarga Botoputih terdiri dari 4 trah Keluarga, yaitu: 1. Kasepuhan Surabaya; 2. Kanoman Surabaya; 3. Kromodjajan; 4. Kasambongan. Keempat trah tersebut adalah penerus kekuasaan Surabaya semenjak Sunan Ampel ditunjuk sebagai bupati pertama Surabaya.
Beberapa tokoh dari keturunan trah Kasambongan merupakan anggota dari Baperki[xxiv] yang turut secara aktif dalam mendukung penyebaran propaganda komunisme di wilayah Surabaya Utara[xxv]. Salah satu yang menjadi pusat aktivitas keagamaan (Ziarah) yang ramai setelah Makam Sunan Ampel adalah kawasan kompleks Pemakaman Boto Putih, kawasan ini kemudian dijadikan sebagai tempat penyebaran propaganda. Salah satu cara yaitu dengan mengibarkan bendera PKI maupun pergerakan Onderbouw PKI[xxvi].
Secara geografis, bahwa antara kompleks Makam Sunan Ampel dengan kompleks Boto Putih dibatasi oleh Kali Pegirian (Kali mati). Secara historis keturunan Ki Ageng Brondong adalah penerus para bupati di Surabaya yang antara Abad 17-20 sebgai penerus dari bupati pertama Surabaya (Sunan Ampel). Keseluruhan dari keturunan Ki Ageng Brondong dimakamkan di sebelah timur kali Pegirian atau kini lebih dikenal sebagai Makam Sentono Botoputih.
Dari keempat trah keluarga Boto Putih, pihak netral dari kegiatan politik hanya 2 golongan yaitu: 1. Kasepuhan Surabaya dan 2. Kanoman Surabaya. Keluarga Kromodjajan adalah kelompok yang sangat anti komunis dan merupakan kekuatan perlawanan dari keluarga Kasambongan yang pro-komunis. Keluarga Kasambongan merupakan pihak netral di dalam Trah Ki Ageng Brondong. Hubungan kuat antara keluarga Kromodjajan dengan Front Anti Komunisme dilatarbelakangi oleh perkawinan antara keturunan Kromodjajan dengan keturunan Arab Ampel[xxvii].
Dalam rangka mencegah kegiatan keluarga Kasambongan yang berhaluan komunis, kompleks makam Bibis/Semut yang juga merupakan kompleks pemakaman bupati Surabaya secara langsung berada di bawah pengawasan Front Anti Komunisme dan keluarga Kromodjajan Surabaya, sebab merupakan kawasan di luar wilayah kampung Ampel[xxviii]. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mencegah pengaruh kegiatan keluarga Kasambongan dalam menyebarkan propaganda komunisme di luar wilayah kampung Ampel.






[i] Setelah peristiwa Madiun 1948, PKI mulai bangkit tahun 1951 dengan mengadakan sidang pleno 7 Januari 1951. D.N Aidit berhasil menjadi pimpinan PKI menggeser kepemimpinan golongan tua seperti Alimin. D.N Aidit terpilih karena masih sejalan dengan prinsip ‘Jalan Baru Musso’. Lihat Soegiarso Soerojo, 1988, Siapa Menabur Angin Ia Menuai Badai : G30S/PKI & Peran Bung Karno, CV Sri Murni : Jakarta, halaman : 51.
[ii] 7 Setan Desa terdiri dari : tuan tanah jahat, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon, penguasa jahat, kapitalis birokrat dan bandit-bandit desa.
[iii] Pradipto Niwandhono, 2014, Palu Arit di Kota Pahlawan : Peran Politik Golongan Komunis di Surabaya Masa Demokrasi Terpimpin 1957 – 1966, Jurnal Mozaik, Vol 14, No 2, Pendidikan Sejarah Unesa : Surabaya, halaman 220.
[iv] Arya W. Wirayuda, Dari Klaim Sepihak hingga Land Reform : Konflik Penguasaan Tanah di Surabaya 1959 – 1967, STPN Press : Surabaya, Halaman : 70.
[v] Purnawan Basundoro, 2012, Sejarah Pemerintahan Kota Surabaya Sejak Masa Kolonial sampai Masa Reformasi 1906 – 2012, Departemen Sejarah UNAIR : Surabaya, halaman 223
[vi] Soegiarso Soerojo, 1988, Siapa Menabur Angin Ia Menuai Badai : G30S/PKI & Peran Bung Karno, CV Sri Murni : Jakarta, halaman : 91.
[vii] Ibid, halaman : 225.
[viii] Samsuri, 2001, Komunisme dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi, Millah : Jurnal Studi Agama, Vol 1, No 1, UIN Sunan Ampel : Surabaya, halaman 113.
[ix] Ketegangan NU vs PKI kian memuncak semenjak penguasaan tanah oleh PKI di Banyu Urip, konflik Kembang Kuning antara NU vs PKI, hingga masa pemerintahan Walikota Surabaya Murrachman (1963 – 1965) semenjak dilantik tahun 1963. Lihat Arya W. Wirayuda, Dari Klaim Sepihak hingga Land Reform : Konflik Penguasaan Tanah di Surabaya 1959 – 1967, STPN Press : Surabaya.
[x] Purnawan Basundoro, 2012, Sejarah Pemerintahan Kota Surabaya Sejak Masa Kolonial sampai Masa Reformasi 1906 – 2012, Departemen Sejarah UNAIR : Surabaya, halaman 225.
[xi] Operasi Pertanu merupakan operasi pembersihan orang-orang PKI di Jawa Timur, dilakukan oleh organisasi masyarakat GP Anshor. GP Anshor melatarbelakangi lahirnya algojo di Jawa Timur, termasuk Surabaya. Lihat Arya W. Wirayuda, Dari Klaim Sepihak hingga Land Reform : Konflik Penguasaan Tanah di Surabaya 1959 – 1967, STPN Press : Surabaya, halaman : 83.
[xii] Wisata Ampel Surabaya dalam tulisan Mengenang Tokoh Ampel : Hasan Aidid (1910 – 1979)
[xiii] Wawancara dengan Muhammad Khatib, tanggal 1 Agustus 2016
[xiv] Pergolakan politik di kota Surabaya dimulai dengan masuknya pengaruh PKI di dalam pemerintahan, dengan terpilihnya dua simpatisan partai yaitu Walikota Surabaya, Dr. Satrio (1958 – 1963) serta Moerrachman SH (1963 – 1965). Lihat Purnawan Basundoro, 2012, Sejarah Pemerintahan Kota Surabaya Sejak Masa Kolonial sampai Masa Reformasi 1906 – 2012, Departemen Sejarah Unair : Surabaya.
[xv] Wawancara dengan Muhammad Khatib, tanggal 1 Agustus 2016.
[xvi] Arya W. Wirayudha, Dari Klaim Sepihak hingga Land Reform : Konflik Penguasaan Tanah di Surabaya 1959 – 1967, STPN : Surabaya, halaman : 83.
[xvii] Ibid.
[xviii] Sekretariat Negara RI, Gerakan 30 September: Pemberontakan PKI; Latar Belakang Aksi dan Penumpasannya, Jakarta: SEKNEK-RI, 1994. Halaman : 165.
[xix] Menurut penuturan Rintoko B. Basuki, stigma negatif terhadap golongan B maupun C masih terjadi di dalam masyarakat. Beberapa diantaranya tidak dianggap sebagai anggota masyarakat serta tidak mendapatkan akses program pemerintah.
[xx] Setelah peristiwa Madiun 1948, PKI mulai bangkit tahun 1951 dengan mengadakan sidang pleno 7 Januari 1951. D.N Aidit berhasil menjadi pimpinan PKI menggeser kepemimpinan golongan tua seperti Alimin. D.N Aidit terpilih karena masih sejalan dengan prinsip ‘Jalan Baru Musso’. Lihat Soegiarso Soerojo, 1988, Siapa Menabur Angin Ia Menuai Badai : G30S/PKI & Peran Bung Karno, CV Sri Murni : Jakarta, halaman : 51.
[xxi] Wawancara dengan Rintoko B. Basuki, tanggal 17 Agustus 2016.
[xxii] Wawancara dengan Achmad Affandi, tanggal 18 Agustus 2016.
[xxiii] Lihat daftar penguasa Surabaya Trah Botoputih dalam Rintoko dkk, 2013, Seri Sejarah Soerabaja : Birokrasi dan Persebaran Trah Majapahit di Karesidenan Surabaya Periode 1860 – 1960, PCTAI : Surabaya, Jilid 2, halaman : 106.
[xxiv] D.N Aidit menanggap bahwa BAPERKI adalah alat revolusi yang baik dalam rasialisme. BAPERKI dibubarkan tahun 1967 akibat keterlibatan dengan PKI. Anis Nuryani, Amminudin Kasdi, Perkembangan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia tahun 1954 – 1965, Jurnal Avatara, Pendidikan Sejarah UNESA, Surabaya, Vol 2, No 3, Oktober 2014, halaman 117.
[xxv] Wawancara dengan Rintoko B. Basuki, tanggal 17 Agustus 2016.
[xxvi] Politik aliran kebudayaan adalah salah satu cara untuk menarik simpati masyarakat kepada PKI, terutama dengan Lekra. Lihat politik aliran kebudayaan Lesbumi vs Lekra dalam Choirotun Chisaan, 2008, Lesbumi : Strategi Politik Kebudayaan, LKIS : Yogyakarta.
[xxvii] Setelah peristiwa Madiun 1948, PKI mulai bangkit tahun 1951 dengan mengadakan sidang pleno 7 Januari 1951. D.N Aidit berhasil menjadi pimpinan PKI menggeser kepemimpinan golongan tua seperti Alimin. D.N Aidit terpilih karena masih sejalan dengan prinsip ‘Jalan Baru Musso’. Lihat Soegiarso Soerojo, 1988, Siapa Menabur Angin Ia Menuai Badai : G30S/PKI & Peran Bung Karno, CV Sri Murni : Jakarta, halaman : 51.
[xxviii] Wawancara dengan Rintoko B. Basuki, tanggal 17 Agustus 2016.