Front
Anti Komunisme Ampel Tahun 1955 - 1966
1. Perkembangan Komunisme
di Kota Surabaya
Kawasan Jawa Timur dikenal sebagai
kawasan santri, mayoritas penduduk Jawa Timur memiliki matapencaharian sebagai
petani. Islam berkembang pesat semenjak berdirinya pesantren seperti Tebuireng
maupun Lirboyo. Namun, semenjak peristiwa kudeta PKI tahun 1948 di Madiun[i],
Komunisme mulai menyasar masyarakat pedesaan dengan memanfaatkan isu ‘7 Setan
Desa’[ii].
Komunisme mulai menyasar kawasan perkotaan, karena gerakan kiri tumbuh subur di
daerah pusat industri, terutama kawasan pesisir. Gerakan kiri di kawasan pusat
industri didominasi oleh golongan buruh kerja maupun pekerja lepas.
Kawasan pusat industri seperti
Surabaya tidak terlepas dari penyebaran ideologi komunisme. Keadaan kota
Surabaya pascarevolusi 10 November 1945 mulai di dominasi oleh golongan kiri
dalam spektrum politik. Frederick menyebut bahwa Surabaya tidak pernah menjadi
pusat aktivitas politik radikal hingga menjelang revolusi fisik meletus[iii].
Permasalahan konflik agraria di kota
Surabaya, termasuk UUPA Agraria tahun 1960 berhasil dimanfaatkan oleh PKI untuk
menyebarkan propaganda. Hampir sebagian daerah merupakan basis-basis massa PKI,
seperti daerah Kupang, Kranggan, dan Nyamplungan[iv].
Pengaruh PKI dalam bidang politik lokal di Surabaya terlihat dari terpilihnya
dua simpatisan partai sebagai walikota Surabaya yaitu : D.R Satrio (1958 –
1963) dan Moerrachman S.H (1963 – 1965)[v].
PKI memanfaatkan kekuatan pemerintah untuk menghapus citra buruk mengenai kudeta
Madiun tahun 1948. PKI berhasil menduduki peringkat kedua Pemilu 1955 di Jawa
Timur dengan perolehan 2.274.523 suara[vi].
PKI memperoleh kemenangan nyaris mutlak di kota Surabaya, kecuali di sejumlah
wilayah dimana komunitas Islam modernis lebih dominan seperti di kawasan Ampel,
Surabaya Utara[vii].
Kemenangan PKI di berbagai kawasan
kota Surabaya rupanya mengundang perhatian dari kalangan Islam seperti Masyumi
dan NU. Muktamar Masyumi VII 3-7 Desember 1954 menghasilkan fatwa mengenai
ideologi komunisme, majelis syuro pusat Masyumi menanggap bahwa penggunaan
kekerasan sebagai implementasi dari tujuan ‘menghalalkan segala cara’ oleh
penganut komunis dinilai membahayakan seluruh golongan masyarakat[viii].
Semenjak fatwa tersebut ditetapkan,
organisasi massa PKI dan NU sering konflik dalam menegakkan ideologi
masing-masing. NU menggunakan khotbah Jum’at sebagai wahana propaganda politik
dalam membendung ideologi komunis[ix],
sedangkan PKI menggunakan kesenian rakyat (Lekra) untuk tujuan serupa dengan
menggunakan kesenian Ludruk[x].
Kampung Ampel sebagai kawasan Islam
modernis adalah garda terdepan dalam membendung ideologi komunisme, hal ini
ditunjukkan dengan berdirinya sebuah organisasi massa bernama Front Anti
Komunisme atau FAK. Organisasi FAK didirikan dengan dasar doktrin jihad dalam
memberikan pengaruh masif membendung pengaruh komunisme, FAK juga didukung oleh
organisasi massa seperti GP Anshor NU. Operasi ‘Pertanu’ di Jawa Timur
dilakukan untuk membendung ideologi komunisme[xi].
2.
Hasan Aidid : Pendiri Front Anti Komunisme (FAK)
Hasan Aidid lahir di Kepulauan
Bonerate, Makaasar, Sulawesi Selatan tahun 1910. Ia memiliki garis keturunan
campuran Arab dari ayah sedangkan ibu dari Sulawesi Selatan. Isterinya, Hj.
Zubaidah Daeng Sikati adalah keturunan bangsawan Bugis. Terakhir beliau tinggal
di Jl. Malik Ibrahim (Embong Arab/ Gapuro) kota Gresik. Ketika pertama kali
datang ke Pulau Jawa beliau sempat tinggal di kota Tegal, kemudian hijrah ke
kawasan Kampung Ampel Surabaya.
Hasan Aidid, Pendiri Front Anti Komunisme Jawa Timur
Sumber : Dokumentasi Pribadi Bapak Khatib\
Sumber : Dokumentasi Pribadi Bapak Khatib\
Beliau dikenal sebagai aktivis serta politikus partai Masyumi. Semangat berapi-api ketika berpidato di
mimbar hingga menarik perhatian masyarakat umum membuat beliau dikenal sebagai
‘Singa Podium, bersama K.H. Annur Rofiq (Anak K.H Mas Mansur), dan K.H. Isa
Anshori dikenal sebagai ‘tiga serangkai’.
Hasan Aidid pernah melawan salah satu
tulisan dari seorang atheis asal
Malang, Muhammad Ahsan. Ia menulis
secara terbuka di Surat Kabar Harian Rakyat, 9 Agustus 1955. Ahsan menanggap
bahwa sosok Tuhan itu tidak ada serta menanggap segala sesuatu di dunia ini
terbentuk dari proses evolusi seperti teori evolusi Darwin mengenai asal mula
manusia, Hasan menanggapi hal ini dengan tegas bahwa “Islam mengajarkan kepada
umat manusia bahwa Tuhan itu memang tidak berbentuk, namun ada di dalam hati
nurani setiap manusia. Segala sesuatu hal di dunia adalah kehendak dari-Nya
serta mengakui Tuhan itu Esa”[xii].
Hubungan erat antara agama dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan; ilmu
pengetahuan tanpa agama adalah sebuah kepincangan, sedangkan agama tanpa ilmu
pengetahuan adalah buta.
Memasuki era demokrasi terpimpin,
Hasan Aidid mendirikan sebuah organisasi massa bernama Front Anti Komunisme
atau FAK. Organisasi tersebut berdiri pada tahun 1955 dan memiliki kantor
sekretariat di depan Kali Pegirian. Salah satu tujuan dari gerakan ini adalah
upaya untuk menangkal paham radikalisme atau komunisme yang cenderung
menempatkan materi di atas segalanya.
Selain menulis di kolom surat kabar,
beliau berhasil membubarkan rapat PKI yang dipimpin oleh D.N Aidit pada tahun
1962 di kota Malang. Bersama dengan An-Nur Rofiq serta Isa Anshori menghentikan
secara paksa rapat tersebut dan meminta D.N Aidit turun dari mimbar pidato.
Setelah kejadian tersebut, PKI melancarkan fitnahnya dengan menuduh Hasan Aidid
dan kawan-kawan melakukan aksi anarkis dan brutal dalam rapat tersebut, namun
hal tersebut tidak dapat terbukti kebenarannya.
D.N Aidit Berorasi di Kota Malang
Sumber
: Dokumentasi Pribadi Bapak Khotib
Hasan Aidid mengakui bahwa D.N Aidit
memiliki garis keturunan Arab sehingga Aidit menganti nama fams dengan nama Aidit. Bahkan awal nama dari seorang D.N Aidit
adalah Djafar Nur dan bukan Dipo Nusantara[xiii],
hal ini diperkuat oleh informasi yang didapat oleh bapak Khotib secara langsung
dari Hasan Aidid.
Setelah berhasil menumpas gerakan PKI
di kawasan Kampung Ampel, beliau kembali aktif dalam dunia dakwah dan keislaman
dengan aktif dalam study club maupun
acara debat mengenai bab keislaman. Beliau tergabung dalam Dewan Dakwah
Islamiyyah Indonesia (DDI) pimpinan M. Natsir di Jakarta serta aktif di dalam
kegiatan dakwah. Beliau menutup usia pada tahun 1979 ketika melakukan ibadah
haji di Mekkah, Arab Saudi.
3.
Peran Front Anti Komunisme (FAK) Kampung Ampel Surabaya
Pendirian Front Anti Komunisme di
Kampung Ampel mulai menyebar luas hingga keluar kota Surabaya, hal tersebut
berpengaruh terhadap masyarakat luas dalam rangka mencegah bahaya laten dari
komunisme. Tahun 1960, situasi politik di kota Surabaya mulai mengalami
pergolakan[xiv].
Kawasan Ampel menjadi basis dari organisasi massa PKI, beberapa anggota asli
sempat bermukim di kawasan Ampel Mulia hingga tahun 1966[xv].
Konflik antara FAK dan organisasi underbouw
PKI berlangsung lama semenjak peristiwa Kembang Kuning antara NU dan PKI.
Konflik antara FAK dengan PKI di
kampung Ampel diawali dengan penyerbuan Masjid Rahmat oleh organisasi massa
milik PKI yaitu Pemuda Rakyat dan Gerwani. Mereka memasuki masjid dan
menginjak-injak Al-Qur’an sambil menyanyikan lagu genjer-genjer. FAK bersama
masyarakat berhasil memadamkan penyerbuan tersebut dan menangkap para
simpatisan PKI. Perseteruan NU vs PKI berlanjut dengan penyerbuan Pemuda Rakyat
terhadap pengajian IPNU di Surabaya, mereka melempari petasan dan batu saat
pengajian berlangsung[xvi].
Kemunculan organisasi FAK melatarbelakangi lahirnya algojo di Jawa Timur,
doktrin jihad memberikan pengaruh massif terhadap pembentukan gerakan
pembersihan orang-orang PKI. Salah satunya dengan mendirikan gerakan Pertanu
tahun 1966[xvii].
Sejak 1967, lembaga atau institusi KOPKAMTIB
yang merupakan singkatan dari Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban merupakan lembaga yang menetapkan
penggolongan status masyarakat yang terlibat dalam kegiatan PKI. Klasifikasi
atau penggolongan tersebut terdiri dari : Pertama, Golongan A, yaitu mereka
yang terlibat langsung dalam pemberontakan G-30-S/PKI, baik di pusat maupun di
daerah. Kedua, Golongan B, yaitu mereka yang telah di sumpah atau
menurut saksi telah menjadi anggota PKI atau pengurus Ormas yang seazas dengan
PKI atau mereka yang menghambat usaha penumpasan G-30-S/PKI. Ketiga,
Golongan C, yaitu mereka yang pernah terlibat dalam pemberontakan PKI-Madiun
atau anggota ormas yang seazas dengan PKI atau mereka yang bersimpati atau
telah terpengaruh sehingga menjadi pengikut PKI.[xviii]
Setiap orang yang dimasukan dalam
salah satu kategori tersebut tidak selalu tetap. Status seseorang dalam
kategori golongan A dapat turun menjadi golongan B demikian dengan C dapat naik
menjadi golongan B[xix].
Perpindahan status lebih karena tekanan opini
internasional di samping banyaknya manusia yang ditahan. Demikian dengan
tindakan hukum terhadap ketiga golongan juga berbeda. Golongan A diproses dalam
sidang pengadilan MAHMILUB (Mahkamah Militer Luar Biasa) atau MAHMILTI
(Mahkamah Militer Tinggi) dengan hukuman maksimal hukuman mati atau seumur
hidup. Golongan B dipisahkan dari masyarakat dengan mengumpulkan mereka di
suatu tempat. Golongan B dipisahkan dari masyarakat umum untuk mencegah kegiatan
menghambat upaya penertiban yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sedangkan
golongan C hanya diberikan bimbingan dan dibiarkan bebas hidup dalam masyarakat
pasca ditahan selama beberapa waktu (tetap dalam pengawasan Babinsa Koramil).
Dalam pelaksanaanya, anggota
masyarakat yang tidak bersalah dimasukkan dalam Golongan B dan Golongan C dan
dihukum penjara, beberapa diharuskan kerja paksa dan seluruhnya tanpa proses
pengadilan. Jumlah klasifikasi dan kategori Golongan A, sebanyak 814 orang;
Golongan B sebanyak 37.670 orang dan golongan C sebanyak 860.338 orang.[xx]
Beberapa simpatisan PKI atau golongan
A ditangkap dan disembelih oleh GP Anshor di kawasan sebelah timur kampung
Ampel[xxi].
Beberapa tokoh maupun simpatisan tidak menonjolkan diri di dalam kawasan Ampel,
mereka akan menampakkan ideologi mereka ketika berada di luar Ampel agar
menjaga kerukunan antarwarga maupun antaretnis[xxii].
4.
Komunisme dalam Pusaran Keluarga Trah Botoputih
Makam Sentono Botoputih Tempo Dulu
Sumber : Pusakajawatimuran.net
Keluarga Botoputih merupakan
keturunan langsung dari Ki Ageng Brondong yang berkuasa di Surabaya pada abad
ke – 17[xxiii].
Keluarga Botoputih terdiri dari 4 trah Keluarga, yaitu: 1. Kasepuhan Surabaya;
2. Kanoman Surabaya; 3. Kromodjajan; 4. Kasambongan. Keempat trah tersebut
adalah penerus kekuasaan Surabaya semenjak Sunan Ampel ditunjuk sebagai bupati
pertama Surabaya.
Beberapa tokoh dari keturunan trah
Kasambongan merupakan anggota dari Baperki[xxiv]
yang turut secara aktif dalam mendukung penyebaran propaganda komunisme di
wilayah Surabaya Utara[xxv].
Salah satu yang menjadi pusat aktivitas keagamaan (Ziarah) yang ramai setelah
Makam Sunan Ampel adalah kawasan kompleks Pemakaman Boto Putih, kawasan ini
kemudian dijadikan sebagai tempat penyebaran propaganda. Salah satu cara yaitu
dengan mengibarkan bendera PKI maupun pergerakan Onderbouw PKI[xxvi].
Secara geografis, bahwa antara
kompleks Makam Sunan Ampel dengan kompleks Boto Putih dibatasi oleh Kali
Pegirian (Kali mati). Secara historis keturunan Ki Ageng Brondong adalah
penerus para bupati di Surabaya yang antara Abad 17-20 sebgai penerus dari bupati
pertama Surabaya (Sunan Ampel). Keseluruhan dari keturunan Ki Ageng Brondong
dimakamkan di sebelah timur kali Pegirian atau kini lebih dikenal sebagai Makam
Sentono Botoputih.
Dari keempat trah keluarga Boto
Putih, pihak netral dari kegiatan politik hanya 2 golongan yaitu: 1. Kasepuhan
Surabaya dan 2. Kanoman Surabaya. Keluarga Kromodjajan adalah kelompok yang
sangat anti komunis dan merupakan kekuatan perlawanan dari keluarga Kasambongan
yang pro-komunis. Keluarga Kasambongan merupakan pihak netral di dalam Trah Ki
Ageng Brondong. Hubungan kuat antara keluarga Kromodjajan dengan Front Anti
Komunisme dilatarbelakangi oleh perkawinan antara keturunan Kromodjajan dengan
keturunan Arab Ampel[xxvii].
Dalam rangka mencegah kegiatan
keluarga Kasambongan yang berhaluan komunis, kompleks makam Bibis/Semut yang
juga merupakan kompleks pemakaman bupati Surabaya secara langsung berada di
bawah pengawasan Front Anti Komunisme dan keluarga Kromodjajan Surabaya, sebab
merupakan kawasan di luar wilayah kampung Ampel[xxviii].
Hal tersebut dilakukan dalam rangka mencegah pengaruh kegiatan keluarga
Kasambongan dalam menyebarkan propaganda komunisme di luar wilayah kampung
Ampel.
[i] Setelah peristiwa
Madiun 1948, PKI mulai bangkit tahun 1951 dengan mengadakan sidang pleno 7
Januari 1951. D.N Aidit berhasil menjadi pimpinan PKI menggeser kepemimpinan
golongan tua seperti Alimin. D.N Aidit terpilih karena masih sejalan dengan
prinsip ‘Jalan Baru Musso’. Lihat Soegiarso Soerojo, 1988, Siapa Menabur Angin Ia Menuai Badai : G30S/PKI & Peran Bung Karno,
CV Sri Murni : Jakarta, halaman : 51.
[ii] 7 Setan Desa
terdiri dari : tuan tanah jahat, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon,
penguasa jahat, kapitalis birokrat dan bandit-bandit desa.
[iii] Pradipto
Niwandhono, 2014, Palu Arit di Kota
Pahlawan : Peran Politik Golongan Komunis di Surabaya Masa Demokrasi Terpimpin
1957 – 1966, Jurnal Mozaik, Vol 14, No 2, Pendidikan Sejarah Unesa :
Surabaya, halaman 220.
[iv] Arya W. Wirayuda, Dari Klaim Sepihak hingga Land Reform :
Konflik Penguasaan Tanah di Surabaya 1959 – 1967, STPN Press : Surabaya,
Halaman : 70.
[v] Purnawan
Basundoro, 2012, Sejarah Pemerintahan
Kota Surabaya Sejak Masa Kolonial sampai Masa Reformasi 1906 – 2012,
Departemen Sejarah UNAIR : Surabaya, halaman 223
[vi] Soegiarso Soerojo,
1988, Siapa Menabur Angin Ia Menuai Badai
: G30S/PKI & Peran Bung Karno, CV Sri Murni : Jakarta, halaman : 91.
[viii] Samsuri, 2001, Komunisme dalam Pergumulan Wacana Ideologi
Masyumi, Millah : Jurnal Studi Agama, Vol 1, No 1, UIN Sunan Ampel :
Surabaya, halaman 113.
[ix] Ketegangan NU vs
PKI kian memuncak semenjak penguasaan tanah oleh PKI di Banyu Urip, konflik
Kembang Kuning antara NU vs PKI, hingga masa pemerintahan Walikota Surabaya
Murrachman (1963 – 1965) semenjak dilantik tahun 1963. Lihat Arya W. Wirayuda, Dari Klaim Sepihak hingga Land Reform :
Konflik Penguasaan Tanah di Surabaya 1959 – 1967, STPN Press : Surabaya.
[x] Purnawan
Basundoro, 2012, Sejarah Pemerintahan
Kota Surabaya Sejak Masa Kolonial sampai Masa Reformasi 1906 – 2012,
Departemen Sejarah UNAIR : Surabaya, halaman 225.
[xi] Operasi Pertanu
merupakan operasi pembersihan orang-orang PKI di Jawa Timur, dilakukan oleh
organisasi masyarakat GP Anshor. GP Anshor melatarbelakangi lahirnya algojo di
Jawa Timur, termasuk Surabaya. Lihat Arya W. Wirayuda, Dari Klaim Sepihak hingga Land Reform : Konflik Penguasaan Tanah di
Surabaya 1959 – 1967, STPN Press : Surabaya, halaman : 83.
[xiv] Pergolakan politik
di kota Surabaya dimulai dengan masuknya pengaruh PKI di dalam pemerintahan,
dengan terpilihnya dua simpatisan partai yaitu Walikota Surabaya, Dr. Satrio
(1958 – 1963) serta Moerrachman SH (1963 – 1965). Lihat Purnawan Basundoro,
2012, Sejarah Pemerintahan Kota Surabaya
Sejak Masa Kolonial sampai Masa Reformasi 1906 – 2012, Departemen Sejarah Unair : Surabaya.
[xvi] Arya W. Wirayudha,
Dari Klaim Sepihak hingga Land Reform :
Konflik Penguasaan Tanah di Surabaya 1959 – 1967, STPN : Surabaya, halaman
: 83.
[xviii] Sekretariat Negara
RI, Gerakan 30 September: Pemberontakan
PKI; Latar Belakang Aksi dan Penumpasannya, Jakarta: SEKNEK-RI, 1994.
Halaman : 165.
[xix] Menurut penuturan
Rintoko B. Basuki, stigma negatif terhadap golongan B maupun C masih terjadi di
dalam masyarakat. Beberapa diantaranya tidak dianggap sebagai anggota
masyarakat serta tidak mendapatkan akses program pemerintah.
[xx] Setelah peristiwa
Madiun 1948, PKI mulai bangkit tahun 1951 dengan mengadakan sidang pleno 7
Januari 1951. D.N Aidit berhasil menjadi pimpinan PKI menggeser kepemimpinan
golongan tua seperti Alimin. D.N Aidit terpilih karena masih sejalan dengan
prinsip ‘Jalan Baru Musso’. Lihat Soegiarso Soerojo, 1988, Siapa Menabur Angin Ia Menuai Badai : G30S/PKI & Peran Bung Karno,
CV Sri Murni : Jakarta, halaman : 51.
[xxiii] Lihat daftar
penguasa Surabaya Trah Botoputih dalam Rintoko dkk, 2013, Seri Sejarah Soerabaja : Birokrasi dan Persebaran Trah Majapahit di
Karesidenan Surabaya Periode 1860 – 1960, PCTAI : Surabaya, Jilid 2,
halaman : 106.
[xxiv] D.N Aidit
menanggap bahwa BAPERKI adalah alat revolusi yang baik dalam rasialisme. BAPERKI
dibubarkan tahun 1967 akibat keterlibatan dengan PKI.
Anis Nuryani, Amminudin Kasdi, Perkembangan
Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia tahun 1954 – 1965, Jurnal Avatara,
Pendidikan Sejarah UNESA, Surabaya, Vol 2, No 3, Oktober 2014, halaman 117.
[xxvi] Politik aliran
kebudayaan adalah salah satu cara untuk menarik simpati masyarakat kepada PKI,
terutama dengan Lekra. Lihat politik aliran kebudayaan Lesbumi vs Lekra dalam
Choirotun Chisaan, 2008, Lesbumi :
Strategi Politik Kebudayaan, LKIS : Yogyakarta.
[xxvii] Setelah peristiwa
Madiun 1948, PKI mulai bangkit tahun 1951 dengan mengadakan sidang pleno 7
Januari 1951. D.N Aidit berhasil menjadi pimpinan PKI menggeser kepemimpinan
golongan tua seperti Alimin. D.N Aidit terpilih karena masih sejalan dengan
prinsip ‘Jalan Baru Musso’. Lihat Soegiarso Soerojo, 1988, Siapa Menabur Angin Ia Menuai Badai : G30S/PKI & Peran Bung Karno,
CV Sri Murni : Jakarta, halaman : 51.